Kasus KBGO dan pelecehan seksual marak di komunitas roleplay dan ava korea pengguna medsos Indonesia
Ilustrasi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual berbasis online di Internet. Foto via Getty Images
Kekerasan Seksual

Dunia Roleplay Berubah dari Tempat Bersenang-senang Jadi Ajang Kekerasan Gender

Dalam dunia akun “ava Korea” di medsos, praktik KBGO berulang kali terjadi terang-terangan dan tak dihukum. Pelaku merasa digdaya karena tak tersentuh patroli siber Polri.

*Peringatan: Artikel ini memuat kata-kata vulgar dan deskripsi kekerasan seksual pada anak.


Rasa penasaranku membuncah ketika melihat kata “roleplaytrending di Twitter, di suatu hari pada Maret 2022. Di mataku sebagai veteran roleplayer, permainan ini sebenarnya populer di media sosial, namun ceruknya terbatas. Bila roleplay sampai banyak dibicarakan, tentu aku ingin tahu penyebabnya. Aku menelusuri twit, reply, dan thread untuk mencari tahu. Namun, yang kutemukan justru informasi mengerikan.

Iklan

Kata “roleplay” rupanya trending dipicu sebuah thread viral. Isinya kronologi kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang menimpa seorang roleplayer perempuan berusia 14 tahun. KBGO itu dilakukan seorang roleplayer berbasis di Telegram yang tidak diketahui gendernya. Dari thread itu aku mengetahui, pelaku memamerkan KBGO yang ia lakukan di sebuah grup chat Telegram beranggotakan 10 ribu akun. Alih-alih mengutuk, sebagian anggota grup itu mendukung aksi pelaku dan ikut mengolok-olok korban.

Kekerasan yang diterima korban berupa dipermalukan di depan umum. Misalnya, foto korban dicuri, dimanipulasi dengan tambahan foto penis, lalu dibagikan di grup Telegram. Mengingat KBGO tersebut dipamerkan di grup chat dan belakangan menjadi thread viral, puluhan hingga ratusan ribu orang mestinya telah mengetahui kasus ini. Namun, tak ada satu pun lembaga perlindungan anak maupun polisi yang turun tangan.

Apa yang kubaca ini mengingatkanku pada skandal KBGO di Korea Selatan. Kebetulan, ada dokumenter baru yang tayang di Netflix berjudul Cyber Hell: Exposing an Internet Horror. Dokumenter ini merekonstruksi kasus sekstorsi (pemerasan secara seksual) lewat media sosial yang dilakukan dua pelaku dengan nama akun Baksa dan Godgod. Video dan foto hasil sekstorsi disebar dan diperdagangkan oleh pelaku lewat grup chat Telegram.

Iklan

Contoh modus pelaku: Salah seorang korban diiming-imingi akan diberi pekerjaan model asalkan mau mengirim selfie sambil mengenakan pakaian dalam. Setelah selfie dikirim, pelaku mengaku bahwa ia penipu. Pelaku lalu mengancam akan menyebar selfie itu ke keluarga dan teman-teman korban jika korban tak mau menuruti keinginan pelaku. Dengan cara itu, korban terus-menerus dipaksa membuat foto dan video seksual. 

Setidaknya 103 perempuan menjadi korban dua predator ini selama 2018-2020. Sebanyak 26 korban masih berusia anak. Salah seorang korban yang diceritakan dalam Cyber Hell masih duduk di bangku SMP. Meski akhirnya terkuak, butuh waktu lama untuk menangkap pelaku. Pelaku terlindungi oleh identitas mereka yang tersamar. Mereka juga membuat sistem tameng yang rumit agar sulit dilacak.

Berkat anggota grup chat yang tergerak menjadi informan, serta kerja sama jurnalis mahasiswa, jurnalis profesional, dan polisi siber, Moon Hyung-wook alias Godgod (lelaki, 24 tahun) dan Cho Ju-bin alias Baksa (lelaki, 25 tahun) akhirnya tertangkap. Polisi juga memenjarakan 245 orang yang terkait grup chat ini. Usia orang-orang yang tertangkap ini masih sangat muda, rata-rata 21 tahun. 

Mirip dengan Cyber Hell, pelaku KBGO dalam kasus yang kutemukan di Twitter berlindung di balik identitas roleplay-nya. Ia percaya diri tak akan tertangkap. Dan hingga kasusnya “selesai”, memang tak ada yang mengejarnya. Polisi siber sekalipun.

Iklan

Kasus Natha Sebagai Contoh KBGO di Dunia Roleplay

Aku mendapatkan kronologi ini dari thread yang dibuat korban dan teman-temannya di Twitter. Kasus ini telah “selesai”, aku akan menyembunyikan identitas korban agar ia tak di-bully lagi. Aku juga tak akan mencantumkan tautan atau nama asli pelaku serta tokoh lainnya.

Kita sebut saja korban bernama Natha, 14 tahun. Natha memiliki sebuah akun roleplay di Twitter yang dipakai untuk fangirling idola K-pop. Username akun itu tidak menguak nama asli Natha, avatarnya pun memakai foto si idola. Tapi Natha kadang mengunggah informasi tentang jati dirinya. Biasanya berupa detail tak terlalu penting, seperti menu makan siang atau film yang baru selesai ditonton. Ia juga pernah mengunggah foto dirinya di sana, tapi jumlahnya dapat dihitung jari. 

Dunia roleplay Natha berjalan damai hingga suatu hari. Ia terkejut saat satu akun mutual-nya di Twitter mengadu bahwa ada akun roleplay di Telegram memakai selfie Natha sebagai foto profil. Natha belakangan sadar, itu foto yang pernah ia unggah di Twitter roleplay-nya. 

Menurut laporan yang diterima Natha, pelaku (sebut saja namanya Raiya) tengah bermain truth or dare dengan kawan-kawannya di Telegram dan mendapatkan perintah untuk memasang foto asli sebagai foto profil akunnya. Saat itulah ia menggunakan foto Natha.

Iklan

Dengan bantuan informasi contact ID dari sang mutual, Natha langsung menghubungi Raiya di Telegram. Ia bermaksud meminta Raiya menghapus foto curian itu.

“Oh ya ngomong-ngomong, di ava kamu itu muka aku, itu kamu dapet dari mana ya? Kalau emang dapet dari twt, tolong diganti ya? Aku gak mau muka aku dipake macem-macem sama kamu,” kata Natha lewat pesan. Skrinsut chat ini diunggah di thread yang aku baca.  

Respons Raiya di luar dugaan. Pesan itu ia jadikan sebagai bahan olok-olok di grup chat miliknya di Telegram. Ia mengetik, “Minta maaf? Uuh gamau ah cakep itu foto dia pake kontol.” Raiya mengirim foto Natha yang sudah diedit ke grup tersebut. Foto itu diberi tempelan foto penis. Dan cerita selanjutnya adalah rangkaian perundungan tak henti-henti dan tak bisa Natha mengerti. 

Misalnya, Raiya juga menempelkan foto vagina ke selfie Natha. Foto itu dipakainya untuk sexting (sex testing) di Telegram. Raiya lalu mengirim skrinsut chat pornonya ke grup. Ia memberi caption, “Kasih asupan memek Natha dulu biar dapet kontol 🥵.”

Belum cukup, ia mengirim pesan lagi. “Pro banget gue ngeditin muka Natha sama memeknya 😭🖕.”

Dari skrinsut percakapan grup itu, yang belakangan diunggah dalam thread, anggota grup chat bukan saja tidak menentang tindakan Raiya, mereka justru ikut melecehkan Natha. Beberapa komentar anggota grup, seperti:

Iklan

“Cocok sih muka-muka pemain bokepnya keliatan.”
“Parah dijadiin bacol, pasti langsung bangun.”
“Njir beneran dijadiin bacol 😭.”

Perkembangannya begitu dramatis. Sebuah kasus pencurian identitas mendadak menjadi kekerasan seksual, dan ini membuat Natha resah sekaligus takut. Ia menceritakan masalah ini kepada teman-temannya. Mereka sempat terpikir melapor ke polisi, namun kemudian ragu.

“Memangnya polisi mau memproses laporan kejahatan yang identitas pelakunya tak diketahui? Kasus-kasus dengan nama pelaku yang sudah jelas saja belum tentu ditindak, apalagi ini,” kata Natha saat aku hubungi lewat media sosial. Aku sempat berhasil ngobrol dengannya, namun belakangan ia tak bisa dihubungi lagi.

KBGO di dunia roleplay: penghinaan hingga pedofilia

Kekerasan berbasis gender online atau KBGO yang dialami Natha dari dunia roleplay mengingatkanku pada seorang teman yang bernasib serupa. Panggil saja ia Denis (21). Ia sudah berhenti sepenuhnya dari dunia roleplay.

Denis pernah mengalami kekerasan seksual verbal lewat media sosial ASKfm. Kejadiannya ketika ia tidak sengaja menemukan bukti perselingkuhan pasangan roleplay-nya. Menyusul itu, muncul teror dari sosok tak dikenal yang justru menudingnya sebagai orang ketiga.

“Aku buka [membuat akun roleplay di] ASKfm, dan link ASKfm-nya aku taruh di profil Twitter aku. Awal main ya biasa aja, pertanyaannya juga enggak aneh-aneh. Sampai akhirnya, aku udah lama gak buka ASKfm. Pas aku buka lagi, inbox-nya tuh udah banyak banget aku lihat dari notif,” cerita Denis.

Iklan

“Pas aku buka, aku kaget banget itu isinya capslock semua, terus banyak banget tanda seru. Pas aku baca, lumayan frontal itu kata-katanya, kayak nyebut alat kelamin. Kasar banget gitu, enggak disensor. Sampai yang ngata-ngatain aku pakai anjing-anjing gitu. Di situ intinya dia [si pengirim] ngata-ngatain aku ngerusak hubungan orang.”



Salsa (20), bukan nama sebenarnya, mantan roleplayer yang masih aktif sebagai admin base roleplay di Twitter, mengonfirmasi kejadian yang dialami Denis bukan hal baru di ranah roleplay. Rasa cemburu bisa mendorong seorang roleplayer menyemburkan makian seperti genit, murahan, hingga lonte ke roleplayer lain meski tak saling kenal. Menurut Salsa, pelaku teror merasa aman karena identitasnya fiktif sehingga ia tak akan dimintai pertanggungjawaban. 

Namun, bagaimana jika identitas yang dipakai pelaku ternyata tidak fiktif? Bagaimana jika identitas palsu itu dicuri dari orang lain? Modus seperti ini belakangan banyak dipakai dipakai pelaku pencurian uang. Skemanya, pelaku A memakai data pribadi korban B untuk mengambil pinjaman online. Korban baru akan sadar belakangan ketika tagihan sudah berdatangan.

Pencurian identitas inilah yang dialami Natha. Sejak aku masih aktif sebagai roleplayer, kejahatan semacam ini telah ada, kami menyebutnya faker (penipu). Setahuku, istilah faker merujuk pada segala tindakan mencuri identitas orang lain tanpa sepengetahuan yang bersangkutan, untuk diaku-aku sebagai diri sendiri. 

Iklan

“Masih banyak sih [roleplayer yang jadi faker]. Bahkan sekarang ini faker-nya itu lebih pinter gitu,” kata Salsa.

“Jadi kemarin tuh temenku ada cerita, ada faker yang bener-bener semuanya itu ada, kayak dia ngirimin VN [voice note], ngirimin nyanyian, kecuali telepon ya, terus foto pap dia gitu. Nah, itu dia ambil fotonya dari unggahan temannya di akun real, dia jadiin bahan. Nah, buat suara, video nyanyi segala macem VN itu, dia ngambil dari YouTube yang viewers-nya cuman seribu dua ribu, yang paling banyak sepuluh ribu gitu,” lanjut Salsa.

Namun, berbeda dari kasus Natha, menurut Salsa biasanya faker dilakukan oleh dan menimpa akun milik laki-laki. “Biasanya faker itu ya, roleplay cowok yang, ya, biar keliatan ganteng gitu, banyak fansnya, banyak temannya.” 

Apa yang dialami Natha dan Denis termasuk kekerasan berbasis gender online atau KBGO. Sejak awal aku telah menyebut istilah ini. Aku ingin mencantumkan sedikit penjelasan tentang KBGO yang kukutip dari buku CTRL+ALT+Del Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO): Buku Saku #1 Mengenal Dasar-Dasar KBGO. Buku saku ini disusun kolektif feminis PurpleCode Collective pada 2020 lalu dan bisa diunduh di sini.

Ada dua kata yang harus digarisbawahi dalam istilah KBGO, yakni gender dan online. Gender menunjukkan karakter KBGO yang menyerang identitas gender korban, baik agensi, tubuh, maupun seksualitas. Sementara online menunjukkan praktik KBGO yang difasilitasi teknologi digital sebagai mediumnya. KBGO sama seperti kekerasan lain, merupakan bentuk dan ekspresi ketimpangan relasi kuasa. Bahkan kerap kali KBGO adalah perpanjangan dari kekerasan berbasis gender di ruang fisik atau offline. Kekerasan ini juga memiliki beragam bentuk dan melibatkan berbagai macam pelaku.

Iklan

Teror yang dialami Denis dan olok-olok yang diterima Natha merupakan contoh KBGO berupa trolling, yakni tindakan menghina, memaki, mengejek, dan memberi komentar seksis yang menyerang ketubuhan serta seksualitas korban. Bahkan, Natha mengalami kekerasan tidak hanya dari pelaku primer, Raiya. Ada para pelaku sekunder, yaitu para anggota grup chat yang ikut meramaikan dan memprovokasi Raiya untuk terus melakukan KBGO.

Natha juga mengalami bentuk KBGO berupa manipulasi foto dan impersonasi. Dari buku yang sama didefinisikan, manipulasi foto adalah kekerasan berupa pemalsuan foto korban sehingga mengandung unsur seksual dan menyebarkannya ke publik melalui berbagai platform daring. Sementara, impersonasi adalah kekerasan berupa pembuatan akun atau profil palsu, seolah-olah milik sang korban, untuk mengunggah konten ofensif, provokatif, subversif, atau seksual.

Bentuk KBGO lain yang pernah disaksikan Salsa terjadi pada roleplayer, seperti penguntitan daring (online stalking). Penguntitan daring merupakan bentuk KBGO yang paling sering mengikuti kasus trolling. Yang digolongkan sebagai online stalking ialah penguntitan dan pengawasan di ranah digital yang membuat korban tidak nyaman. Online stalking dapat diikuti dengan tindak pelecehan, intimidasi, dan ancaman pada korban. Dalam konteks dunia roleplay, online stalking dilakukan dengan mencari akun personal korban untuk kemudian dirundung.

Iklan

“Jadi ini orang yang diteror ini enggak punya safe place lagi, di akun siber [akun non-roleplay] pun diikutin gitu, sampai diteror gitu. Orang-orang udah punya stigma kalo anak akun siber udah pasti pernah main roleplay,” cerita Salsa.

Salsa juga pernah menemukan kasus sekstorsi, tindak ancaman dan pemerasan untuk membuat korban mengabulkan keinginan pelaku yang melibatkan tindakan seksual. Bentuk sextortion yang Salsa temukan berupa pengiriman foto bernuansa seksual oleh pelaku pada korban.

“Jadi ada akun roleplay pake karakter artis laki-laki, dia nge-DM salah satu roleplay perempuan dengan bahasa-bahasa kotor seperti, ‘Eh memek pelacur lagi butuh belaian kan, lu mau ga jadi pacar gua?’ Terus roleplay perempuan ini bilang, ‘Maaf saya bukan roleplay 18+ dan saya udah punya couple.’ Terus si laki-laki bilang, ‘Alah peduli amat sama couple, mau ga ngentot sama gua?’ Terus dikirimin foto dick.”

Untitled_Artwork 2.jpg

Pemakaian emoji seronok digunakan oleh pelaku KBGO di medsos. Ilustrasi oleh Jordan Austin/VICE

Yang cukup mengejutkan, cyber grooming atau pedofilia juga mengintai roleplayer berusia anak (di bawah 18 tahun). Apalagi, berdasarkan pengalaman Salsa, roleplayer anak-anak jumlahnya cukup banyak.

“Ada [kasus cyber grooming], tapi banyaknya roleplay Telegram. [Anak-anak ini pacaran dengan orang dewasa] di roleplay juga, tapi mereka ini lebih nyerempet ke kehidupan nyata. Kan kalau di Telegram enggak bisa pake filter, jadi kalo telepon kan pasti suaranya sama gitu. Terus, di Telegram ini ada fitur untuk ngirim foto di-timer, jadi orang-orang kayak gini memanfaatkan kesempatan buat ya ada yang disuruh kirim pap lah segala macem, ujung-ujungnya grooming,” tutur Salsa.

Iklan

Ia menambahkan, “Di satu titik, adikku cerita, ‘Kak, temenku dapet duit dari ini.’ [Responsku] Hah dari siapa? [Adikku bilang] ya [sugar-] daddy-nya. (Aku kaget) Hah daddy? Waktu itu dia kan masih kelas 6 SD, ‘Kalian tuh masih kelas 6 SD kok mikirnya udah gitu dari mana?’ [Adikku jawab] Ya kita palsuin lah kita bilang kita anak SMA. Dan dia [temen adikku[ itu emang dapet duit kayak 500 ribu. Cuman, aku dan adikku gatau apa yang dikasih sebagai ucapan terima kasihnya. Daddy-nya ini roleplay juga, dan ketemunya di dunia roleplay.”

Di Balik pukul rata Sebutan ‘Ava Korea’

Ke mana korban KBGO di dunia roleplay bisa berlindung? Bagi mereka yang belum berusia 18 tahun seperti Natha, UU Perlindungan Anak memerintahkan negara untuk melindungi mereka dari kejahatan seksual. Tapi baik korban dan pelaku, mereka sama-sama tak percaya hukum dunia nyata bisa diberlakukan di dunia roleplay

Misalnya ketika Raiya tahu bahwa Natha dan teman-temannya sempat ingin melapor ke polisi. Salah satu skrinsut chat di thread merekam respons Raiya. Raiya bersikap seolah-olah lapor polisi adalah ide konyol.

“Lo mau ngelaporin bagaimana? ‘Raiya anak RP telah melecehkan anak di bawah umur dan pelecehan terhadap idol serta agama begitu? Terus ntar lo mau nyuruh bapak polisinya main RP buat nangkep gue?”

Iklan

Natha akhirnya batal melapor ke polisi karena tak yakin polisi akan menilai kasus ini cukup serius. Aku bisa memaklumi keputusannya. Publik kerap memukul rata akun roleplay dan bermacam akun lainnya sebagai “akun ava Korea”. Sebutan ini meremehkan dan mengandung ejekan. Kamu bisa melihat di Twitter bagaimana istilah “ava Korea” disandingkan dengan kata-kata seperti “bodoh”, “problematik”, dan “mudah ditipu”.

Akibatnya, masalah antara sesama akun roleplay atau kasus yang korbannya akun roleplay cenderung dianggap “salah mereka sendiri”.

Tampaknya, stigma dan label itu lahir karena ketidakmengertian publik pada tren gaya hidup anak muda, terutama Gen Z. Perkara akun “ava Korea” saja: di balik simplifikasi semua-mua dipukul rata dengan sebutan “ava Korea”, aku mendapati setidaknya ada lima macam akun yang berbeda tujuan pemakaian.

Pertama, fan account yang dipakai untuk mengekspresikan antusiasme pada idola K-pop.

Kedua, cyber account atau akun siber yang tadi sempat disebut Salsa. Ini adalah akun palugada, dipakai untuk bermacam tujuan, mulai dari membalas pesan di base, meramaikan postingan anyar idola, berpartisipasi dalam keributan terkini, hingga jadi tempat menyimpan thread rekomendasi. Sekilas cyber account tak ubahnya akun biasa, kecuali di bagian identitas asli yang ditutup-tutupi. Misalnya, dengan tidak memakai nama asli, foto profilnya adalah foto artis atau kartun, serta tak membagikan informasi yang mengarah ke identitas asli.

Iklan

Ketiga dan keempat adalah business account dan sell-buy-trade account. Dua-duanya akun ava Korea yang dipakai berjualan. Bedanya, komoditas yang dijual business account lebih luas dan beragam daripada sell-buy-trade account.

Dagangan business account merentang dari akun streaming premium, jasa konversi uang, desain menata profil medsos agar estetik, hingga akun Twitter dengan username bagus dan difolbek banyak base. Di Twitter, lapak business account bisa dicari lewat tagar #zonauang.

Sementara, jualan sell-buy-trade account berkisar di merchandise K-pop. Barang yang paling umum dibarter atau diperjualbelikan adalah photocard beserta aksesorinya.

Jenis akun yang kelima adalah roleplay account. Sesuai namanya, akun ini dipakai untuk bermain peran di semesta roleplay game (RPG). Bayangkan RPG seperti teater digital. Platformnya bisa di media sosial apa saja; dari LINE, WhatsApp, Telegram, Twitter, Instagram, hingga AskFM.

Dalam RPG, peran yang dimainkan terserah pada si pemilik akun. Misalnya, untuk identitas wajah, ia bisa menggunakan foto artis tapi sekadar untuk face-claim, sementara karakter yang dimainkan sama sekali baru atau murni rekaan si pemain. Namun, pemain juga bisa  menggunakan identitas dan karakter seorang artis sepenuhnya. Opsi lainnya, pemain menambahkan sifat-sifat baru bikinannya sendiri ke karakter, namun identitas yang diperankan masih terasosiasi dengan artis yang bersangkutan, sehingga ia pun masih membagikan informasi-informasi yang berkaitan dengan artis yang diperankan. 

Iklan

Roleplay kan sebenernya buat ngebangun karakter, bikin cerita kita gitu dengan menggunakan face-claim artis atau dari yang lainnya. Ya, seharusnya roleplay tuh jadi komunitas untuk kita menulis, membangun karakter biar naikin branding idol juga kan,” komentar Salsa.

Denis tahu roleplayer sering disalahpahami dan kadang dianggap aneh.  “Hah, roleplay itu apa, sih? Kpop-Kpop gitu, ya?”, “Kenapa enggak yang nyata-nyata aja sih?” ucap Denis menirukan komentar orang. Menurut Salsa, teman-temannya pun berpikir bahwa roleplay adalah akun-akun yang identik dengan “perkoreaan”. 

Makalah yang disusun Nurfaidah, Dewi, dan Kurniawan ini menyebut roleplay adalah cara penggemar mendekatkan diri dengan idolanya. Kultur ini sudah lama ada, dipraktikkan oleh fans selebritas internasional, dalam negeri, hingga penggemar anime. Kultur ini diadaptasi oleh penggemar K-pop begitu Gelombang Korea merambat ke Indonesia, diperkirakan mulai ada sekitar 2010-2011.

Artinya, roleplay K-pop apalagi ava Korea bukan anomali. Orang yang pernah memasang ava kartun, artis, band musik, sampul album, hingga tokoh politik di media sosialnya mestinya sadar tak berhak menghakimi tren klasik ini.

Melawan KBGO di dunia roleplay

Platform digital yang menjadi medium roleplay menjadi salah satu rintangan melawan KBGO. Salsa bercerita, saat ini akun Twitter sangat mudah didapat. Kemudahan ini dimanfaatkan pelaku yang ingin mengirim teror tanpa terlacak.

“Ya [teror masih banyak terjadi] karena akses untuk dapetin akun tuh gampang. Sekarang akun tuh dijual murah, tinggal ngirim pesan teror, abis itu deaktivasi akun kan udah selesai, ga keliatan jejaknya.”

Iklan

Bagi korbannya, sangat sulit melupakan teror yang pernah mereka terima. Traumanya tak sirna hanya dengan tutup akun. Setelah teror yang menimpanya, Denis memutuskan menutup akun ASKfm miliknya. Namun setelah itu pun ia masih sempat merasa ketakutan setiap melihat logo media sosial tersebut. 

Natha juga merasakan kelelahan emosional yang sama. Kekerasan berlapis dan banyaknya pelaku sekunder membuat ia tak kuasa menahan beban emosional. Natha mengaku sempat berpikiran untuk bunuh diri. Semangatnya baru kembali setelah menerima dukungan warganet lewat thread yang ia buat. Ia tak lagi merasa sendiri menjalani masalah ini. Dalam sehari, thread itu mendapat 11,6 ribu retweet, 4,4 ribu quote tweets, dan 28,3 ribu likes.

Pelacakan pelaku KBGO dipersulit karena ketika kasus Natha terjadi, Indonesia tak punya hukum khusus untuk KBGO. “Jejak digital mau sebanyak apa juga kalo identitas gue engak ada yang bisa lo bongkar, ya percuma,” kata Raiya di salah satu pesannya untuk Natha.



Untuk memidana KBGO seperti sekstorsi, penguntitan online, pelecehan online, penyebaran pornografi, penyebaran pornografi anak, KBGO disertai ancaman atau pemerasan, dan pedofilia online (cyber grooming), pembela hukum dan aparat hanya bisa menggunakan sejumlah pasal di tiga undang-undang, yakni KUHP, UU ITE, dan UU Pornografi.

Iklan

Namun, dikutip dari buku saku yang dirilis kelompok Awas KBGO, aturan yang tak khusus dibuat untuk mengatur KBGO tersebut memiliki celah yang bisa mengkriminalisasi korban. Misalnya UU ITE Pasal 27 ayat 1 dan UU Pornografi Pasal 4, 6, dan 8. 

Kriminalisasi korban KBGO ini pernah menimpa seorang perempuan di Garut pada 2019 silam. Korban VA dipaksa suaminya yang berinisial R untuk melakukan seks berbayar dengan dua pria lain. Hubungan seksual itu direkam oleh R yang kemudian memperdagangkannya.

Video seks itu viral. VA dan dua pria di video ditangkap polisi, sementara proses hukum R terhenti karena yang bersangkutan meninggal dunia. Oleh PN Bandung, VA divonis 3 tahun penjara dan denda Rp1 miliar karena melanggar UU Pornografi. Sedangkan dua pria tersebut hanya divonis 2 tahun 9 bulan dan denda Rp1 miliar.

“Gatau ya, Kak [tempat untuk melaporkan KBGO] kalau di roleplay, jujur. Kalau ngadu, enggak ada tempat untuk mengadu. Paling kita ngadu ke temen-temen kita sendiri. Lalu ya itu solusinya adalah spill, menyebarluaskan kalau orang ini bermasalah, gini-gini, segala macem, atau [cerita] kita mendapatkan tindakan tidak sesuai,” kata Salsa.

Iklan

“Untuk tempat mengadunya sendiri enggak ada, anggaplah mau dibawa ke jalur hukum, kan susah. Karena kan kita pake karakter orang, berarti ya kita hubungin lagi karakter yang kita pake, kayak ribet gitu. Jadi, emang sebenernya kalo kejadian kasus kayak gini, roleplay tuh ga punya kejelasan hukum yang pasti, gak punya tempat mengadu yang pasti. Ya mungkin karena itu tadi, gak ada tempat mengadu, ya paling bener nge-spill, sanksi sosial aja yang bisa kita kasih.”

Tampaknya, alasan itulah yang mendorong Natha dan sahabatnya memilih membuat thread yang mengekspose kelakuan Raiya. “Tujuan thread ini dibuat untuk memberikan peringatan dan menjabarkan kejelasan serta memberikan bukti yang ada, berhubung korban mendapat kerugian berupa penyalahgunaan identitas hak milik dan pelecehan terhadap anak di bawah umur yang sangat tidak bisa ditolerir lagi,” bunyi salah satu twit di thread itu.

Pesimisme korban KBGO untuk melapor ke polisi mudah dipahami. Di Twitter, akun polisi virtual Polri (@CCICPolri) yang aktif menindak “hoaks” dan “penghina” pejabat tak pernah sekali pun bicara tentang KBGO.

Iklan

Waktu kuwawancarai, peneliti PurpleCode Collective Idha Saraswati mengatakan KBGO di medium apa pun tak boleh dinafikan. “Ya pada dasarnya KBGO bisa terjadi di akun apa saja, di medium teknologi apa saja. Balik lagi ke diskusi soal KBG [kekerasan berbasis gender], yang tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa dalam masyarakat yg patriarkis. Lalu soal akun roleplay dan fangirl, aku personally belum mendapatkan laporan kasusnya,” ujar Idha.

Idha menyarankan korban KBGO di dunia roleplay mencari bantuan dengan jalur yang sama seperti korban KBGO lainnya. “Jika akun anonim mengalami KBGO, langkah-langkah seperti yang dilakukan korban KBGO lain menurutku tetap bisa berlaku. Misal dari berbicara ke teman yang dipercaya, kontak hotline aduan, dan seterusnya.”

“Jangan merasa sendiri, cari bantuan. Kalau dia tidak sanggup, teman atau keluarga lah yang perlu membantu menenangkan lalu menghubungkan dengan kelompok-kelompok pemberi dukungan,” Idha menerangkan.

Beberapa hotline aduan KBGO antara lain @taskforce_kbgo, @awaskbgo, Komnas Perempuan, dan LBH APIK.

“Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa KBGO itu terjadi dan pelakunya bisa siapa pun, melalui platform macam-macam, dan bisa dengan akun anonim, termasuk akun fangirling dan roleplayer. Dan yang perlu digarisbawahi lagi adalah bahwa KGBO itu menimbulkan konsekuensi bagi korban, enggak peduli hal itu dilakukan lewat platform apa dan akun apa. Kalau dua hal itu dipahami, jalur untuk menangani ataupun mengadvokasi KBGO akan lebih terbuka,” papar Ida.

Penyedia platform digital juga dapat dilaporkan pada Kominfo bila membiarkan keberadaan ruang tak aman. Alurnya dengan melapor ke situs aduankonten.id, karena menurut regulasi, Kominfo hanya bisa memberi teguran dan meminta pemblokiran jika ada laporan dari masyarakat. Pada 2017 silam, Kominfo sempat memblokir akses Telegram di Indonesia karena tak merepons teguran tentang konten terorisme dan radikalisme di platformnya. 

Dari sisi hukum, harapan baru terbit pada April lalu. DPR akhirnya mengesahkan UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Salah satu yang disambut gembira dari UU ini, kekerasan seksual kini juga mencakup kekerasan seksual berbasis elektronik. Sejumlah KBGO diancam pidana oleh UU ini, seperti penguntitan online dan penyebaran konten seksual tanpa izin.

Kemajuan lain yang dibuat UU TPKS adalah disclaimer atas pasal pembuatan dan penyebaran konten seksual. Demi tak mengulang problem pasal karet UU ITE dan UU Pornografi, UU TPKS menyebut pembuat dan penyebar konten seksual tak bisa dipidana jika tujuannya untuk membela diri (Pasal 14 ayat 4). Dengan demikian, seorang korban sekstorsi yang diperas pelaku agar terus membuat video seksual tidak dapat dihukum.

Hal lain yang diapresiasi dari UU TPKS: kekerasan seksual berbasis elektronik diatur sebagai delik aduan (harus dilaporkan ke polisi), kecuali jika korbannya berusia anak atau penyandang disabilitas. Artinya, kelak polisi siber wajib mengusut KBGO seperti dialami Natha tanpa perlu menunggu laporan korban.

Menurut Idha, publik perlu mengawasi apakah aparat akan melaksanakan amanat UU baru ini. “KBGO secara umum masih luput dari sorotan banyak pihak, padahal di dalamnya pola kejadiannya bisa sangat beragam dan dampaknya nyata buat korban. Kalau kemarin-kemarin belum ada aturan hukumnya, jadi sulit sekali untuk mendapatkan perhatian pihak berwenang. Dengan adanya UU TPKS, nanti setahun kemudian bisa dilihat ya apakah ada perubahan dalam penanganan dari pihak berwenang,” ungkap Idha.

Realitas terpendam adanya KBGO di dunia roleplay ini sedikit membuka mataku. Aku teringat ketika tempo hari huru-hara antara sesama pencinta K-pop di Spaces Twitter menjadi tertawaan publik. Di antara banjir komentar yang menghina ava Korea, aku menemukan salah satu akun menyebut “kelompok share link” lebih baik daripada fans K-pop. 

Istilah share link selalu berlimpah setiap ada video seks amatir jadi perbincangan di media sosial. Kasus VA di Garut yang aku sebut tadi adalah salah satu korban share link. Video seksual VA yang dilakukan saat ia dijual suaminya bukan hanya membuat VA malu, ia juga divonis 3 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Bayangkan penderitaan bertubi-tubi yang VA rasakan.

Di Twitter, video seks amatir seperti berlimpah. Banyak di antaranya melibatkan remaja. Lewat pelacakan sederhana aku menemukan teaser video semacam itu dipromosikan di Twitter dan diperjualbelikan di Telegram. Sampai di sini, kaum yang gemar berucap “share link” sama saja dengan pendukung KBGO.


Hafiza Dina Islamy adalah penulis lepas yang bermukim di Yogyakarta, dengan kepedulian utama pada isu-isu gender. Liputan ini mendapat dukungan melalui program fellowship Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS)