Penyair di AS Bersepeda Mengantarkan Mimpi Dari Rumah Ke Rumah

FYI.

This story is over 5 years old.

BUKU

Penyair di AS Bersepeda Mengantarkan Mimpi Dari Rumah Ke Rumah

Mathias Svalina adalah penyair yang mengantarkan puisi hasil alam bawah sadarnya, kepada setiap pelanggan yang membayar Rp800 ribu per bulan.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Jam kerja sang pengantar mimpi dimulai antara pukul 2 hingga 3 dini hari. Setelah bangun tidur, dia mengenakan pakaian dan perangkat bersepeda (termasuk lampu helm), lalu meluncur ke rumah-rumah pelanggan, mengirimkan mimpi-mimpi sebelum fajar tiba. Mimpi-mimpi tersebut secara khusus ditulis sehari sebelumnya, lalu dicetak, dan diletakkan di pintu rumah setiap pelanggan. Setelah menempuh jarak 40 hingga 80 kilometer, sang pengantar mimpi kembali ke studio kerjanya, mulai menuliskan hasil mimpi-mimpinya yang baru untuk dikirim keesokan harinya. Khusus hari Minggu, setiap pelanggan mendapatkan mimpi yang sama.

Iklan

Itu adalah ritual harian Mathias Svalina, sang penyair sekaligus pemilik layanan Dream Delivery Service.

Sejak 2014, penyair Mathias Svalina mengemban peran sebagai sang pengantar mimpi, pekerjaan yang dia anggap sebuah cara menggabungkan segala hal yang dia cintai. Layanannya yang semula hanya untuk warga kotanya itu kemudian terkenal ke penjuru AS. Para pelanggan mencakup warga di Austin, Tuscon, Marfa, dan Richmond, dan juga di luar negeri melalui surel. Jasa ini memiliki tarif lokal sebesar US$60 (Rp800.000) atau tarif bagi pelanggan internasional sebesar US$85 (Rp1.133.000) per bulan. Sementara itu, paket puisi bertema "mimpi buruk" sekurang-kurangnya bertarif US$3,75 (setara Rp50.000). Harganya lebih murah, karena "menulis mimpi amat terbuka dan eksploratif, sedangkan menulis mimpi buruk terasa tertutup dan sempit. Saya sendiri biasanya merasa ngeri sendiri ketika nulis paket mimpi buruk." Sepanjang Juni, dia akan pulang kampung ke Denver. Selama di sana, dia tetap membuka layanan pengiriman puisi ke warga lokal seharga US$45 (Rp600.000) per bulan. Svalina juga mendonasikan 15 persen dari pendapatannya kepada Program Kontrasepsi pemerintah. Oleh para penggemarnya, laki-laki berusia 41 tahun ini menerima banyak saran soal lokasi tempat tinggal dan rute layanan antar puisi baru, seandainya dia mau pindah dari AS. Menjadi "pengantar mimpi" rupanya jenis pekerjaan yang bisa membawanya ke manapun.

Iklan

Mathias Svalina mempersiapkan antaran harian. Foto dari arsip pribadi Mathias Svalina

Bagaimana cara seseorang menulis mimpi-mimpi yang khusus bagi setiap pelanggan—sebagiannya orang asing, sebagiannya lagi kawan sendiri? Apakah mungkin layanan yang sekilas hampir mustahil dilirik orang ini dapat terus berjalan?  "Ketika saya lagi mood, ya mengalir saja menulis puisinya," ujar Svalina ketika saya wawancarai. "Saya kadang bisa menulis delapan hingga sepuluh puisi per jam." Lalu, dia memberikan contoh mimpi yang dia tulis, dimulai dengan kalimat-kalimat: "Kamu berada di istana berhantu. Kamu bekerja di konter es krim di dalam toko pernak-pernik. Hantu-hantu yang menggentayangi istana itu berpikir mereka adalah dokter." Mimpi 162 kata itu, ditulis dalam tujuh menit, menunjukkan kemahirannya menyuntikkan relevansi emosional ke dalam suatu medium kata-kata yang amat singkat dan padat. Dia biasanya menghabiskan delapan hingga sepuluh jam setiap hari untuk berpikir dan memproduksi aliran puisi pendek. Dengan rumus matematika sederhana, kita bisa memprediksi Svalina sanggup menghasilkan ratusan mimpi-mimpi tertulis saban bulan. Menilai karya-karya Svalina yang lain—termasuk lebih dari sepuluh buku puisi—kita mungkin mengira otaknya secara alami terhubung dengan bawah sadar, dan mampu menyelam jauh ke dalam lanskap yang tidak logis dan kembali dengan membawa harta karun. Novelanya yang terbit 2011, I Am a Very Productive Entrepreneur, menyuguhkan sejumlah sketsa-sketsa prosaik pendek, menggambarkan upaya seorang laki-laki mendeskripsikan bisnis yang dia bangun. Bisnis yang menyerupai keanehan dan kemustahilan layanan pengantar mimpi.

Iklan

Menurut Svalina, penulisan mimpi-mimpi ini adalah "percobaan formal, bukan dalam artian menciptakan mimpi-mimpi, yang ekspansif dan aneh, tapi dari segi bagaimana kita membuat kaitan antara satu mimpi dengan mimpi lain." Di era kerusuhan politik dan sosial yang dia rasakan di AS selama dua tahun belakangan, layanan pengantar mimpi bukanlah sebuah eskapisme dari kenyataan melainkan manuver. Dia ingin mengaplikasikan kehangatan khas mimpi kepada tempat-tempat yang tidak dipedulikan. "Saya menulis mimpi-mimpi ditambah pengalaman pribadi, menghasilkan narasi aneh dan tidak masuk akal," ujarnya. "Puisi semacam itu terasa lebih komplet dan realistis dibandingkan saat saya mencoba menulis puisi berdasarkan kompleksitas dan makna kehidupan nyata."

"Thirty Dreams" buku yang diluncurkan tahun lalu oleh penerbit Denver June yang ditulis oleh Mathias Svalina.

Bayangan Svalina mengikuti selama dia menggowes sepedanya sebelum fajar menyingsing di kota kecil AS, mengirim puisi-puisi kepada pelanggan yang masih terlelap. Kesibukan harian itu terkesan seperti tindakan berlandaskan iman, semacam laku biarawan melayani Tuhan. Setidaknya, layanan tersebut juga merupakan tindakan pemberontakkan, membelok dari ranah yang semestinya kita pijaki dalam dunia masa kini. Layanan tersebut tidak bisa dilakoni, atau dibayangkan, oleh orang lain sebagai pekerjaan riil. Siapa coba yang membayangkan ada orang mau membayar penyair mengirimi mereka puisi ke rumah setiap hari? Memangnya puisi sekarang sudah setara dengan susu atau surat kabar? "Seringkali saya merasa seperti orang brengsek, menuliskan karya-karya aneh ini setiap hari lalu mengirimnya ke rumah-rumah," ujarnya. "Tapi saya mencoba mengingatkan diri sendiri bahwa semangat dari proyek ini adalah menciptakan hubungan intim dengan para pelanggan dan wujud-wujud keintiman ini berhubungan dengan kengerian kondisi politik Amerika Serikat."

Iklan

"Saya menulis puisi berdasarkan mimpi-mimpi, ditambah pengalaman pribadi, menghasilkan narasi aneh dan tidak masuk akal," kata Svalina. "Puisi semacam itu terasa lebih komplet dan realistis, dibandingkan ketika saya secara sadar menulis puisi tentang kompleksitas dan makna kehidupan yang nyata di luar sana."

Sekalipun melek politik dan bersemangat membahas situasi politik AS, Svalina sebetulnya tidak menulis puisi bertema mimpi-mimpi yang bersifat politis. Yang dia maksud, mimpi-mimpi ini beroperasi dengan ruang yang diisi pembaca dengan konteks mereka masing-masing, untuk menformat ulang realita seseorang di antara segala yang tidak logis. Svalina mencoba menggabungkan gambar-gambar dari kota yang ia tinggali saat menulis syair, lalu coba digabungkan dengan media lain seperti seni, fotografi, dan film. Kadang dia menulis puisi tentang mimpi-mimpi acak soal orang-orang yang dia temui selama menggoes sepeda dini hari. Gabungan pengalaman tersebut seperti jaringan yang menyerap batasan dari kesadaran maupun alam bawah sadarnya. "Saya bisa menulis larik yang puitik, seperti 'ibumu berjalan masuk memegang sisir berkarat' dan saya yakin, bagaimanapun hubungan pelanggan dengan ibu mereka, mereka hampir pasti punya ibu," ujarnya. "Lalu sang pelanggan semoga saja membacanya dengan interpretasi yang intim. Saya rasa itulah kiat-kiat dasar dalam menulis, untuk memberikan ruang yang cukup agar pembaca bisa membuat suatu hal menjadi penting." Pada akhirnya, apa yang sedang diciptakan Svalina bukanlah sebuah puisi aneh dan logika-logika tersembunyi, melainkan karya sastra yang ditulis secara khusus untuk masing-masing pembaca, sebuah rangkaian teks yang diciptakan secara personal sehingga harus diberi nomor satu sampai sekian karena dia tahu pembacanya berbeda-beda perkara selera bacaan.

"Saya ingin ketika seseorang membayar langganan puisi saya selama sebulan, mereka akan merasaka memperoleh bacaan menyerupai buku yang sudah dimampatkan," ujar Svalina. "Karya-karya saya yang diantar harian saya harap bisa menjadi semacam buku yang seakan-akan cuma bisa dibaca oleh satu pelanggan saja." Seperti penyair asal Cina, Li Po, yang menulis puisi hanya untuk membuang naskahnya ke aliran air sungai, karya-karya Svalina dalam beberapa hal juga adalah upaya membuat yang ajaib terkesan nyata.  Layanan puisi ini, serta hasil puisi-puisinya, memberi para pembaca perasaan aneh dan fantastis. Kita akan teringat pada kebutuhan untuk selalu 'meng-ada', sebuah kerinduan akan kehidupan dan kebudayaan yang ideal dibanding kenyataan sehari-hari yang banal.

Follow Blake Butler di Twitter.

Jika ingin tahu lebih lanjut seperti apa layanan puisi harian atau membaca karya-karya Mathias Svalina, kunjungi situs Dream Delivery Service.