Facebook

Diduga Picu Genosida Rohingya, Facebook Digugat Rp2 Kuadriliun

Perusahaan jejaring sosial besutan Mark Zuckerberg dianggap lebih memprioritaskan pertumbuhan platform daripada keselamatan pengguna.
Pengungsi Rohingya di Bangladesh
Pengungsi Rohingya di Bangladesh. (Allison Joyce/Getty Images)

Facebook dituding memfasilitasi terjadinya genosida terhadap etnis Muslim Rohingya di Myanmar, serta gagal menghentikan penyebaran ujaran kebencian yang membahayakan keselamatan kelompok minoritas. Dan kini, para pengungsi Rohingya menuntut platform membayar ganti rugi $150 miliar, setara Rp2 kuadriliun.

Awal pekan ini, pengungsi Rohingya di Amerika Serikat, diwakili firma hukum Edelson PC, mengajukan gugatan class action ke pengadilan California. Sementara itu, di London, Facebook menerima pemberitahuan resmi akan ada gugatan yang dilayangkan kepada perusahaan atas nama pengungsi Rohingya di Inggris dan sekitar satu juta warga Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsi Bangladesh.

Iklan

Kepada VICE News, pengacara di California mengatakan ini baru permulaan saja.

“Tuntutan hukum di AS dan Inggris hanyalah dua gugatan awal yang dilayangkan terhadap Facebook atas genosida ini,” terang Jay Edelson, pengacara sekaligus pendiri firma hukum yang berbasis di Chicago. Dia telah mengajukan serangkaian gugatan terhadap raksasa media sosial sejak perusahaan didirikan.

Edelson mengutarakan telah berhubungan dengan kurang lebih 100 pengungsi di AS, tapi pengajuan pengadilan menunjukkan ada sekitar 10.000 orang yang berpotensi ikut menggugat Facebook. Secara global, jumlahnya lebih dari satu juta.

Para penggugat menuduh Facebook menyadari ancaman yang ditimbulkan oleh ujaran kebencian terhadap umat Muslim di Rohingya sejak awal platformnya diluncurkan di Myanmar. Namun, perusahaan kurang tegas dalam melawan ancaman tersebut. Mereka mengklaim Facebook lebih memprioritaskan pertumbuhan platform ketimbang keselamatan penggunanya, yang mengarah pada kekejaman militer Myanmar terhadap Rohingya.

Ketika dihadapkan dengan tuduhan semacam ini, Facebook biasanya mengandalkan Pasal 230 Undang-Undang Kepatutan Komunikasi, yang melindungi perusahaan teknologi dari tuntutan hukum. Bagian dalam UU itu menjelaskan, platform tidak bertanggung jawab secara hukum atas konten penggunanya, dengan beberapa pengecualian, seperti hak cipta. Namun, gugatan kali ini akan mendesak pengadilan mempertimbangkan hukum Myanmar.

Iklan

“Ketika mengajukan gugatan di pengadilan AS, bukan berarti pengadilan secara otomatis menerapkan hukum AS,” kata Edelson. “Pertama-tama, pengadilan harus menentukan hukum yang berlaku. Tidak ada Pasal 230 dan akibat wajar dari itu [di Myanmar]. Karenanya, kami berpikir pemberlakuan Pasal 230 [dapat diperdebatkan].” 

Gugatan di AS didasarkan pada hasil riset dan investigasi mendalam selama lebih dari satu tahun, termasuk mengambil kesaksian dari para pengungsi.

“Inti pengaduan ini adalah kesadaran bahwa Facebook siap mengorbankan nyawa orang Rohingya demi penetrasi pasar yang lebih baik di negara kecil Asia Tenggara,” tulis Edelson dan rekan-rekannya dalam pengaduan yang diajukan ke Pengadilan Distrik Utara San Francisco.

“Facebook bagaikan robot yang diprogram dengan misi tunggal: untuk tumbuh. Kenyataan yang tak dapat disangkal adalah pertumbuhan Facebook didorong oleh kebencian, pemecahbelahan dan informasi sesat yang telah menghancurkan kehidupan ratusan ribu warga Rohingya.”

Warga Rohingya telah menjadi sasaran praktik keji pasukan keamanan Myanmar. “Operasi pembersihan” yang digelar di Rakhine pada 2017 telah menelan sedikitnya 10.000 jiwa dan menyebabkan lebih dari 150.000 orang luka-luka. Kebrutalan militer memaksa 700.000 orang lainnya melarikan diri ke Bangladesh dalam rentang beberapa bulan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut tindakan militer sebagai “pembersihan etnis”. Mayoritas warga Rohingya terpaksa meninggalkan rumah mereka, dan masih menderita trauma psikologis sampai sekarang.

Iklan

Gugatan tersebut mengatakan penindasan etnis Muslim Rohingya telah diketahui secara luas bahkan sebelum Facebook masuk ke Myanmar pada 2010. Perusahaan jejaring sosial itu sudah berulang kali diperingatkan untuk mengendalikan ujaran kebencian dan informasi sesat, yang diduga memicu aksi kekerasan pada etnis minoritas di Myanmar.

“Facebook sudah menduga pasukan militer Myanmar dan warga sipil non-Rohingya akan terlibat dalam kekerasan dan melakukan kekejaman terhadap” warga Muslim Rohingya, demikian bunyi gugatannya.

Ketika akhirnya Facebook diluncurkan di Myanmar, platform tersebut dengan cepat menjadi pemain dominan karena aksesnya relatif murah dan tidak terlalu menyedot pulsa.

Penyelidikan PBB pada 2018 menyimpulkan, Facebook memainkan peran krusial dalam kekerasan etnis yang menimpa kelompok minoritas Muslim di negara tersebut.

“Di Myanmar, semua aktivitas internet dilakukan lewat Facebook,” kata Yanghee Lee yang menyelidiki kasus kala itu. “Facebook digunakan untuk menyebarkan pengumuman untuk publik tapi kita semua tahu bahwa penganut Budha yang berhaluan ultra-nasionalis punya akun Facebook sendiri. Lewat akun-akun ini, mereka menghasut orang untuk melakukan tindakan kekerasan dan permusuhan terhadap suku Rohingya dan etnis minoritas lainnya. Saya khawatir Facebook sudah berubah menjadi monster menyeramkan, jauh dari niatan awal pembuatnya.”

Di tahun yang sama, CEO Facebook Mark Zuckerberg mengaku belum maksimal melakukan pencegahan agar platform tidak digunakan untuk “memicu perpecahan dan kekerasan di dunia nyata”. Dia berjanji akan bekerja lebih keras lagi guna meningkatkan layanan. Namun, kritikus menganggap upaya perusahaan untuk mencegah terulangnya kekejaman di Myanmar dan seluruh dunia masih sangat kurang.

Iklan

“Facebook tidak pernah menjawab pertanyaan tentang perannya, menerima tanggung jawab, melakukan perbaikan, mendesain ulang sistemnya atau menunjukkan sedikit belas kasih kepada para korban dan keluarga,” tandas Carole Cadwalladr, co-founder organisasi Real Facebook Oversight Board, ketika dihubungi VICE News.

Baru-baru ini, Frances Haugen, mantan manajer produk Facebook yang kini menjadi whistleblower, mengekspos kurangnya investasi perusahaan di pasar non-bahasa Inggris. 87 persen dana dihabiskan untuk memerangi berita palsu dalam bahasa Inggris, meski hanya sembilan persen pengguna Facebook yang merupakan penutur bahasa Inggris.

Gugatan di California secara ekstensif mengutip Haugen dan rekannya Sophie Zhang. Walaupun Edelson telah mendalami kasusnya selama lebih dari setahun, dia melihat sikap baru Washington dalam menyeriusi ancaman yang ditimbulkan Facebook sebagai keuntungan besar.

“Kesediaan mereka untuk membuka suara telah mengubah persepsi publik, yang bisa sangat penting,” tutur Edelson, menambahkan pengungkapannya telah “meningkatkan kesadaran kolektif.”

“Seandainya kami menuntut Facebook melakukan genosida lima tahun lalu, orang-orang mungkin akan menganggap kami gila.”

Facebook tidak menanggapi permintaan VICE News untuk berkomentar, tapi Edelson sudah bisa menebak reaksi perusahaan menanggapi tuntutan ini.

“Kami menduga mereka akan melakukan segala cara untuk menghindari tuduhan spesifik kami. Mereka jago membawa pengacara yang sangat mahal dan pintar. Kami juga menduga mereka akan menemukan berbagai cara kreatif untuk lari dari tanggung jawab.”

Cadwalladr berpendapat bukan tidak mungkin Facebook mengulangi kesalahan yang sama, jika sekarang saja perusahaan tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya, terlepas dari fakta-fakta yang terungkap soal ketidakmampuan platform melindungi pengguna.

“Tak hanya aktif berpartisipasi dalam kejahatan terhadap kemanusiaan; kegagalannya mengambil tindakan dapat membuat negara lain dalam bahaya. Ini bukan insiden yang terjadi sekali saja, dan ada tanda insiden lain terjadi di kemudian hari.”