Presiden Baru Korsel Ingin Menjalin Komunikasi Dengan Rezim Korut

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Kandidat Presiden Moon Jae-in yang berideologi liberal meraih kemenangan dalam hitung cepat sesudah pemilihan umum Korea Selatan digelar selasa lalu. Politikus 64 tahun itu diprediksi meraup 40 persen dukungan, mengungguli lawan-lawannya seperti kandidat konservatif Hong Jun-pyo, serta Ahn Cheol-soo yang berhaluan populis. Exit Poll yang digelar tiga stasiun televisi besar Korsel menunjukkan hal yang sama, Moon meraih sepertiga dukungan nasional dalam pemilu yang digelar lebih cepat sesudah Presiden Park Geun-hye dimakzulkan.

Videos by VICE

Hanya saja, Moon adalah sosok yang memiliki pandangan politik condong ke normalisasi hubungan dengan Korea Utara. Sikap ini dikhawatirkan bakal merusak agenda internasional yang ingin melucuti ambisi nuklir Rezim Pyongyang.

Moon, pemimpin Partai Demokrat Korsel, berpidato di hadapan massa pendukungnya di Alun-Alun Gwanghwamun, Ibu Kota Seoul. Dia tidak menyinggung isu Korut. Moon menekankan bahwa dia akan menjadi presiden yang “melayani semua kalangan.”

Mantan Presiden Korsel Park Geun-hye dilengserkan Maret lalu, setelah jutaan orang turun ke jalan menuntutnya mundur karena terbelit skandal megakorupsi serta nepotisme yang melibatkan penasehat spiritualnya. Park saat ini masih ditahan, menanti jadwal sidang perdana yang akan digelar dalam waktu dekat. Rakyat Korsel harus memilih pemimpin baru di tengah suasana geopolitik yang tidak menentu. Enam bulan terakhir rezim Kim Jong-un di Korut terus melakukan uji coba roket dan nuklir, kendati sudah dijatuhi sanksi oleh PBB. Presiden baru Korut idealnya adalah orang yang memiliki pandangan selaras dengan PBB, termasuk Amerika Serikat, untuk melucuti ambisi nuklir negara tetangga mereka yang totaliter.

Moon selama masa kampanye pernah menyebut keinginan menjajaki kemungkinan berkomunikasi dengan Korut. Dia meyakini rencana Presiden AS Donald Trump untuk bersikap keras pada Pyongyang tidak akan berhasil. Sebaliknya, Moon lebih suka mengedepankan kerja sama ekonomi dan dialog dengan negara tetangga yang berperang dengan mereka selama setengah abad terakhir.

Saat diwawancarai VICE News, John Nilsson-Wright selaku Guru Besar Hubungan Internasional dari Cambridge University menyatakan sikap politik moderat Moon akan mengganggu strategi Washington terhadap Korea Utara. Korsel sebagai sekutu utama AS di Semenanjung Korea, bisa saja nantinya tidak lagi mendukung pendekatan keras agar program nuklir Korut diakhiri.

“Moon mewakili kelompok politik Korsel yang selama ini tidak suka dengan skenario perang,” kata Wright. “Dia tampaknya akan membuka peluang negosiasi dengan Pyongyang.”

Wright mengingatkan kini bola ada di tangan Washington. Jika AS bisa bersikap lebih luwes terhadap Korut, maka negosiasi masih mungkin dilakukan. Apalagi Trump pernah bilang bahwa negosiasi masih menjadi salah satu pilihannya saat menghadapi Rezim Kim Jong-un. “Saya merasa terhormat jika bisa bertemu langsung Pemimpin Korut Kim Jong-un, tapi hanya jika syarat-syarat tertentu dipenuhi,” kata Trump pekan lalu. Moon saat diwawancarai Washington Post sebelum pemilu digelar juga meyakini, “Trump pasti bisa bersikap masuk akal walaupun media massa mencitrakan sebaliknya.”

Moon dan Trump berbeda pandangan mengenai penempatan Sistem Misil Pertahanan Udara (THAAD). AS ingin memasang THAAD di wilayah Korsel dalam waktu dekat, agar Korut menahan diri tidak melakukan uji coba misil yang aneh-aneh. Moon sepenuhnya menolak kebijakan agresif semacam itu, lantaran Pyongyang bisa saja terprovokasi lalu menyerang negaranya. Dia berjanji akan mengkaji ulang kebijakan kerja sama pertahanan dengan AS tersebut jika terpilih.

Daniel Pinkston, pengamat hubungan internasional di Troy University, mengatakan kebijakan Moon menggambarkan keinginan rakyat Korsel saat ini yang ingin menghindari perang. “Rakyat memang sedang mengharapkan adanya pengurangan ketegangan antara kedua negara di Semenanjung Korea,” ujarnya. Hanya saja, keinginan Korsel itu sangat bergantung pada kesediaan Korut membuka ruang dialog. Sejauh ini Kim Jong-un belum menunjukkan keinginan melakukan diplomasi dengan negara tetangganya.

“Selama Pyongyang tidak mengubah sikap agar lebih kooperatif, kebijakan apapun dari presiden baru Korsel tidak akan ada gunanya,” kata Pinkston saat diwawancarai VICE News. “Keinginan [Moon] bisa saja terhambat karena tidak ada respons positif dari utara.”

Lewat tajuk rencana yang dimuat koran milik pemerintah Korut, Rodong Sinmun, rezim Pyongyang menyatakan ketegangan 10 tahun terakhir meningkat akibat kebijakan pemerintahan Partai Konservatif di Korsel. Mereka mengklaim kebijakan mengembangkan senjata nuklir adalah upaya membela diri dari kemungkinan invasi AS melalui Korea Selatan.

Moon adalah mantan pengacara Hak Asasi Manusia, yang pernah menjadi Kepala Staf Mantan Presiden Roh Moo-hyun. Dia kalah dari Park pada pemilu 2012. Rakyat memilih Moon karena dia dianggap sosok politikus yang bersih dan tak punya kedekatan dengan pejabat lama. Park, yang dilengserkan, membuat malu rakyat Korsel lantaran terseret kasus suap senilai US$ 52 juta (setara Rp695 miliar) dari konglomerat besar Negeri Ginseng yang ingin dibantu dimudahkan bisnisnya. Salah satu tersangka pemberi suap adalah anak pemilik Samsung, yang sekarang turut diadili dalam kasus yang sama.

Moon selama masa kampanye, berjanji akan menertibkan praktik bisnis konglomerat raksasa, yang dalam istilah Korsel disebut chaebol. “Rakyat Korsel mendambakan politikus yang progresif dan bisa melawan politik kepentingan yang biasa mewarnai negara mereka,” kata Wright. “Saat ini, pemimpin parpol lain dianggap terlalu punya kedekatan pada konglomerat itu. Ada juga perasaan rakyat Korsel bahwa ketimpangan ekonomi sedang melebar.”

Karena pemilu ini digelar mendadak untuk mengisi kekosongan eksekutif, Moon akan segera dilantik dalam waktu dekat setelah KPU Korsel selesai menghitung suara.