Pulau Watakano sempat menikmati kejayaannya sekitar akhir 1970-an hingga pertengahan 1980-an. Om-om berkantong tebal datang dari pulau tetangga untuk melepas penat. Bagi mereka, pulau seluas 1,5 kilometer persegi ini adalah surga yang tak ada duanya di Jepang. Perempuan cantik menyambut mereka dengan hangat, siap melayani sampai puas.
Seperti julukannya, kehidupan masyarakat di “pulau prostitusi” — terletak di Prefektur Mie — berkembang pesat berkat para “gadis penjualnya”. Seperempat dari 270 penduduknya merupakan pekerja seks. Di era 80-an, mereka dapat menghasilkan sebesar dua juta yen (setara Rp265 juta dengan kurs sekarang) setiap bulannya. Sementara itu, warga biasa mengandalkan pemasukan dari toko kelontong, kedai dan apartemen sewaan. Penduduk pulau hidup makmur selama puluhan tahun.
Videos by VICE
Namun, pecahnya gelembung ekonomi Jepang pada 1992 membuat sebagian besar perusahaan tak lagi mampu menyediakan liburan mewah bagi para pekerja. Pulau Watakano mulai kehilangan pelanggan setianya.
Seiring berjalannya waktu, pulau tersembunyi ini kian ditinggalkan penghuninya. Hampir tidak ada pekerja seks yang masih menetap di sana sekarang. Tapi bagi warga yang kecipratan rezeki dari wisata seks, tempat karaoke dan gedung terbengkalai mengingatkan mereka akan masa lalu pulau yang gemerlap.
“Kalian mungkin penasaran bagaimana bisa pulau sekecil ini memiliki hotel dan pertokoan besar,” tutur penulis nonfiksi Mizuho Takagi yang meriset pulau Watakano. “Penduduk pulau hidup kaya berkat para perempuan ini. Karena itulah pulaunya benar-benar dijaga untuk waktu yang lama.”
Perubahan undang-undang di Jepang juga menjadi faktor kehancuran pulau tersebut. Jepang secara resmi melegalkan bisnis perempuan penghibur pada 1998, meski bentuk prostitusi yang melibatkan hubungan badan masih dilarang sampai saat ini.
“Sekarang kalian bisa panggil perempuan lewat telepon. Tak perlu lagi repot-repot pergi ke pulau lain,” terangnya.
“Pelanggan memang tidak bisa berhubungan seks seperti dulu di Watakano, tapi setidaknya mereka tak perlu menghabiskan ratusan ribu yen untuk pergi dan menginap [di tempat lokalisasi],” Takagi melanjutkan.
Sementara pegawai kantoran menemukan hiburan baru, jumlah petugas pemadam kebakaran, polisi dan PNS yang rajin main ke pulau ini semakin berkurang pada 2015, setahun sebelum Prefektur Mie mengadakan KTT G7 pertamanya. Takagi menjelaskan, penertiban aktivitas prostitusi di sana memaksa pekerja seks mencari nafkah ke tempat lain.
Walaupun kini identik dengan pelacuran, pulau Watakano dijadikan sebagai tempat peristirahatan pada zaman Edo antara tahun 1600-an hingga pertengahan 1800-an. Pelaut Osaka yang bepergian ke Edo (sekarang Tokyo) akan singgah di sana ketika cuaca buruk. Penduduk setempat memanfaatkan ini untuk menjual barang bawaan pelaut, memperbaiki seragam dan mempersiapkan makanan. Perdagangan seks tumbuh secara perlahan di sana.
Yang membedakan pulau Watakano dari kawasan lampu merah lainnya adalah pelanggan bisa berhubungan badan jika menginginkannya. Praktik ini sesungguhnya ilegal.
Ada dua jenis pelayanan yang ditawarkan pada saat itu. Pelanggan akan ditemani selama satu jam dengan membayar 20.000 yen (Rp2,6 juta), atau membayar dua kali lipat jika ingin menginap semalam di pulau Watakano. Keduanya sudah termasuk seks. Pelanggan bisa memilih perempuan yang disukai di bar. “Kira-kira mirip go-go bar di Thailand,” kata Takagi.
“Banyak yang datang berkelompok ke pulau ini. Selain ‘beli cewek’, mereka bisa menikmati onsen dan jalan-jalan ke Kuil Agung Ise di dekat situ. Bagi laki-laki, ini tempat liburan impian,” lanjutnya.
Akan tetapi, tersimpan sisi gelap di balik gemerlap kehidupan malam pulau Watakano. Sering terdengar kabar perempuan hilang di sana — mereka kemungkinan menjadi korban perdagangan manusia. Kepada Takagi, seorang korban menceritakan bagaimana dia melarikan diri setelah dijual.
“Pacarnya mengajak jalan-jalan ke pulau itu. Ketika dia pergi ke toilet, pacarnya hilang dan mama-san (muncikari) menghampirinya. Orang itu bilang ‘Kamu sudah dijual 2 juta yen (Rp264 juta)’. Dia dipaksa bekerja di sana sampai utangnya lunas,” Takagi membeberkan.
Takagi menerangkan, kondisi geografi pulau Watakano memudahkan pelaku perdagangan manusia untuk menyembunyikan perempuan korban penculikan. Mereka hanya punya dua pilihan untuk kabur, antara naik perahu yang gampang ketahuan atau berenang sejauh 500 meter. Meski ada yang berhasil kabur, kebanyakan terjebak di pulau selama bertahun-tahun.
Kisah pekerja seks Watakano tidak berakhir dengan kemundurannya. Banyak yang merantau dari Thailand untuk mencari peruntungan di Jepang. Takagi berujar, mereka meminjam uang demi kehidupan yang lebih baik, tapi akhirnya menjadi pekerja seks untuk melunasi utang. Setelah pembubaran pada 2015, mereka harus mencari cara untuk mendapatkan kebebasannya di tempat lain.