Jauh di pedalaman hutan hujan Mindanao, hidup kelompok etnis yang adat istiadatnya jauh lebih progresif dari mayoritas penduduk Filipina saat ini. Mereka merangkul dan menerima komunitas transgender seutuhnya.
Gaya hidup dan kebudayaan Teduray, begitulah namanya, terekam dalam buku Wisdom from a Rainforest: The Spiritual Journey of an Anthropologist dan esai “On Growing Up A Boy In America”. Penulis Stuart Schlegel menceritakan pengalamannya bertemu pemain kolitong (kecapi bambu) bernama Ukà, seseorang yang disebut mentefuwaley libun di tempat tinggalnya.
Videos by VICE
Dalam bahasa lokal Teduray, “mentefuwaley” berarti “orang yang menjadi” dan “libun” berarti “perempuan”. Dengan demikian, mentefuwaley libun diartikan sebagai “orang yang menjadi perempuan”. Dalam tulisannya, Schlegel juga pernah bertemu a mentefuwaley lagey, atau lelaki yang terlahir sebagai perempuan.
Warga Filipina yang memiliki orientasi seksual lesbian, gay, biseksual, transgender, queer belum sepenuhnya terbebas dari diskriminasi. Seorang transpria (laki-laki trans) dibunuh dengan kejam di kota Quezon pada Mei. Bahkan saat Pride Month Juni lalu, sejumlah perempuan lesbi dipermalukan di depan umum dengan mencukur kepala mereka.
Para pegiat hak LGBTQ+ sudah berusaha meloloskan RUU yang memberi perlindungan terhadap identitas dan ekspresi gender, tapi ditolak mentah-mentah oleh Kongres. RUU ini juga ditentang sejumlah orang karena “tidak sesuai” dengan budaya dan kearifan lokal Filipina. Namun, sejarah tentang suku Teduray menunjukkan masih ada tempat untuk kelompok transgender di negara itu.
Peristiwa yang mendorong terciptanya gerakan pembebasan gay di Stonewall dimulai pada 1969, sementara istilah “transgender” mulai digunakan pada 1971. Schlegel hidup bersama suku Teduray jauh sebelum itu, pada pertengahan 60-an.
Berdasarkan pengakuan sang antropolog, dia bingung melihat penampilan Ukà yang seperti perempuan. Dia bahkan sampai menanyakan jenis kelamin pemain kolitong itu ke pemandunya. Schlegel lalu memberi tahu mereka, orang Amerika yang ingin mengubah jenis kelaminnya dihina dan dianggap sebagai orang jahat.
Anggota suku Teduray kaget mendengarnya. Mereka juga heran kenapa Schlegel ngotot menanyakan jenis kelamin Ukà. Bagi mereka, Ukà dan mentefuwaley libun lainnya adalah perempuan tulen. Begitu pula halnya dengan mentefuwaley lagey.
“Yang bikin Schlegel frustrasi yaitu informannya tidak tertarik membicarakan mentefuwaley,” Kenette Millondaga, asisten profesor antropologi University of Philippines Mindanao (UP Mindanao), berbicara kepada VICE. “Itu bukan hal yang perlu dibicarakan bagi mereka. [Mentefuwaley] adalah bagian dari masyarakat.”
Bab yang membahas tentang mentefuwaley hanya ada enam halaman. Millondaga menduga babnya sangat pendek karena identitas gender ini lazim di suku Teduray, sehingga tidak ada yang mempermasalahkannya.
Schlegel menulis, dalam budaya Teduray, gender tidak ditentukan oleh atribut biologis, tapi berdasarkan cara individu mengidentifikasi diri mereka dan peran yang mereka mainkan di masyarakat.
“Suku Teduray tidak mendiskriminasi anggota berdasarkan jenis kelamin,” terang Millondaga, merujuk pada kisah Schlegel. “Tidak sulit membayangkan ada mentefuwaley selain seniman seperti Ukà; kami yakin mentefuwaley juga terlibat dalam kegiatan ekonomi.”
Namun, mentefuwaley tidak bisa menikah. “Pandangan Teduray adalah pernikahan setara dengan reproduksi, jadi itu pengecualian untuk mentefuwaley,” ujar Millondaga.
Sisanya, mereka diperlakukan setara sebagai manusia.
Schlegel menduga tidak adanya perbedaan status antara laki-laki dan perempuan di masyarakat menjadi alasan suku Teduray mengakui keberadaan mereka secara terbuka.
“Laki-laki melakukan pekerjaan fisik yang berat dalam bercocok tanam, seperti menebang pohon besar, sedangkan perempuan menyiangi. Namun, tak ada yang menganggap tugas menebang pohon lebih penting daripada menyiangi,” tulisnya. “Perempuan dan laki-laki memiliki status sosial yang sama, betapa pun bergengsinya: dukun, orang hukum dan tabib.”
Millondaga selalu memasukkan sejarah mentefuwaley ke dalam bahan ajarnya di kampus. Dia ingin murid-muridnya memahami orang transgender diakui masyarakat lokal di masa lalu. Nenek moyang rakyat Filipina tidak pernah membeda-bedakan mereka.
“Transgender bukanlah gagasan baru. Kita punya contohnya dari suku asli, jadi saya pikir penting sekali menyertakan kisah Ukà, terutama saat membicarakan gender dalam konteks Mindanao,” tuturnya. Mindanao merupakan pulau terbesar kedua di Filipina, dan termasuk dalam tiga kelompok pulau utama.
“UP Mindanao Mentefuwaley” adalah satu-satunya organisasi LGBTQ+ yang didirikan UP Mindanao. Istilah mentefuwaley digunakan sebagai pembuktian komunitas LGBTQ+ bukan ajaran Barat.
“Budaya kita memiliki sejarah asli homoseksualitas dan transgender yang unik,” Malaya Lapina, mahasiswa antropologi dan anggota organisasi, memberi tahu VICE.
Millondaga mengungkapkan, berkat organisasi mahasiswa ini, diskusi tentang gender menjadi lebih terbuka.
“[Mahasiswa] mengira mentefuwaley adalah istilah buatan orang gay, sehingga [mempelajari asal-usulnya] menjadi momen eureka bagi mereka,” katanya, lalu menambahkan bahwa wawasan ini menarik perhatian mahasiswanya. Diskusi di kelas terasa lebih menyenangkan.
Suku Teduray masih ada di Filipina, tapi menurut Millondaga, desa yang dikunjungi Schlegel sudah hilang akibat konflik dengan kelompok lain. Tak ada yang tahu apakah anggotanya masih memperlakukan mentefuwaley seperti dulu atau tidak.
“Para antropolog, khususnya yang di Filipina, harus mempelajarinya lagi,” imbuhnya.
Lapina berpendapat mengangkat kisah mentefuwaley di masa lalu dapat meningkatkan pemahaman masyarakat, serta mempermudah penerimaan bagi komunitas transgender di masa sekarang.
“Pengetahuan tentang wawasan seksualitas asli bagus untuk dipelajari lagi,” jelasnya. “Akan sangat membantu jika kita bisa memulai diskusi tentang penerimaan komunitas LGBTQ [di antara orang Filipina].”
Follow Romano Santos di Instagram.