Kebebasan Ekspresi

Panduan VICE Soal Cara Kerja Virtual Police yang Mulai Awasi Medsos di Indonesia

Polri memantau internet bersama satgas Kominfo. Aparat berkukuh polisi virtual hanya mengedukasi masyarakat. Pakar hukum melihat ada risiko, mengingat tafsir opini yang 'sehat' di Internet dikuasai negara.
cara kerja virtual police polri bersama kominfo yang awasi media sosial Indonesia
Ilustrasi manuver polisi Indonesia memantau media sosial oleh Farraz Tandjoeng/VICE

Setelah sebatas jadi wacana publik selama beberapa pekan, satuan virtual police alias polisi virtual resmi diluncurkan oleh Kepolisian Republik Indonesia. Program tersebut pertama kali diusulkan secara publik oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo ketika menjalani fit and proper test di gedung DPR pada Januari lalu.

Selama beberapa minggu sejak menjadi topik hanya di media massa, sedikit demi sedikit mulai terungkap detail mengenai polisi virtual. Satuan anyar ini diharapkan mampu mengedukasi masyarakat soal penggunaan ruang digital sesuai Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Iklan

Namun, seiring makin jelas peran dan fungsi virtual police, keberadaan aparat hukum mengawasi internet, terlebih media sosial, di Indonesia menjadi momok tersendiri. Banyak warganet menilai ini upaya nyata membungkam kebebasan berpendapat, terutama di media sosial.

Jadi, apa sebenarnya mahluk bernama ‘Virtual Police’ ini? Seperti apa cara kerjanya? Benarkah kehadiran lembaga monitoring tersebut bisa mengancam kebebasan ekspresi di dunia maya?

Berikut rangkuman redaksi VICE berdasarkan keterangan resmi polisi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta analisis pengamat hukum.

Apa alasan yang memicu terbentuknya polisi virtual?

Lewat pemaparan singkat, Sigit menilai keberadaan polisi virtual penting untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang konten apa saja yang berpotensi melanggar UU ITE. Jika sebelumnya warganet bisa dengan gampang dilaporkan ke kepolisian karena unggahan mereka, polisi virtual mempunyai fungsi agar hal ini bisa dihindari.

Virtual police menegur dan menjelaskan potensi pelanggaran pasal sekian dengan ancaman hukuman sekian, lalu diberikan [informasi tentang] apa yang sebaiknya dia lakukan,” kata Sigit. “Tolong ini dikerjasamakan dengan Kominfo sehingga kalau ada konten-konten seperti itu, virtual police muncul sebelum cyber police yang turun.

Iklan

Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengatakan akan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk membuat satgas khusus digital dalam rangka mengaktifkan polisi virtual. Belum diketahui secara pasti bagaimana satgas tersebut akan bekerja dan apa saja pakem yang dipakai.

Menkominfo Johnny G. Platte mengatakan bahwa Indonesia sudah saatnya bekerja sama untuk menciptakan ruang digital yang bersih dan aman. “Kominfo untuk mengawal ruang digital, penegakan hukum atas ruang digital dilakukan oleh kepolisian,” tuturnya keterangan resmi pada Jumat (26/2).

Ia juga mengutip hasil studi Microsoft yang menempatkan Indonesia di peringkat 29 dari 32 negara paling sopan di internet. Pemerintah melihat ini sebagai momentum untuk mendisiplinkan ruang digital, termasuk dengan cara membentuk net ethics committee atau komite etik internet. 

Johnny menyebut komite yang sedang disusun untuk memberikan pedoman etika di internet itu akan melengkapi tugas kepolisian. “Kalau kita meneruskan dan membiarkan keributan, persilangan pendapat, saling mencerca, saling menabur rasa kebencian dalam ruang digital, maka itu akan merugikan kita,” tambahnya.

Seperti apa cara kerja polisi virtual?

Menurut keterangan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono, dasar yang dipakai polisi virtual untuk beroperasi adalah Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021. Pada Rabu (24/2) lalu, sudah ada satu pengguna Twitter yang mendapatkan peringatan, karena kontennya dianggap berisiko melanggar UU ITE.

Pemilik akun mengunggah gambar dan tulisan “jangan lupa saya maling” pada 21 Februari 2021. Menurut polisi, ada potensi ujaran kebencian di dalamnya. Jika tidak mau terjerat pasal, polisi virtual mengingatkan agar konten itu segera dihapus.

Iklan

Penemuan unggahan itu adalah hasil dari penelusuran petugas di media sosial. Menurut Argo, mekanismenya adalah ketika seorang petugas menilai sebuah konten berisiko terjerat UU ITE, ia akan mengirimkannya ke tim ahli yang terdiri dari ahli bahasa, ahli pidana, serta ahli informasi dan transaksi elektronik. 



Apabila tim menyatakan ada unsur pidana, informasi ini bakal diteruskan kepada Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri agar ditindaklanjuti oleh polisi virtual yang mengirimkan peringatan lewat direct message. Pengunggah konten diminta menghapusnya dalam waktu 24 jam. Jika tidak dipatuhi, kepolisian akan memanggil pemilik akun tersebut untuk klarifikasi.

Kepolisian juga sempat mengatakan bakal mengajak influencer terlibat dalam proses edukasi masyarakat. Hingga saat ini belum ada kejelasan tentang siapa sosok influencer yang dimaksud dan apa peran riil mereka.

Adakah potensi polisi virtual membungkam kebebasan pengguna Internet?

Salah satu hal yang paling dikhawatirkan dari keberadaan polisi virtual ini adalah potensi penyalahgunaan wewenang, karena belum ada perangkat hukum yang mengatur cara kerjanya. Hal ini terutama disoroti Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. Dalam wawancara dengan VICE beberapa waktu lalu, ia sepakat pada tujuan polisi virtual menjadikan hukuman pidana sebagai langkah terakhir. Namun, kekosongan regulasi bisa menimbulkan masalah baru.

“Prasyaratnya tinggal aturan hukumnya enggak bermasalah dan ada peluang diskusi apabila terjadi beda tafsir,” kata Asfinawati. Dia mencontohkan jika seseorang tidak sependapat dengan teguran polisi virtual karena merasa kontennya baik-baik saja, apakah ada jalur untuk mengadu.

Iklan

Sedangkan kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala menilai belum jelasnya pedoman kerja polisi virtual bisa melahirkan kecurigaan. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan mengingat kriteria pelanggaran yang masih berada dalam zona abu-abu. 

 “Jika virtual police ini toh ujung-ujungnya digerakkan oleh manusia juga, manusia yang mengawasi, manusia yang memindai adanya pelanggaran, manusia yang memutuskan untuk memberikan peringatan, atau manusia juga yang memutuskan mengadakan penindakan, maka selalu dikhawatirkan adanya bias,” ujar Adrianus.

Menkominfo tidak secara spesifik menyinggung tentang polisi virtual, tetapi mengatakan masyarakat tetap dilibatkan dalam proses dialog tentang ruang digital yang aman. “Kalau ada yang memberikan kritik, pandangan dan dorongan dalam bentuk ekspresi pesimisme, nah itu juga bagian dari check and balance,” kata Johnny.

“Saya menyambut baik itu dan mengajak siapa yang menganggap ini tidak berhasil, mari kita bicara bersama-sama. Toh keterlibatannya kan secara luas agar kita bisa berhasil bersama-sama,” imbuhnya.

Bagaimana dengan perkembangan rencana revisi UU ITE?

Aktivasi polisi virtual tidak serta-merta menghapus perhatian publik terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengusulkan revisi pasal-pasal karet dalam UU ITE. Sampai sekarang, ini masih merupakan wacana tanpa langkah-langkah konkret untuk memulainya, baik dari pihak pemerintah maupun DPR.

Polri sendiri menerbitkan surat edaran yang mengingatkan anggotanya agar meletakkan hukuman pidana sebagai jalur terakhir ketika ada laporan yang memakai UU ITE. Dengan kata lain, masih tidak ada kepastian apakah undang-undang itu akan direvisi atau masyarakat harus menerima alternatif lain yaitu polisi virtual.

Meski demikian, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri antara lain LBH Pers, SAFENet, Imparsial dan AJI Indonesia tetap menekankan perlunya UU ITE untuk segera direvisi. Dalam rilis pers yang diterima VICE, koalisi mendesak Jokowi dan DPR untuk “mencabut semua pasal karet yang kerap kali menjadi alat mengkriminalisasi ekspresi dan pendapat masyarakat”.

Selain itu, mengingat polisi menjadi aktor utama yang kerap melakukan penangkapan sewenang-wenang dengan memakai UU ITE, koalisi LSM ini mendesak pemerintah serta DPR agar “mengevaluasi dan mendorong aparat untuk memiliki pemahaman dan perspektif hak asasi manusia dan profesionalitas dalam menangani setiap perkara UU ITE”.