FYI.

This story is over 5 years old.

VICE vs Video games

Main Game ‘FIFA’ Membantu Para Lelaki Lebih Gampang Curhat

Sebagian besar laki-laki tak begitu paham caranya mengatasi kerumitan perasaan dan emosi mereka, kecuali, saat sedang main video game.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.

Saat ini pukul 11 malam dan di depan pintu rumahmu seorang kawan berdiri dengan ransel besar di sebelah bahu. Di luar hujan dan kawanmu itu mengenakan berlapis-lapis pakaian yang tak muat dijejalkan ke dalam ranselnya. Sesuai dugaan, dia diputusin pacarnya dan terpaksa angkat kaki dari kosan mereka. Matanya sayu akibat terlalu lama menangis dan dia memaksakan senyuman supaya kau tak menyadarinya. Sebagai kawan yang baik tentu kau menyadarinya, dan paham: Yang diinginkannya hanyalah bir yang dioper tanpa banyak tanya, dan mendengar kau bertanya dengan nada ramah namun ajeg, "Main FIFA?" Dia mungkin berkata "OK" atau mengangguk saja, tapi tak akan menolak. Sebagian besar laki-laki tak ngerti mesti berbuat apa dengan perasaan mereka. Entah perasaan-perasaan itu mereka tekan sampai menghilang atau dibiarkan berserakan seperti sayuran busuk yang tidak laku di lantai pasar. Saat emosi tak terbendung lagi, mereka jadi gelagapan, kewalahan, dan kebingungan. Jadinya, ketika harus ngobrolin soal perasaan dengan kawan dan sahabat, omongannya cenderung ngawur dan tidak dipikir dulu.
Terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pacar yang telaten membimbing cowok-cowok idiot (baca: kami) melalui masa-masa berat ini. Tapi sori-sori aja nih, itu semua belum cukup. Menyangkal perasaan-perasaan sendiri bukan hanya menjengkelkan bagi siapapun yang harus berurusan dengan kami, tapi juga bisa sangat berbahaya. Dan bagi jutaan laki-laki, karena berbagai alasan, itulah kegunaan FIFA. Bagi saya, game FIFA adalah zona di mana kami merasa bebas saling mengolok tanpa menjadi rasis, berlawanan dengan dugaan banyak orang. Saat main FIFA pula saya merasa nyaman ngobrolin perasaan-perasaan saya dengan kawan saya. Ini adalah momen persahabatan kami terbentuk pertama kali, saat menjawab atau menanyakan "Mending main PES apa FIFA nih?" yang jauh lebih efektif ketimbang algoritma Tinder atau Facebook. Masa remaja kebanyakan laki-laki di dunia ini dibagi menjadi dua fase: menutup diri dan sepak bola. Karena harus pindah dari London Timur ke Essex saat berusia 11 tahun, saya merasa salah tempat. Saya merasa seperti outsider, karena telah menukar kenyamanan rumah susun untuk kawasan rimbun suburban. Saya tak ngerti caranya berkawan. Di tempat tinggal yang lama, saya tinggal menghampiri kerumunan remaja bermain bola dan bertanya apakah saya boleh ikutan. Di tempat tinggal yang baru mereka memandangi saya seperti orang aneh karena berani-beraninya ngajak ngobrol orang tak dikenal. Akhirnya, saya jarang main di luar dan memilih mengasah keterampilan main FIFA.

Iklan

Pas saya sudah jago banget, bergaul rasanya jadi lebih mudah. Saya tetap harus nimbrung orang-orang ngobrol, tapi kini saya tinggal pamer soal keahlian main FIFA ("Gue bisa bikin goal serangan balik di sisi kanan pakai Adriano atau Martin di FIFA 2005") dan mereka langsung tertarik berkawan dengan saya—setidaknya tertarik main FIFA bareng. Setelah saya bisa membuktikan bualan pas ngobrol, urusan FIFA jadi semacam lem yang merekatkan beragam ring perkawanan. Status sosial saya jadi tak penting selama saya jago banget mainin Inter Milan.

David Beckham menangis ketika resmi pensiun dari dunia sepakbola profesional. Screencapture via YouTube

Di era suram bernama kedewasaan, FIFA tetap menjadi ruang yang asyik di mana kau bisa melepaskan penat dan curhat blak-blakan sama teman, tanpa dianggap (atau menganggap diri sendiri) lebay. Matamu terpaku pada layar dan perlahan-lahan pikiran memasuki keadaan meditatif. Kau merasa paling damai pada detik-detik menjelang gol one-two melibatkan Andrés Iniesta yang kamu kendalikan lewat joystick, dan kini kau bisa mengeluarkan unek-unekmu. Apapun itu. Semua curahan hati terbebas. Hampir seluruh pencapaian profesional saya berkaitan dengan sepak bola. Hampir seluruh obrolan mendalam dengan kawan-kawan saya dilakukan sambil main FIFA. Di balik persaingan FIFA adalah hal yang amat dibutuhkan laki-laki: Kesempatan untuk mengabaikan tuntutan citra laki-laki macho dan menjadi manusia dewasa. Meski ada beberapa kali teriak-teriakan menjelang gol atau rehat penuh perhitungan di tengah-tengah permainan, game dan obrolan mengalir lancar. Seakan-akan durasi game ini menyesuaikan dengan kebutuhan pemainnya curhat colongan. Bukankan curhat terbaik itu memang yang colongan. Terjebak di obrolan "hati ke hati" yang dipersiapkan dulu cenderung memiliki efek samping bikin ngantuk orang yang terpaksa mendengar, bahkan bahkan bisa bikin si pendengar mual. Kalaupun kau atau kawanmu memanfaatkan keseluruhan 20 menit untuk curhat, FIFA menyediakan waktu rehat half-time untuk ngerokok atau ngoprek dapur. Selama ngebir dan memainkan game Chelsea versus Barcelona bersama teman sekampus atau rekan kerjamu, kau akhirnya bisa berbagi cerita dan saran, ujur pada satu sama lain, dan tidak menipu dirimu sendiri. Di antara curhat colongan, skor tetap berjalan; sementara kau fokus mencetak tiga gol dengan Neymar, curhat jalan terus tanpa saringan. Indah, bukan? Kau bisa membicarakan bagaimana mulanya kalian bersahabat, dan mengapa. Soal hubungan-hubungan yang kandas, dan jenis perubahan yang mesti dilakukan. Momen-momen seperti ini biasanya berakhir dengan kelepasan ngomong "anjing, gue sayang banget sama elo cuy!"

Sementara, ketika cowok sedang main FIFA jadinya lebih indah: "Satu game lagi?"

Follow Sam Diss di Twitter.