Cerpen ini tayang sebagai bagian dari ‘Pekan Fiksi VICE: Indonesia 2038‘. Redaksi meminta penulis-penulis muda potensial negara ini menjelajahi kemungkinan situasi Indonesia pada 2038. Naskah yang kami terima rata-rata bercorak fiksi ilmiah, menyajikan gaya tutur segar, serta sudut pandang menarik saat mengulas topik seperti teknologi, lingkungan, agama, hingga nasib bahasa di masa mendatang.
Selamat membaca!
Videos by VICE
Kota
NUN jauh di masa depan sana tak ada lagi kota. Kata kota sudah dianggap purba, tak lagi dipakai dalam perbendaharaan sehari-hari; sudah beristirahat dalam Kamus Resmi Kata-kata Punah.
Pasalnya, ketika kota yang satu dengan kota lainnya sudah berhimpitan, sudah hampir tak ada lagi sekat pemisah yang jelas antara keduanya. Orang-orang bingung pada titik mana kiranya mereka sudah berpindah kota, dan solusinya tentu saja menggabung kedua kota tersebut jadi satu. Dan begitulah, kota-kota terus membesar dan membesar dan terus berkonurbasi dengan kota-kota lainnya, sampai muka satu benua—atau pulau, untuk lempengan yang lebih mungil—sudah jadi kota semua. Dan ini dilema baru lagi, sebab ada dua nama untuk satu wilayah yang sama: Benua Eurasia dan Kota Eurasia.
Pak Nuri, orang paling kaya no. 2 segalaksi Bima Sakti punya ambisi untuk membangkitkan kembali kata “kota” ini dari kepunahan. Sejak awal Pak Nuri ini memang seorang penggiat dan pemerhati akut kata-kata punah. Dia sosok yang sudi dan sudah membayar berapa pun demi menyelamatkan kata-kata yang hampir-punah, dan sudi pula melakukan hal yang sama untuk kata-kata yang sudah punah. Sebagai permulaan tentu mustahil bagi Pak Nuri untuk menyelamatkan semua kata-kata yang sudah punah, maka dia harus fokus pada satu kata punah. Ratusan kata dari Kamus Resmi Kata-kata Punah sempat masuk pertimbangannya, mulai dari “prostitusi” sampai “kopulasi”, dan pilihan akhirnya jatuh pada kata “kota”, yang menurutnya lebih gampang dan aman dibanding kata-kata seperti “korupsi” atau “polusi”.
Hal pertama yang dilakukan Pak Nuri adalah mencari wilayah untuk menghidupkan kembali “kota”, sebab untuk menghidupkan kembali kata “kota” dia harus menghidupkan kembali maknanya sampai senyata-nyatanya. Karena menurutnya menghidupkan kota di Bumi atau koloni lain yang sudah padat dan sesak adalah sia-sia, maka Pak Nuri menghabiskan 15% dari total kekayaannya untuk membeli satu planet baru. Bukan planet yang besar, tapi layak huni dan tak terlalu jauh dari koloni berpenghuni—cukuplah untuk memenuhi ambisinya. Setelah semua urusan administrasi tentang planet tersebut selesai, Pak Nuri langsung mengumpulkan para pakar dari berbagai disiplin ilmu dan dia beberkan semua rencana agungnya. Memang, tak sedikit dari mereka yang menganggap rencana tersebut tak lebih dari sekedar ide nyentrik khas orang kaya yang sudah kebingungan membuang-buang uang, tapi apa boleh buat, mereka sudah terlanjur dibayar mahal.
Maka mulailah Pak Nuri membangun kota. Salah satu pakar yang dia bayar menjelaskan bahwa sebaiknya Pak Nuri memulai dengan membangun “desa”—kata yang juga sudah terkubur dalam Kamus Resmi Kata-kata Punah—sebagaimana yang dia baca dari Ensiklopedia Masa Kuna: “Kota dimulai dari Desa”. Tapi Pak Nuri menolak. Dengan tegas dia katakan kalau dia ingin membangun kota dengan segala identitas dan karakteristik fundamentalnya, dan bukan kata punah yang lain; sehabis kota mungkin dia akan menghidupkan kembali kata “desa”, tapi itu urusan nanti. Dan tepat di pusat benua paling besar di planet tersebut, Pak Nuri mulai mendirikan bangunan-bangunan sebagai langkah awal.
“Ini seperti membangun real estate,” kata salah seorang pakar pada Pak Nuri.
“Ini seperti membangun koloni baru,” kata pakar yang lain.
“Ini membangun kota,” Pak Nuri membantah tegas.
Satu per satu bangunan selesai dibangun, jalur-jalur layang membentang struktur-struktur mengapung, yang kesemuanya berpusat pada suatu balai pertemuan besar—tapi tidak semenjulang bangunan lainnnya—di tengah-tengah. Untuk menyempurnakan tata letaknya, Pak Nuri membayar ribuan ahli untuk menyeleksi segoogolpleks reka ulang kota-kota purbakala dari masa ke masa; dari lima finalis yang disodorkan, dia pilih satu yang paling menarik perhatiannya dan menurut instingnya paling mewakili hakikat kata “kota” itu sendiri untuk dijadikan inspirasi, satu yang dilabeli Meikarta tahun 2038.
Tak sampai satu setengah dasawarsa kemudian, lengkap sudah semua yang dirasa Pak Nuri perlu untuk kota tersebut: dari depot luar angkasa sampai esplanada di antara mega-mega, dari piazza gargantua sampai kubah sawah organik. Lengkap sudah, tentu saja, kecuali satu: kehidupan sosial.
Pak Nuri membuat iklan yang ditayangkan secara berkala—lumayan sering dibanding iklan-iklan lainnya—di tiap-tiap portal hologram di seluruh galaksi. Iklan tersebut sederhana: wujud kota yang dibangun Pak Nuri ditampilkan secara keseluruhan dari sudut-sudut yang paling menggiurkan dan diakhiri dengan suara halus perempuan, “Bergabunglah dengan kehidupan kota!” Tapi iklan tersebut membuat bingung orang-orang yang notabene tak sama sekali tak pernah mendengar kata “kota” sebelumnya—tak banyak orang yang peduli dengan kata-kata punah. Orang-orang menyalahartikan istilah “kota” yang dimaksud sebagai nama salah satu bangunan, atau malah nama keseluruhan koloni yang ditampilkan, atau nama perusahaan yang memasang iklan itu sendiri.
Mau tidak mau Pak Nuri sendiri harus turun tangan: melalui portal-portal hologram, dia kumandangkan sebuah pengumuman—boleh dibilang semacam iklan kedua—bahwa wilayah yang dia tawarkan adalah sebuah “kota”, dan bukan “planet” atau “koloni.” Lebih lanjut dia bacakan pengertian singkat “kota” berdasarkan Kamus Resmi Kata-kata Punah. Ini terbukti berhasil membuat orang-orang tertarik; bukan karena konsep “kota” yang ditawarkan atau misi mulia yang dijunjung tinggi Pak Nuri, tapi—salah satunya—lebih karena karena penasaran apa gerangan yang membuat orang kaya tersohor yang sudah bertahun-tahun menolak tampil di muka publik muncul begitu saja. Lantas orang-orang mulai berduyun-duyun pindah dari koloni-koloni yang sudah terlampau padat dan menjemukan, berharap mendapatkan sesuatu dari konsep misterius yang ditawarkan, dan begitulah kehidupan “kota” yang ditawarkan Pak Nuri pun dimulai.
Namun, Pak Nuri tak puas sampai di situ saja. Orang-orang, baik yang menetap maupun sekedar mengunjungi, mulai terbiasa menyebut tempat itu “kota”, sebagaimana yang telah ditentukan, dan bukan “planet” atau “koloni”. Depot-depot dan agen-agen perjalanan luar angkasa memberi label “kota” pada jadwal mereka. Sekilas Pak Nuri seperti telah berhasil menghidupkan kembali kata “kota”, tapi Pak Nuri merasa ada yang kurang. Pak Nuri merasa ada yang belum tuntas dari kebangkitan kata “kota” yang diupayakannya. Bulan demi bulan berlalu dan Pak Nuri belum juga menemukan sumber ketidakpuasannya tersebut, sampai akhirnya, ketika dia menjelaskan makna “kota” serta rencana-rencana pembangunan yang telah disiapkan kepada keponakan yang tengah berkunjung, laki-laki kecil itu mengejutkannya dengan pertanyaan klise, “Terus apa jadinya nanti kalau kota ini sudah besaaaaaaaar sekali?”
Pak Nuri terusik oleh pertanyaan bocah itu. Tentu saja kotanya akan berkembang, meluas dan terus meluas sampai satu benua, sampai satu planet, dan kata “kota” akan punah sekali lagi. Pak Nuri memikirkan dan terus memikirkan, dan cuma satu jalan keluar efektif yang melintas di kepalanya: membangun kota—atau kota-kota—baru. Semula Pak Nuri mempertimbangkan untuk membangun kota-kota baru di planet-planet baru, tapi ini sepertinya sia-sia, sebab kota-kota tersebut akan berkembang. Pak Nuri akan membangun kota di planet yang sama, di benua yang sama, di lahan-lahan yang masih tersisa, dan yang Pak Nuri butuhkan ialah bagaimana caranya agar kota-kota tersebut bisa berkembang tanpa perlu menyatu satu sama lain.
Yang spontan dipikirkan oleh Pak Nuri adalah batas dan jarak bagi tiap-tiap kotanya. Hal pertama yang dia lakukan adalah secara strategis membagi-bagi wilayah planetnya menjadi dua bagian: wilayah pembangunan dan wilayah batas. Selanjutnya Pak Nuri mulai k embali membangun kota-kota di enam wilayah pembangunan. Dia beri nama bagi kota-kota tersebut sesuai dengan ciri khasnya kelak: Kota Niaga, Kota Industri, Kota Organik, Kota Hiburan, Kota Nano, dan Kota Mengambang. Masing-masing kota dipisahkan oleh wilayah batas yang tak boleh diisi apapun selain alam perawan dan jalur-jalur layang penghubung antar kota. Sekian tahun kemudian, kota-kota tersebut siap, iklan hologram menggirukan kembali ditayangkan, dan orang-orang kembali berduyun-duyun datang, berharap menjadi penghuni.
Pak Nuri lumayan puas. Sekalipun kata “kota” belum resmi keluar dari Kamus Resmi Kata-kata Punah, kata tersebut sudah ramai digunakan dalam kehidupan sehari-hari, setidaknya oleh para penghuni kota-kotanya. Pak Nuri yakin, hanya tinggal hitungan tahun saja kata “kota” akan resmi dinyatakan bangkit kembali, dan ketika itu terjadi, seisi Galaksi Bima Sakti akan tahu kalau dia bukan sekedar aspiran gila. Dia sadar, “hanya tinggal hitungan tahun” yang dia pikirkan itu sesungguhnya bukan sesuatu yang bisa dia kompromikan. Kenyataannya Komite Bahasa Galaksi Bima Sakti sampai sekarang bagai masa bodoh saja terhadap kerja keras dan gairahnya ini. Pak Nuri berpikir, barangkali dia perlu makin memantapkan pencapaiannya, barangkali dia perlu menghidupkan kata-kata punah yang lain. Mungkin sudah saatnya dia mulai dengan satu kata punah yang lain lagi; tidak ada kesempatan yang lebih baik daripada sekarang. Maka, setelah perenungan panjang, menimbang-nimbang antara lima kandidat kata punah yang dipilihnya sendiri, Pak Nuri menjatuhkan telunjuknya pada kata “hamil”.
Sekali lagi Pak Nuri harus memulai kerja kerasnya lagi.
Namun, beberapa tahun kemudian, manakala Pak Nuri tengah menyaksikan percobaan perdana untuk menciptakan “kehamilan”, dia menangkap kata-kata dari penjabaran pakar bayarannya, “… sampel hasil pembuahan tersebut akan terus berkembang dan terus berkembang di dalam tubuh resipien ….” Entah bagaimana ungkapan “terus berkembang dan terus berkembang” tak bisa berhenti menggaung di kepala Pak Nuri seharian itu, bercampur aduk dengan angka penghuni kota-kotanya yang membengkak hampir dua puluh kali lipat dari lima tahun sebelumnya. Membengkak dan terus membengkak, pikir Pak Nuri. Kota-kotanya mulai sesak dan protes-protes mulai bermunculan, menuntut pengembangan kota, bangunan-bangunan baru, dan semacamnya. sebab belakangan perhatiannya dicuri banyak oleh kata “hamil”, semua hiruk-pikuk itu baru diketahui oleh Pak Nuri. Dia lebih kaget lagi ketika mendengar cerita tentang sekelompok orang dari Kota Niaga yang diusir ke luar planet karena memaksa mendirikan bangunan di wilayah batas. “Kami harus melakukannya sebab tak ada lagi ruang yang ideal untuk peembangunan di darat, air, ataupun udara kota ini,” ungkap salah satu dari mereka kepada aparat.
Pak Nuri langsung lemas dan sesak ketika membaca semua laporan itu, tapi mulai tenang dan menarik kembali rasa kagetnya ketika ungkapan “terus berkembang dan terus berkembang” kembali berseru di kepalanya. Ini tantangan, pikirnya. Setelah perhitungan panjang dan rinci, dia putuskan untuk membiarkan sekian persen dari wilayah batas di tiap-tiap kota dijadikan area pengembangan. Pak Nuri sadar solusinya itu hanya bersifat sementara, tapi setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan sekarang dan lima tahun mendatang dan lebih efektif daripada membangun satu lagi kota baru di planet kecilnya itu. Sebagai tambahan, Pak Nuri merasa melakukan mengatur—atau dengan istilah spesifik yang dia gunakan, “mendisiplinkan”—peningkatan jumlah penghuni kotanya. Secara ketat dia tetapkan suatu batasan jumlah penduduk dan dia terapkan aturan-aturan rumit terhadap orang-orang yang hendak keluar-masuk kota-kotanya. Orang-orang bingung dan kaget dengan segala regulasi baru tersebut, tapi mereka tak terlalu keberatan dan cenderung lebih antusias pada apa-apa saja yang bisa dibangun di wilayah baru kota-kota mereka.
Semuanya kembali baik-baik saja dan Pak Nuri bisa mengembalikan fokusnya pada upaya menghidupkan kata “hamil” yang sudah makin menuju pencerahan.
Sekian tahun berlalu, Pak Nuri sudah semakin tua dan penyakitan, dan belum juga ada tanda-tanda kalau segala kerja kerasnya terhadap kata “kota” akan mendapat sorotan dari Komite Bahasa. Pak Nuri kecewa dan sebetulnya hampir-hampir putus asa juga, ketika muncul suatu kabar kalau seorang pengusaha muda hendak membangun suatu “kota” di sebuah planet perawan yang luasnya hampir dua kali lipat planet Pak Nuri. Langsung saja Pak Nuri antusias dan mengundang pengusaha muda tersebut dalam satu jamuan makan.
“Apa yang kamu tahu tentang ‘kota’?” tanpa basa-basi lagi Pak Nuri langsung menembak pemuda polos tersebut.
“Tentu saja,” pemuda itu menjawab dengan penuh semangat, “‘kota’ adalah konsep pengembangan koloni baru yang lebih ramah lingkungan di mana sebagian wilayah dari koloni tersebut dibiarkan tak tersentuh, alamiah apa adanya. Saya senang sekali bisa berhadap-hadapan langsung dengan Anda, pencetus konsep brilian di mana alam dan teknologi bisa mewujud dalam suatu wadah kehidupan—”
“Bukan,” sebelum pemuda itu berkicau lebih lanjut lagi, Pak Nuri langsung memotong, “bukan itu makna yang ada dalam pikiran saya sewaktu mencetuskan kata ‘kota’ dulu.”
Pemuda itu kaget dan terdiam, lalu memberanikan diri membual tentang ketertarikannya pada Koloni Nuri—begitulah seisi galaksi menyebut planet Pak Nuri sekarang—sampai Pak Nuri kembali memotong: “Tahu tidak apa yang menurut saya paling menarik dari Anda? Anda berani mempertaruhkan modal besar untuk sesuatu yang Anda sendiri tidak paham artinya.” Percakapan mereka pun berhenti sampai di situ.
Makan malam bersama Pak Nuri ternyata tak mengurungkan niat pembangunan koloni pengusaha muda tersebut. Kenyataannya, koloni baru tersebut lumayan sukses dan koloni-koloni lain bermunculan, memberikan alternatif buana hunian baru di bagi galaksi yang sudah luar biasa padat ini. Orang-orang menjulukinya koloni gaya “kota” atau koloni “kota”. Dan Pak Nuri akan teramat-sangat risih tiap kali mendengar orang-orang menyebut kata “kota” tidak dari makna yang telah dia cita-citakan dari awal. Tapi apa boleh buat, dia merasa umurnya sudah tidak cukup muda lagi untuk memperbaiki semua kekacauan tersebut.
Pak Nuri menaruh sisa-sisa harapannya pada kata “hamil”, yang sayangnya perkembangannya menurun menjadi begitu lamban, nyaris tanpa hasil. Bertahun-tahun percobaan dan tak satupun sampel pembuahan yang ditanam di tubuh resipien tak satupun berhasil bertahan sampai bulan kelima. Sebagai pertanggunjawaban para pakar yang dibayar mahal tersebut malah menyerahkan satu misteri pada Pak Nuri: “Bagaimana bisa manusia-manusia purbakala bisa secara mempertahankan sampel pembuahan dalam tubuh mereka selama sembilan bulan lamanya?”
Mendengar itu Pak Nuri menggaruk-garuk kepalanya. Dia ingin marah besar, tubuh tuanya tak memungkinkan.
Pak Nuri meninggal beberapa tahun kemudian. Ketika itu koloni “kota” sudah begitu populer. Beberapa koloni baru dengan gaya tersebut mulai bermunculan. Dan sebagai penghormataan untuk Pak Nuri, Komite Bahasa secara resmi menghapus kata “kota” dari Kamus Resmi Kata-kata Punah. Sekalipun dengan makna yang jauh dari impian Pak Nuri, kata “kota” bisa dibilang resmi hidup kembali.
Semua kekayaan Pak Nuri, termasuk Koloni Nuri dan penelitian seputar kata “hamil”, diwariskan pada satu-satunya putranya. Pada surat warisannya dia berpesan pada putranya, “Bapak masih punya harapan dengan kata ‘hamil’, lanjutkanlah cita-cita Bapakmu ini, Nak.”
Baturaja, 5 Maret 2016
*Rio Johan adalah penulis kelahiran 28 Agustus 1990 di Baturaja, Sumatera Selatan. Dia kuliah di Solo, lalu memulai karir kepenulisan di kota tersebut. Pada 2014, Rio didapuk sebagai Tokoh Seni Pilihan Majalah Tempo berkat kumpulan cerpen perdananya Akasara Amananunna.