Keputusan Jokowi Cabut Lampiran Perpres Miras Tak Bikin Miras Lokal Jadi Terlarang

Presiden Jokowi cabut perpres miras karena tekanan ormas agama

Kecaman berbagai pihak atas ditetapkan empat provinsi tujuan investasi industri miras membuat Presiden Joko Widodo mengambil langkah putar balik. Pada Selasa (2/3) Jokowi resmi mencabut lampiran khusus tentang investasi alkohol, dari Perpres 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Pencabutan diumumkan langsung oleh Presiden, disiarkan lewat kanal YouTube Sekretariat Presiden.

“Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas-ormas lainnya, serta tokoh-tokoh agama yang lain, dan juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah. Bersama ini saya sampaikan lampiran perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri miras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut,” kata Jokowi tegas.

Videos by VICE

Pencabutan kebijakan ini murni akibat tekanan publik. Sebab, kepala daerah dari empat wilayah yang diperbolehkan menerima investasi industri miras, yakni Provinsi Papua, Sulawesi Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Timur, menerima kebijakan ini.

Dalam kontroversi seminggu terakhir, tentangan tak hanya datang dari kelompok agamawan. Di Papua, dewan adat Majelis Rakyat Papua (MRP) turut mengecam pembukaan investasi miras di daerahnya. MRP berpendapat, selama ini Papua sudah punya masalah dengan konsumsi miras sehingga yang perlu dilakukan adalah pembatasan, bukan memudahkan produksi dan distribusi. Kepada VICE aktivis dan seniman Papua asal Sorong Max Binur mengatakan, pemerintah perlu mengendalikan peredaran miras di Papua sebelum membangun pabriknya.

Bagaimanapun, pencabutan lampiran perpres miras ini tak perlu membuat produsen dan peminum lokal khawatir. Industri miras, khususnya miras tradisional, tidak serta-merta dilarang, melainkan ditunda pengembangannya saja. Pencabutan ini hanya berarti belum ada investasi besar-besaran yang bisa menyokong perkembangan industri miras lokal. Dari segi legalitas, pencabutan perpres tetap diatur perda masing-masing daerah.

Di Bali misalnya, Gubernur BalI I Wayan Koster sudah punya pakem lewat rilisan Peraturan Gubernur Bali 1/2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Distilasi Khas Bali. Isinya mengatur bahwa arak, brem, dan tuak Bali adalah keragaman budaya Bali yang perlu dilindungi. Pergub tersebut membuat pemerintah lokal leluasa melindungi, memelihara, memanfaatkan, mengendalikan, dan mengawasi miras lokal mulai dari pengadaan bahan baku, produksi, dan distribusinya. Dari sana, pemerintah provinsi juga mengatur standardisasi produk untuk menjamin keamanannya.

Hal sama bisa dilihat di Perda Sulawesi Utara (Sulut) 4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol di Provinsi Sulawesi Utara. Cap Tikus, miras khas Manado, malah sudah dipasarkan dalam kemasan. Saat ini ada 10 perusahaan produsen minuman beralkohol yang terdaftar dan memiliki izin dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulut.



 Dari NTT yang kondang dengan miras sopinya, Gubernur Viktor Laiskodat menyebut minuman beralkohol tradisional yang dilegalkan penjualannya hanya boleh dikonsumsi masyarakat berusia di atas 21 tahun.

“Saat ini yang mengonsumsi minuman beralkohol tradisional ini hampir semua kalangan sehingga dampaknya sangat negatif. Oleh karena itu, kami ingin menata ulang bagaimana pengelolaannya,” kata Viktor.

Popularitas minuman beralkohol tradisional memang jemawa. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tiga tahun lalu, disebutkan bahwa 38,7 persen pengonsumsi miras lebih memilih minol tradisional, diikuti 29,5 persen memilih bir, dan 21,6 persen memilih anggur. Penduduk konsumen alkohol ditemukan terbanyak di Sulut (16 persen selama sebulan terakhir survei), disusul NTT (15,6 persen), dan Bali (14 persen).