Artikel ini pertama kali tayang di VICE News
Aleppo, salah satu kota terbesar di Suriah yang dulunya sempat menjadi pusat industri dan keuangan negara tersebut, kini hanya tersisa puing-puing. Dalam dua minggu terakhir, serangan yang dilakukan oleh pasukan sekutu Presiden Suriah Bashar al Assad makin bertambah gencar. Kini Aleppo hanyalah sekedar simbol dari obyek haus kekuasaan Assad dan kegagalan negara-negara Barat—atau ketidakmauan—untuk mengintervensi perang saudara Suriah yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Kebijakan Assad berulang kali dituding sebagai bentuk nyata kejahatan perang, situasi Aleppo telah memakan nyawa ratusan ribu orang dan memaksa jutaan orang mengungsi dari kota tersebut.
Videos by VICE
Masuknya tentara pemerintah Suriah secara tiba-tiba ke wilayah timur Aleppo yang dikuasai oleh pasukan pemberontak, bakal membuat takdir kota Aleppo menjadi tidak jelas. Dua pertanyaan timbul: Kenapa Aleppo? Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya?
MENGAPA KOTA ALEPPO STRATEGIS BAGI SEMUA PIHAK?
Sejak protes pro-demokrasi di Suriah bermula 2011, konflik dalam negeri itu berubah menjadi perang saudara. Perang perebutan Aleppo, dengan demikian, berlangsung selama empat tahun. Assad berkeras berusaha merebut Aleppo agar dia tetap bisa berkuasa. Mengapa Aleppo terkesan sangat penting?
“Aleppo adalah New York-nya Suriah,” kata Antoun Issa, editor senior di Middle East Institute. “Perebutan Aleppo pertarungan yang penting dan menentukan, mengingat Perang Suriah sudah mentok selama tiga atau empat tahun terakhir. Kota Aleppo menjadi sangat krusial perannya.”
Apabila Assad berhasil merebut Aleppo, maka kota besar Suriah lainnya—Damaskus, Homs, Hama, dan Latakia—akan berada di bawah kekuasaan rezim Assad. Ini artinya memperlemah posisi pemberontak dan memojokkan pasukan anti-Assad ke daerah-daerah pedesaan. Dengan begitu, masa depan Suriah tetap di bawah kepemimpinan Assad semakin pasti.
SEJARAH ALEPPO SEHINGGA MENJADI SIMBOL PERANG SURIAH
Aleppo menggantikan posisi kota Homs—yang dulunya pusat revolusi pro-demokrasi Suriah—sebagai simbol dari perang saudara Suriah pada Juli 2012 ketika kota itu terbelah dua. Pasukan pemberontak, diperkuat oleh desertir dan anggota Tentara Pembebasan Suriah bersama para sekutunya berusaha merebut Aleppo dari tentara pemerintah. Mereka ingin mengambil alih kota-kota Suriah yang vital, lalu memantapkan dominasi wilayah mereka di bagian utara Suriah.
Usaha keras pasukan pemberontak nyaris setengah kemenangan. Pada 2012, mereka gagal mengambil alih sebagian besar kota Aleppo, namun berhasil merebut wilayah timur kota tersebut.
Sejak itu, Aleppo—kota terbesar di Suriah—lumpuh akibat perang saudara yang kejam. Pasukan pemberontak menduduki wilayah timur, sedangkan rezim pemerintah memegang wilayah barat.
Pembagian wilayah kekuasaan Aleppo bertahan seperti ini untuk beberapa saat. Namun, Juli lalu, tentara pemerintahan Assad melakukan taktik kotor—yang bergantung pada dukungan angkatan udara Russia dan tentara milisi Syiah—yaitu menghadang satu-satunya jalan raya yang digunakan pasukan pemberontak untuk menerima persediaan makanan. Melalui blokade jalan itu, tentara Assad memulai serangan dua tahap: serangan udara yang gila-gilaan dan gempuran darat tanpa henti.
ALASAN PERTEMPURAN ALEPPO SEMAKIN INTENSIF SEKARANG
Tentara pemerintah Suriah mendapat bantuan signifikan September lalu dari pasukan udara Rusia, ditopang milisi darat bekingan Iran. Sejak itul mereka meningkatkan serangan darat dan udara, ke wilayah Aleppo yang dikuasai pemberontak.
Menipisnya persediaan makanan dan obat-obatan di dalam Aleppo, ditambah serangan udara di wilayah timur kota itu—termasuk pemboman rumah sakit yang masih berdiri—membuat wilayah yang diduduki pasukan pemberontak tersebut semakin lemah. PBB memperkirakan ada sekitar 250.000 penduduk masih bertahan di Aleppo.
“Banyak perumahan hancur dibom serangan-serangan udara,” kata Mohamad Shbeeb, mantan pelajar dari perumahan Al-Mash’had di wilayah Timur Aleppo. “Sangat sulit memahami semua yang terjadi di kota ini. Serangan-serangan yang dilakukan oleh rezim pemerintah membuat situasi kami semakin buruk.”
Taktik perang kota, pemotongan sumber daya warga sipil, dan serangan udara gila-gilaan yang diterapkan oleh pasukan Assad membuat Komisioner Badan HAM PBB mengkritik habis-habisan pemerintah Suriah. Pada akhir Oktober 2016, pejabat PBB menjuluki kota Aleppo sebagai “rumah jagal”. Stephen O’Brien, Wakil Menteri Umum PBB Bagian Isu Kemanusiaan menyatakan situasi Aleppo sebagai “aib generasi kita.”
Gencatan senjata serta negosiasi perdamaian yang gagal antara pemerintah Suriah dan pemberontak—difasilitasi AS dan Rusia—ditambah tidak adanya intervensi dari negara lain, memperkeruh situasi wilayah timur Aleppo yang sudah kehabisan persediaan makanan dan obat-obatan. Penduduk dan pasukan pemberontakan Suriah lah yang menanggung akibatnya. Mereka harus bertahan menghadapi tidak adanya persediaan makanan, pengeboman udara yang bertubi-tubi hanya mengandalkan tenda-tenda seadanya sebagai rumah sakit dadakan.
“Orang cuman mikirin gimana caranya bisa bertahan hidup. Gak ada yang mikirin besok gimana; semua hanya mencari tempat yang aman,” kata Shbeeb.
Menurut laporan PBB, 16.000 penduduk sipil Suriah meninggalkan Aleppo Timur seiring mengganasnya serangan dari tentara Assad, Rusia dan milisi-milisi terkait. Setelah itu, Dewan Keamanan PBB mengadakan rapat dadakan dan menganjurkan gencatan senjata selama tujuh hari. Resolusi ini diveto delegasi Rusia dan Cina hari Senin lalu. Akibatnya serangan tentara Assad semakin menjadi-jadi. Rusia dikabarkan tengah berusaha berdiskusi dengan AS seputar penarikan pasukan pemberontakan dari Aleppo.
APA YANG AKAN TERJADI SELANJUTNYA?
Tentara koalisi pemerintah Suriah menyerbu dengan cepat dan kini telah menguasai tiga perempat dari wilayah timur Aleppo yang dikuasai pasukan pemberontak. Sadar akan posisinya yang lemah, pasukan pemberontak meminta gencatan senjata selama lima hari agar mereka dapat mengevakuasi penduduk sipil yang terluka. Namun mereka tidak berniat untuk menyerah.
Seorang pejabat tinggi militer loyalis Assad mengatakan pada kantor berita Reuters, pasukan mereka berniat merebut sisa wilayah Aleppo sebelum Presiden baru AS, Donald Trump, dilantik 20 Januari 2017.
Assad tidak akan memenangkan seluruh wilayah Suriah hanya dengan merebut Aleppo—masih banyak perang-perang di bekas wilayah kerajaan Syam itu—namun keberhasilan di Aleppo setidaknya memberi Assad kekuasaan yang lebih mantap di kota-kota besar Suriah dan penduduknya.
Apabila Aleppo berhasil dikuasai oleh Assad, penduduk Suriah di daerah pedesaan akan mengalami kebingungan. Bibit-bibit ekstremisme akan tumbuh seiring dengan habisnya pasukan pemberontak moderat di Suriah. Sudah pasti Al-Qaeda dan ISIS akan memanfaatkan situasi ini untuk masuk.
“Merebut Aleppo tidak akan menstabilkan Suriah,” tulis Charles Lister, ahli keamanan dan terorisme. “Usaha Assad merebut Aleppo akan memperkeruh suasana. Kemungkinan besar 5 juta pengungsi Suriah tidak akan ingin pulang ke Tanah Air mereka.”
Issa dari Middle East Institute memperkirakan Assad memang berniat merebut Aleppo demi rencana jangka panjangnya: “Begitu semua kota besar anda kendalikan, pusat populasi, dan pusat perekonomian, anda dengan mudah bisa bernegosiasi, ‘Nih, sebagian besar negara ini sudah kami pegang, kita tinggal pilih akan melakukan apa sesudahnya.’”
Dalam beberapa minggu terakhir, pernyataan Assad mendukung teori tersebut. Strategi ini juga didukung oleh sekutu Assad seperti Rusia dan Iran. Tentunya, terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS juga akan memudahkan terlaksananya rencana ini.
“Ketika Trump dilantik sebagai presiden AS, Aleppo mungkin sudah dikuasai,” kata Michael T. Klare, seorang profesor perdamaian dan keamanan dunia di Hampshire College.
Trump pernah menyatakan bahwa dia tidak tertarik membangun negara yang hancur karena perang. Fokus sang presiden baru adalah membom ISIS habis-habisan. Strategi ini semakin mungkin terlaksana apabila pasukan-pasukan pemberontak kaum moderat didorong keluar dari Aleppo—sejauh ini pasukan pemberontak kerap menerima bantuan dari AS, Turki dan sekutu-sekutu mereka lainnya.
Kuatnya posisi Assad saat ini ditambah dengan kebijakan luar negeri Trump membuat teori aliansi AS-Rusia guna menyelesaikan perang saudara Suriah semakin mungkin terjadi, kata Issa.
Klare mengingatkan harga yang harus dibayar apabila skenario tersebut menjadi kenyataan. “Trump akan dianggap berkoalisi dengan orang-orang jahat yang selama lima tahun terakhir kita benci.”
Sikap Trump mengenai isu Suriah akan terlihat lewat kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri AS ketika dia menjabat nanti.
“Suriah dan Irak merupakan masalah yang rumit karena sebetulnya mereka termasuk masalah dalam negeri, dan bukan luar negeri semata. Sejauh ini, kebijakan luar negeri Trump hanya berkisar seputar membinasakan ISIS, yang sebetulnya hanya bagian dari usahanya untuk menenangkan pendukungnya,” kata Klare. “Sepertinya Trump mencari cara agar janjinya menghancurkan ISIS bisa terlaksana dan dia mencari sekutu yang bisa mewujudkan hal ini. Jadi sebetulnya strategi Trump itu pragmatis dan bersifat ‘yang penting bisa’. Dia gak peduli soal janji-janji dia selama masa kampanye.”
Para ahli menyebutkan bahwa perang Suriah yang keji ini akan memasuki tahapan baru. Perang-perang kecil di daerah pedesaan Suriah akan semakin marak, dan diperkeruh kehadiran organisasi-organisasi terorisme yang secara tidak langsung terbantu oleh aksi Assad.
Zouhir al-Shimale dan Olivia Alabaster melaporkan dari Aleppo dan Beirut.
More
From VICE
-
Screenshot: CinderCat Games -
Screenshot: Sloclap, Epic Games -
Photo: University of Bayreuth -
Photo: boonchai wedmakawand / Getty Images