Grup musik di Indonesia yang umurnya panjang bisa dihitung jari, apalagi yang beroperasi di jalur indie. Ada banyak rintangan menghadang. Dari perkara finansial, ‘mentok’ secara kreatif, atau prioritas yang berubah seiring umur bertambah, banyak yang akhirnya memilih untuk gantung sepatu—atau gitar?
Rute tragis macam itu untungnya tak dialami pionir musik elektronik asal Bandung, HMGNC. Grup ini baru saja merayakan eksistensi karir selama 20 tahun dengan merilis sebuah single baru, “Stay.” Itu judul yang amat pas bagi sebuah kelompok musik veteran yang ingin menegaskan bahwa mereka belum selesai.
“Stay” dimulai seperti sebuah nomor pop R&B modern yang moody, masih satu warna dengan rilisan terakhir HMGNC (2017). Namun di tengah lagu, sebuah melodi arpeggio synthesizer yang hipnotik muncul, mengantar kita ke chorus terakhir yang kali ini terdengar jauh lebih “penuh” dan dreamy ditemani ketukan downbeat. Manipulasi pitch dan filter pada vokal juga digunakan untuk memberikan nuansa klimaks pada lagu.
Dina Dellyana (synth, programming) mengaku mengambil elemen dari semua fase material HMGNC ketika menulis “Stay.”
“Gue lagi dengerin lagu-lagu HMGNC yang lama, terus jadi mikir, ‘dulu kita kenapa bikin lagu kayak gitu ya?’ dan akhirnya ngambil sedikit dari album ini, sedikit dari album itu, dan dirangkum jadi single ini dan satu single baru lagi nanti,” ujar Dina saat ngobrol dengan VICE Indonesia.
Videos by VICE
Grahadea Kusuf (synth, programming) menambahkan, “Stay ini adalah preset-preset lama yang kita gali kembali tapi recreate dengan alat-alat baru.”
Nuansa dreamy “Stay” menjadi soundtrack yang cocok bagi liriknya yang terbaca seperti sebuah penegasan kesetiaan ke pasangan, “Never get enough of you / I just wanna be with you / to wherever you go, I go.” Namun, Dina Dellyana (synth, programming) mengaku bahwa cinta yang dimaksud dalam lagu tersebut cakupannya jauh lebih luas.
“Dua tahun pandemi ini bikin kita reflect, karena jadi lebih banyak quality time di rumah sama keluarga, jadi lebih menghargai orang-orang di sekitar kita,” ujar Dina, “jadi Stay lebih ke arah situ, about being grateful.”
Sikap grateful ini juga dikemukakan HMGNC ketika membahas kelangsungan grup mereka selama 20 tahun terakhir, pencapaian yang cukup sulit dicapai pelaku kancah musik elektronik lokal lain.
“Selama 20 tahun ini, kita ngeliat the rise and fall of electronic bands, banyak yang tiga atau lima tahun udahan, jadi kita grateful udah bisa 2 dekade jalan terus, yang adalah setengah umur dari gue sama Dina, dari kita masih bego,” ujar Dea. “Biasanya band ketika personilnya nikah, punya anak, ketemu drama kehidupan, terus udahan aja gitu. Kita udah ngelewatin itu semua dan masih bareng, jadi gue sangat bersyukur.”
Terinspirasi oleh boom musik elektronik di era MTV 90’an, terutama oleh karya-karya Björk (dan tentunya album Homogenic yang dirilis pada 1997) HMGNC menggabungkan elemen trip hop, pop dan IDM secara unik.
Dea, Dina dan vokalis Risa Saraswati mulai memainkan musik elektronik pop versi mereka sendiri di awal 2000an, saat eksistensi musik elektronik lokal masih terbilang minim dan teknologinya masih sangat terbatas.
“Sekarang semua orang bisa jadi bedroom musician, bisa nonton youtube dan bisa beli hardware yang harganya terjangkau. Kita dulu harus pakai creative soundcard yang buat gaming. Kita harus rekaman dengan latency yang parah banget saking jeleknya soundcard yang ada saat itu. Pas awal-awal main live kita pernah pake CDJ minus three,” kenang Dea sambil tertawa.
Menggunakan PC alakadarnya, software fruit loops dan keyboard electone yang menawarkan colokan MIDI in dan out, HMGNC (saat itu masih ditulis ‘Homogenic’) menjadi salah satu grup musik elektronik pertama di Indonesia—di luar ranah DJ dan musik club—bersama Media Distorsi dan Electrofux.
Setelah dua dekade, kancah musik elektronik Indonesia sudah jauh berkembang. Di level yang lebih mainstream, berbagai festival musik elektronik besar yang menarik ribuan orang diadakan setiap tahunnya. Sementara di kancah indie, berbagai spektrum style musik elektronik bisa ditemukan, mulai dari post-industrial BPM ngebut ala Gabber Modus Operandi, duo R&B White Chorus, elektro-akustik eksperimental besutan Uwalmassa dan masih banyak lagi.
Dea mengaku menikmati nama-nama baru di kancah musik elektronik lokal dan bagaimana banyak style-style lama bisa dimainkan kembali oleh generasi baru dengan semangat dan bentuk yang berbeda.
“Musik yang dulu dianggap cheesy dan bukan IDM [intelligent dance music] kayak rave, trance, happy hardcore dan deep techno, sekarang dibawain lagi,” jelas Dea, “tapi yang keren buat gue, style lama ini direvived tapi dikasih twist jaman sekarang.”
Dea mengaku sangat kegirangan menonton idola mereka Björk memainkan lagu Gabber Modus Operandi (GMO), di sebuah DJ set yang disiarkan secara online (Kasimyn, salah satu dari duo GMO menjadi salah satu kolaborator di album terbaru artis asal Islandia tersebut yang bertajuk Fossora).
“Menurut gue tepat sih pilihan Björk, gue ngefans sama Kasimyn dan GMO,” tutur Dea.
HMGNC sendiri pun mengalami banyak perubahan dalam perjalanan karya musik mereka. Awalnya sinonim dengan label indie asal Bandung, Fast Forward Records—yang juga menjadi rumah bagi The S.I.G.I.T, Mocca, Pure Saturday, Polyester Embassy, dan masih banyak lagi— album pertama Homogenic, Epic Symphony (2004) menawarkan trip hop dengan balutan melodi pop yang moody, sementara Echoes of The Universe (2006) mengembangkan style mereka lewat berbagai variasi beat, bunyi synthesizer yang lebih lush dan melodi yang sangat catchy.
Setelah hiatus beberapa tahun akibat masalah internal, mereka merilis album ketiga Let A Thousand Flowers Bloom (2010) bersama vokalis baru Amandia Syachridar yang menggantikan Risa. Masuknya Amandia membawa nuansa baru, membuat musik Homogenic terdengar jauh berbeda di era ini—penuh harapan dan upbeat.
“Amandia orangnya kalem, masuk bawa vibe positif, makanya lagu-lagunya jadi positif, jadi sans, jadi chill,” ujar Dina.
Transformasi Homogenic berikutnya ditandai lewat perubahan penulisan nama band menjadi HMGNC. Di album keempat mereka yang berjudul HMGNC dan dirilis oleh Demajors, sound mereka kembali berganti, kini lebih sarat dengan influence R&B dan beat-beat “chill” yang lebih kontemporer,
“Materi-materi kita yang baru itu sebenernya playlist yang sangat rebahan, buat listener yang masih baru dengan musik elektronik, mungkin bisa dianggap lagu chill hop biasa dan gak dapet underlying message atau tonenya. Kita sedikit banyak mencoba relevan dengan saat ini, bikin versi kita sendiri dari sound yang lagi rame, kalo ini udah sering kita lakukan,” jelas Dea.
“Pas manggung juga keliatan demografi mana yang suka materi mana. Misalnya ada yang suka eranya Risa, atau materi pas udah ada Amandia. Setiap ada materi baru, bakal buka demografi baru,” lanjut Dea.
Namun perubahan menghadirkan tantangan baru buat HMGNC. Berhubung semua personil bekerja full-time dan sudah berkeluarga, tuntutan untuk menjadi artis, mempromosikan lagu sendiri, sekaligus bikin konten medsos yang lumrah dialami musisi di era digital menjadi sesuatu yang baru bagi mereka.
“Jadi ngulik [musik] gak cukup, harus ngulik potensi engagement-nya, harus bikin lagu yang banyak orang bisa relate. Kalau dulu mau bikin lagu apa, suka-suka. Kalo gak punya full team buat handle ini semua, pressure sih,” keluh Dina.
HMGNC sendiri memilih santai dalam menavigasi fase mereka berikutnya. Mereka yakin bakal baik-baik saja. Menurut Dina, punya mentalitas dan ekspektasi yang sehat menjadi kuncinya.
“Bikin band itu sama kayak pernikahan, ada ups and downs. Kadang-kadang ada yang enggak tahan terus give up. Dari awal HMGNC, gue pengen bikin musik aja. Yang penting bikin. Kita bukan musisi full time dan punya pekerjaan yang menghidupi hobi kita ini, jadi mentalitasnya harus bener, HMGNC ini pain killer,” tutur Dina.
HMGNC sendiri merupakan produk dari kedekatan tiga personelnya di luar urusan musik. Dea menyebut momen favorit mereka sebagai HMGNC selama 20 tahun, selalu melibatkan dia, dina, dan manda dalam bermacam kegiatan. Dari mengisi workshop produksi musik, atau lagi sekadar sepedaan. “Gue gak bosen sama mereka-mereka di berbagai arena, dan gak ada lagi yang kayak gitu.”
Bagi Amandia, momen favoritnya selama di HMGNC berhubungan dengan lagu “Kisah Kita” yang bersifat sangat personal bagi dirinya. “Mereka selalu ada saat gue terpuruk atau lagi hepi-hepi. Ada momen ketika gue lagi kehilangan anak, dan itu the worst part of my life, mereka bikinin gue lagu, dan benar-benar ada buat gue. Jadi yang gue rasain, mereka keluarga gue,” ujarnya.
Dalam rangka merayakan 20 tahun perjalanan mereka, HMGNC berniat merilis piringan hitam 7 inci berisikan materi baru “Stay” dan satu single lagi berjudul “Heart to Feel” dan juga sebuah CD ‘best of’ berisikan lagu-lagu pilihan fans sesuai voting. Konser intimate juga kabarnya sedang digodok dan kemungkinan bakal diselenggarakan di Jakarta dan Bandung.
Yudhistira Agato adalah jurnalis lepas yang bermukim di Jakarta, fokus mengamati kancah musik Indonesia. Laporannya bisa dibaca di VICE, the Jakarta Post, serta NME. Follow dia di Twitter