Indonesia Riot

Konflik Maskapai VS Layang-layang Terus Lestari, Garuda Mengaku Rugi Rp60 Juta

Ini contoh perebutan ruang yang sering jadi masalah di Indonesia. Selama pandemi, hobi main layangan meningkat. Sayang ada dampak buruk ke bisnis penerbangan hingga pengelola listrik.
permainan layang-layang sering rugikan industri penerbangan Indonesia
Kolase oleh VICE. Ilustrasi layang-layang [kiri] via pixabay; Foto ilustrasi pesawat Garuda lepas landas oleh Masakatsu Ukon/Wikimedia Commons/lisensi CC 2.0

Fakta 1: Pedagang layang-layang Kota Tangerang melaporkan catatan penjualan fantastis selama pandemi. Wahyudi, salah satu pengrajin, mengaku dapat penghasilan Rp4 juta per hari berkat kebosanan pekerja yang harus bekerja dari rumah.

Pelanggan paling banyak berasal dari Kota Tangerang. Wahyudi juga memiliki jaringan reseller yang kerap berkeliling mendatangi pemukiman warga, menjajakan layangan buatan Wahyudi.

Iklan

“Paling banyak diburu itu layangan kecil. Karena pembeli lagi doyan layangan yang bisa diadu. Mungkin mereka bosan di rumah, main layangan jadi pilihan,” ujarnya yang dikutip Kompas.

Fakta 2: Kota Tangerang memiliki Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta yang punya sejarah buruk dengan para penerbang layangan. Layang-layang dinilai pihak bandara kerap mengganggu keselamatan penerbangan. Melihat larisnya permainan tradisional populer ini semasa pandemi, mereka jelas waswas.

Senior Manager Incident Management Garuda Indonesia Bernard Partogi Sitorus jadi yang terbaru mengeluhkan meningkatnya aktivitas warga menerbangkan layang-layang. Dalam webinar berjudul “Layangan Terbang, Keselamatan Penerbangan Terancam” (buset, nama webinarnya pasif-agresif banget), Bernard bilang pihaknya sampai merogoh kocek 4 ribu dolar AS (Rp60 juta) demi memperbaiki kerusakan yang dialami pesawat akibat layang-layang. 

“Konsekuensi cost yang kami alami termasuk inspeksi dan perbaikan kurang lebih sekitar US$4 ribu. Jika kita hadapkan dengan potensi risiko, mungkin angka US$4 ribu ini akan terlihat kecil,” kata Bernard.

Selama ini, Bernard mengaku warga sekitar bandara bersikukuh tetap main layangan sebab menolak diatur dan dilarang bermain layang-layang di tanahnya sendiri. Keputusan warga ini bisa dimaklumi sebab hubungan antara pihak bandara dengan warga sekitar bandara emang cukup kompleks.

Misalnya, tahun lalu masih terjadi unjuk rasa warga sekitar bandara menuntut penyelesaian sengketa pembebasan lahan yang pembayarannya diduga terlambat.

Iklan

Balik ke persoalan layangan. Sejak Mei-Juli 2020, Garuda Indonesia udah mengadukan gangguan penerbangan akibat layang-layang di sekitar Bandara Soetta sebanyak 7 kali dari total 59 laporan bersama maskapai lain. Angka ini termasuk tinggi kalau dibandingkan dengan penerbangan yang lagi sepi akibat pandemi.

Pihak bandara mengaku udah berulang kali melakukan sosialisasi kepada warga sekitar terkait bahaya layang-layang untuk penerbangan. Yang terbaru, Juli kemarin Satpol PP Kota Tangerang turun ke lapangan untuk melarang warga di Kecamatan Neglasari, Benda, dan Batuceper agar enggak mainan layang-layang.

“Jadi, yang kira-kira areanya tidak jauh dari area runway [landasan pacu], [termasuk] daerah keselamatan operasional penerbangan. Pengaduan pilot itu sebetulnya [layang-layang] sangat mengganggu,” kata Sekdis Satpoll PP Kota Tangerang Agus Prasetyo dilansir Satelit News.

Dasar pelarangan menerbangan layang-layang di sekitar bandara termaktub dalam UU 1/2009 tentang Penerbangan Pasal 421 ayat 2 yang berbunyi: “Setiap orang membuat halangan dan atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak satu miliar rupiah.”

Enggak cuma di Bandara Soetta saja, layang-layang juga bikin waswas Pemkot Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pada 17 Juni, Satpol PP Kota Mataram memutuskan berpatroli dan menindak tegas para pemain layang-layang. Alasannya, benang layangan kerap membahayakan orang lain sampai jatuh korban jiwa. Kedua, tingginya potensi kecelakaan saat masyarakat mengejar layangan putus. Ketiga, benang layangan berpotensi kena aliran listrik. Dan keempat, situasi pandemi membuat pemkot ingin warga di rumah saja.

Iklan

Di Bali, layangan jatuh memicu pemadaman serentak Kota Denpasar, akhir Juli kemarin. Adalah Dewa Ketutu Sunatdiya (50) yang menerbangkan layangannya tanpa pengawasan sehingga tidak sadar ketika layangannya jatuh di areal milik PT Indonesia Power. Mengenai gardu induk berkekuatan 150 kilo Volt, listrik langsung padam akibat gardu meledak dan terbakar. Rumah Ketut lantas didatangi aparat, membuatnya dijerat ancaman maksimal lima tahun penjara.

Polisi Pontianak juga kesal banget sama pemain layangan. Kapolresta Pontianak Muhammad Anwar Nasir sampai mengancam akan menindak tegas pemain dan penjual layang-layang karena dianggap membahayakan nyawa banyak orang. Ancaman lima tahun penjara siap datang buat yang ngeyel main layangan.

“Kami bersama Pemkot Pontianak dan Pemkab Kubu Raya telah memberikan perhatian serius terhadap permainan layang-layang karena sudah banyak korban jiwa, baik bagi si pemain dan orang. Kami secara rutin bekerja sama dengan Pemkot Pontianak dan Pemkab Kubu Raya dalam melakukan razia terhadap para pemain layang-layang yang sangat membahayakan keselamatan masyarakat itu,” kata Anwar.

Hmmm, layang-layang emang harus diakui bolak-balik menyebabkan kecelakaan yang berbuah korban jiwa. Tapi daripada dengan polos nyalahin permainan berusia tiga ribu tahun ini sebagai musuh keselamatan, kasus ini lebih cocok dilihat sebagai contoh sahih perebutan ruang (FYI, angkasa termasuk dalam definisi “agraria”). Bernasib sama seperti sepak bola dan olahraga luar ruangan lagi, bagus sekali jika otoritas mau mikirin ruang khusus untuk olahraga rakyat yang murah dan menyenangkan ini. Jelas lebih relevan daripada spot ruang publik yang Instagramable.