Tidak semua orang gabut dan tertarik mencoba hal-hal absurd karena susah keluar rumah selama pandemi corona (contohnya tren memasak gorengan air). Sebagian lainnya justru menjadi sangat kreatif dan menghasilkan karya-karya menarik, atau menekuni hobi yang tak pernah dijajal sebelumnya.
Putri Samboda, seorang fashion influencer di Instagram, termasuk yang mengisi momen pandemi untuk menghasilkan kreasi unik. Dia mengubah sisa bungkus mi instan Indomie menjadi bermacam produk fesyen. Dari aksesoris mungil, tas, rok, sampai jaket.
Videos by VICE
Samboda, yang berasal dari Yogyakarta, saat ini tinggal di Washington D.C, Amerika Serikat. Dia mulai rutin mengunggah konten-konten kreasi fesyen dengan bahan bungkus Indomie sejak Juni 2020. Konten tersebut viral, menjangkau penyuka fesyen yang bahkan tidak familiar dengan merek mi instan tersebut, maupun Indonesia sebagai negara asal produsennya.
Samboda mengaku eksperimen bikin aksesoris fesyen dari bungkus Indomie dipicu rasa bosan harus berdiam di apartemen selama pandemi melanda Amerika Serikat.
Dia lalu menilai sisa bungkus mi instan rasanya sayang kalau langsung dibuang. Sebagai orang Indonesia di perantauan, Samboda mengaku selalu menyimpan stok Indomie di apartemennya, dan hal itu membuat sisa bungkus bekas mi instan populer ini berlimpah baginya.
“Saya pikir, mengolah lagi bungkus mi instan itu cara lebih sehat untuk membunuh waktu. Saya dulu sempat juga bikin masker dari baju bekas, karena sempat kan tahun lalu susah cari orang yang jual masker,” kata Samboda saat dihubungi VICE.
Kreasi bungkus Indomie bekas yang dia buat pertama kali adalah rok yang matching dengan plat nomor mobilnya (bertuliskan Indomie). Konten itu cukup viral di Instagram.
Dari berbagai konten daur ulang bungkus indomie jadi produk fesyen buatannya, yang paling viral adalah kreasi tas mungil di bawah ini. Desain tas ini menurut banyak orang menyerupai rancangan Jacquemus Le Chiquito, dan mendapat lebih dari 5.000 likes di nstagram.
Samboda tak menduga kreasi isengnya akan disambut positif netizen, bahkan mendapat sorotan seramai ini.
“Ketika saya mulai bikin konten-konten daur ulang bungkus Indomie itu, ternyata yang banyak merespons justru bukan orang Indonesia. Padahal merek mi instan ini bisa dibilang inside joke-nya orang Indonesia,” ujarnya. “Saya tidak menyangka kalau pendekatan upcycling macam ini bisa cocok buat audiens Instagram.”
Sebelum pandemi, Samboda punya sekitar 5.000 follower di Instagram. Saat artikel ini dilansir, pengikut kiprah kreatifnya di medsos tersebut mencapai 14.000.
Proyek “iseng” Samboda akhirnya bahkan menarik perhatian anggota keluarga Salim, pemegang saham terbesar Indofood, yang jadi pemilik merek dagang Indomie. Meski kini kreasi pemanfaatan bungkus mi instannya populer, tapi dia menilai ide-idenya terpengaruh oleh berbagai tren fashion sekian tahun terakhir. Pengaruh paling kuat terutama datang dari koleksi desain busana musim gugur 2014 Moschino.
“Jadi, idenya sebenarnya sudah pernah muncul sebelumnya, saya cuma menambahkan gaya saya sendiri di rancangannya,” kata Samboda.
“Saya menyukai konsep multifungsi dari produk fashion. Jadi kreasi ini bukan sekadar bungkus plastik yang dijahit jadi satu kemudian bisa langsung disebut seni. Harus ada fungsi praktisnya juga,” imbuhnya.
Selain bungkus Indomie, Samboda pun membuat kreasi upcycling fesyen unik serupa dari bungkus kertas McDonald’s serta kaleng biskuit.
Sudah ada tawaran agar Samboda menjual beberapa kreasi fashionnya dari bungkus mi instan. Tapi dia berkukuh untuk saat ini semua aksesoris dan busana itu hanya koleksi pribadi.
“Sejauh ini saya melihat proses upcycling ini hanya sebagai saluran kreativitas saja. Tapi nanti kita lihat saja deh ke depan,” tandasnya.
Upcycling, seperti yang dilakukan Samboda, merupakan salah satu tren yang disarankan oleh banyak pihak untuk mengatasi problem melimpahnya limbah plastik di planet Bumi. Praktik macam ini juga perlu lebih didorong di Indonesia, mengingat negara ini merupakan salah satu wilayah paling banyak memasok polusi plastik di dunia.
Turut memperkenalkan dan bahkan membuat produk hasil upcycling nampak keren, adalah hal yang disyukuri Samboda. Dia berharap praktik fashion berkelanjutan macam ini semakin populer.
“Kesadaran orang-orang soal pentingnya gaya hidup berkelanjutan sudah makin besar sekarang. Kita pun jadi sadar betapa massifnya sisa hasil konsumsi tiap hari. Sekarang mungkin ongkos menghasilkan satu produk upcycling bahkan bisa lebih mahal dari membeli fast fashion. Tapi ini hanya satu dari sekian cara, atau sebutlah ajakan, agar lebih banyak lagi yang terlibat dalam gerakan fashion yang berkelanjutan,” urainya.
Selain menjajal upcycling, Samboda mengajak orang-orang lain untuk mulai biasa belanja di thrift store, serta lebih sering mendonasikan baju bekas di koleksi rumah kita masing-masing.
“Anda tidak perlu jadi enviromentalis ideal untuk berpartisipasi mendorong perubahan yang lebih baik bagi lingkungan,” ujarnya. “Langkah kecil seperti itu saja juga cukup berharga kok.”