Games

‘Rage In Peace’: Game Lokal ini Membuat Pemain Mensyukuri Hidup Karena Bakal Mati Berulang Kali

Siklus kematian yang yang enggak beres-beres, adegan pembunuhan brutal, setan-setan gentayangan, dan puncaknya sang malaikat pencabut nyawa datang. Saya enggak sedang ngomongin album-album death metal ‘90an atau film horor lokal kelas B yang banyak beredar dasawarsa ‘80an. Saat ini saya membahas Rage In Peace, sebuah game lokal yang memiliki semua bumbu di atas, tapi dioplos dengan setting-setting absurd, humor gelap, serta plot yang menyentuh hati. Sebuah kombinasi yang kelihatannya enggak akan bisa berhasil namun nyatanya pas.

Rage in Peace adalah game genre side-scrolling karya debut pengembang indie asal bandung, Rolling Glory Jam. Adapun publisher yang mengelola aspek bisnisnya adalah Toge Production. Rage in Peace menampilkan animasi yang halus dan benar-benar hidup.

Videos by VICE

Dalam tiap level, pemain bakal disuguhi jebakan-jebakan paling mengerikan yang bisa dibayangkan manusia. Secara resmi, game ini baru dirilis pekan lalu lewat platform distributor game digital Steam.

Kisah dalam game ini terjadi dalam sebuah bangunan kantor biasa. Kobaran api dan keretakan terlihat di sana-sini. Dalam setting seperti ini, pemain akan mengendalikan Timmy Malinu, seorang karyawan korporat yang sudah bosan pekerjaannya. Hidup karyawan yang kepalanya nyaris mirip marshmallow itu berubah drastis setelah dikunjungi malaikat maut alias Grim Reaper. Sang pencabut nyawa itu menitipkan satu pesan saja: Timmy bakal mati hari ini. Nah, tugas utama pemain game ini adalah menjalankan karakter Timmy melewati segala jebakan dan rintangan agar Timmy bisa hidup lebih lama—sukur-sukur sampai akhir game.

Ingatan yang kuat adalah modal berharga dalam menyelesaikan Rage in Peace. Saban beberapa langkah sekali, pemain akan disuguhi jebakan-jebakan mematikan, dari hiu yang sekonyong melompat dari hingga bola penghancur bergerigi dari langit-langit; dari bambu runcing yang tiba-tiba menyeruak dari permukaan tanah sampai formasi batu mirip Stonehenge yang bergerak-gerak serta meremukan apapun di hadapannya.

Pendeknya, jika harus dicari pembanding yang setara, maka game yang paling mendekati adalah Limbo—game yang menuai banyak pujian pada 2016 silam—dengan game Trial and death-nya (pengembang Rage in Peace juga menyebut Braid, Bastion, To The Moon, Owlboy, Dust, Super Meat Boy, Celeste, Nier: Automata sebagai inspirasi mereka).


Tonton Dokumenter Waypoint (situs VICE khusus untuk game) menyorot upaya lintas negara menyelamatkan arsip sejarah video game klasik:


Dari awal pengembangannya, otak-otak di balik Rage in Peace sudah sepakat akan satu hal; game ini harus bisa mengajari pemainnya akan mortalitas manusia dengan cara yang enggak nakut-nakutin, ujar Dominikus D. Putranto, yang menyutradarai, mendesain, dan menulis serta memprogram Rage in Peace bersama co-writer Halida Astatin.

“Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari game ini adalah bagaimana kematian seorang yang dekat dengan kita bisa mengubah kehidupan kita secara drastis, atau gampangnya membentuk masa depan kita,” ujar Dominik. Dia lantas melanjutkan bahwa Paulo Coelho—penulis kenamaan asal Brasil—pernah menulis cerita tentang seseorang yang mati dan jasadnya tak ditemukan selama bertahun-tahun. “Coelho menulis ‘berbahagialah orang yang meninggal dalam keadaan masih berpiyama’ karena itu artinya orang tersebut meninggal dalam tidur atau di rumah sakit dikelilingi orang-orang yang dekat dalam hatinya.”

Daripada sekadar menampilkan berbagai cara konyol untuk mati, Rage in Peace sesungguhnya memang tentang kegigihan bertahan hidup.

“Apa yang menurut kami menarik untuk dijajaki adalah kontradiksi antara gameplay yang absurd, keisengan untuk ngetroll dan ceritanya sendiri, yang lebih serius dan depresif,” ungkap Dominik. Dengan elemen-elemen yang kontradiktif, PR utama pengembang Rage in Peace memastikan mereka berada dalam mood yang tepat saat berusaha menyeimbangkan elemen-elemen itu.

“Pernah tuh ada satu sesi, mood kami lagi jelek tapi kami maksain mengerjakan satu level. Hasilnya malah jadi jelek. Player harus terus-terusan grinding sepanjang level. Enggak enak deh mainnya.”

Level pertama Rage in Peace digratiskan di Steam sebagai trial tahun lalu dan menuai pujian dari banyak jurnalis game serta vlogger yang mengunggah play-through mereka di YouTube. Yang paling mengejutkan, PewDiePie, vlogger game paling populer sekaligus kontroversial saat ini, ikut memuji game ini. Hemat kata, hype yang muncul di sekitar Rage in Peace enggak kebetulan doang.

Gervasius Anton, yang biasa dipanggil Hasta, mengelola kanal gaming populer di YouTube bernama HastalavistaGaming. Anton adalah salah satu orang yang menjajal demo-demo awal Rage in Peace. Baginya, Rage in Peace berhasil sebagai sebuah game karena bisa menyuguhkan tingkat kesulitan yang menantang namun tetap adil.

“Masih masuk dalam kategori rage game yang bisa dimainkan lah,” katanya. “Dan, untuk ukuran game indie, game ini punya grafis dan selera humor yang keren.”

Salah satu elemen yang membuat game ini mencuat di luar kalangan nerd game adalah soundtracknya, yang dikurasi oleh sound artist Monkey Melody dan label indie Nanaba Records. Rage in Peace memang bukan game indie pertama yang menggandeng musisi-musisi underground. Hanya saja, sebelumnya skalanya tak sebesar ini.

“Saya senang saja menjajaki kesempatan yang memungkinkan musisi independen berkarya di luar lanskap musik standar,” kata Jodi Setiawan, pemilik Nanaba Records owner Jodi Setiawan. Peonies, band Jodie, juga menyumbang salah satu lagu dalam soundtrack Rage in Peace yang sedianya jadi rilisan fisik terakhir Nanaba Records sebelum gulung tikar tahun ini.

“Kolaborasi ini bisa kejadian karena kebetulan saya juga seorang gamer. Setelah ngeliat bagaimana pengembang Rage in Peace masang musik di adegan-adegan tertentu, kamu bakal ngerti betapa pentingnya musik-musik itu bagi aksi-aksi yang terjadi di layar monitor,’ kata Jodi. “Musik di game ini enggak cuma jadi background doang, tapi kadang jadi pusat perhatian juga.”