Label anarko beberapa pekan terakhir menjelma pasal karet buat polisi untuk menjerat siapa saja. Aktivis-peneliti, anak punk, dan pencuri helm udah jadi korban tudingan anarko, mungkin aja besok giliran kamu yang kena. Enggak buruk untuk bersiap menghadapi yang terburuk, jadi VICE coba ngasih menyusun prosedur tetap (protap) apa-apa saja yang mesti kita lakukan kalau ada ninu-ninu di depan rumah.
Tahu soal ini penting mengingat peneliti Ravio Patra sebagai korban terbaru anarko-anarkoan mengalami kejanggalan prosedural saat ditangkap. Dalam siaran pers Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (KATROK) disebut, salinan surat penangkapan dan penggeledahan tidak bisa ditunjukkan polisi saat menangkap, ada kekerasan verbal saat penyidikan, serta akses Ravio ditutup dari dunia luar.
Videos by VICE
1. Tanyakan identitas si polisi dan minta salinan surat penangkapan
“Ini diatur di KUHAP No.8/1981 tentang Penangkapan. Polisi harus punya bukti permulaan yang cukup dan dilengkapi surat penangkapan. Hanya OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang memperbolehkan aparat menangkap tanpa surat, itu pun harus segera disertakan segera setelah penangkapan terjadi,” kata Anggota Tim Kampanye Amnesty International Indonesia (AII) Aldo Kaligis kepada VICE.
Seseorang yang ditangkap berarti dia sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Sebab, kayak dibilang Aldo tadi, penangkapan mensyaratkan polisi (1) sudah memiliki bukti permulaan yang kuat, dan (2) seseorang itu memang perlu ditahan untuk keperluan penyidikan, penuntutan, atau peradilan.
Kalau ditangkapnya pas di rumah, setelah membukakan pintu untuk si polisi kita berhak nanyain identitasnya, beneran enggak dia anggota Polri. Sekarang ngeh kan kenapa di film-film Hollywood adegan polisi datang selalu disisipi dengan acara pamer ID card. Selain itu, ternyata enggak semua polisi berhak nangkap-nangkapin orang, melainkan cuma penyidik atau penyidik pembantu yang boleh. Syarat detail polisi yang boleh melakukan penangkapan dijelasin Hukum Online di sini.
Kata Aldo, surat penangkapan tersebut harus berisi identitas kita, alasan ditangkap, dan penjelasan singkat tentang pelanggaran hukum yang kita lakukan.
“Lalu, polisi juga harus punya salinan surat itu untuk diberikan kepada pihak keluarga. Setelah kita dibawa ke penyidik, mereka punya waktu satu hari untuk menentukan langkah selanjutnya: menetapkan kita sebagai tersangka, saksi, atau apa pun. Itu diatur di Bab 5 (KUHAP),” tambah Aldo.
Kalau lebih dari 1 x 24 jam ditangkap status tersangka enggak naik jadi terdakwa, dia bisa minta dipulangin. Soalnya, sering kejadian setelah dibawa ke kantor polisi, tersangka enggak segera diproses.
Biar makin clear sama istilah-istilah di sini, jadi tersangka itu adalah orang yang diduga berbuat pidana, yang mana dugaan itu berdasarkan bukti permulaan yang kuat. ketika dia udah siap dituntut di pengadilan, statusnya naik jadi terdakwa. Lalu ketika dia menerima vonis hukuman pidana, sebutannya ganti jadi terpidana.
2. Gimana kalau polisi tidak menunjukkan surat penangkapan? Apakah kita tetap bisa menolak ditangkap?
“Sangat bisa, [kalau enggak ada surat penangkapan] kan belum jelas juga dibawa untuk diperiksa sebagai apa dan untuk suatu peristiwa hukum apa,” kata Tim Advokasi LBH Surabaya Jauhar kepada VICE.
Kita juga bisa membaca Buku Saku Tersangka yang pernah dirilis LBH untuk mendapatkan informasi serupa. Di buku tersebut dituliskan, apabila polisi tidak bisa menunjukkan surat penangkapan, kita diminta untuk menolak dibawa ke kantor polisi. Biasanya sih, petugas akan merayu agar kita mau ikut dulu ke kantor polisi barang sebentar. Sampai di kantor, kita lantas ditahan dan tidak diizinkan pulang.
Berangkat dari sini, obrolan jadi berlanjut membahas konsep fair trial alias pengadilan yang adil. Katakanlah kita akhirnya emang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi, di sana kita berhak didampingi pengacara dan terhindar dari pelanggaran etik saat interogasi. Misalnya, dikurung di ruangan gelap atau disiksa supaya mengaku. Sebab, kita kan masih tersangka, maka polisi harus memegang asak praduga tak bersalah.
“Kita punya hak untuk mendapatkan mendapatkan pendampingan hukum dan tidak ditutup aksesnya kepada dunia luar. Ini penting karena sering kali polisi kalau melakukan penangkapan, terduga pelaku lantas ‘disembunyikan’. Pada saat kita dieksklusikan dari dunia luar inilah rentan terjadi jenis-jenis pelanggaran HAM lain seperti penyiksaan,” kali ini Aldo yang menjelaskan.
Sampai sini ada yang perlu di- highlight. Menurut Peraturan Kapolri 8/2009 Pasal 16, ketika penangkapan polisi harus mempertimbangkan bahwa, salah satunya, penangkapan bukanlah penghukuman bagi tersangka. Lalu di Pasal 17 peraturan tersebut juga ada kewajiban polisi memberi tahu ke-7 hak tersangka (detailnya dijelasin di sini).
3. Lho, kalau gitu, mengapa polisi tetap berhasil menangkap Ravio Patra yang udah tahu hak-haknya ketika ditangkap ?
Apalagi Ravio udah nanyain surat penangkapan yang mana enggak bisa ditunjukkan polisi penangkapnya, gimana dong?
“Yang ini agak tricky. Ada pasal di KUHP yang menyebutkan kalau kita menolak nurut polisi saat ditangkap, kita bisa kena pidana. Kalau kita menolak dipanggil polisi buat jadi saksi, kita juga bisa kena pidana. Mungkin itu bisa sedikit menjelaskan mengapa kemudian orang yang paham hak-haknya tetap mau dibawa polisi.
Pada akhirnya, sistem perundang-undangan kita memang tidak pro kepada korban/terduga pelaku. Perlu adanya reformasi criminal justice system yang tidak hanya melibatkan kepolisian, tapi juga kejaksaan dan hakim demi mendukung terciptanya asas fair trial,” tutup Aldo.
Wah, serem juga kalau tricky gini. Artinya, kalau kita merasa berisiko sewaktu-waktu diciduk, misal karena kegiatan aktivisme, harus standby nyimpen nomor pengacara LBH dan punya teman yang bisa dikabarin tiap saat. Jadi, mulai lah punya lebih banyak teman ya.