Aku Mengidap Fobia Kodok dan Terlalu Malu Cerita Sama Teman-Teman

개구리 공포증 양서류

Confessions” adalah seri artikel VICE memuat cerita pengalaman pribadi yang disembunyikan banyak orang, terutama soal kesehatan mental, fobia, dan bermacam pikiran gelap. Melalui pengakuan para narasumber dalam seri ini, redaksi berharap pembaca sekalian bisa mendapat inspirasi, keberanian, serta perasaan lebih ringan menghadapi problem-problem kejiwaan yang sedang dihadapi. Sebab, seunik apapun ketakutan, depresi, trauma; atau seaneh apapun pengalaman seseorang dalam hidupnya, selalu ada orang di luar sana yang mengalami hal serupa—kalian tidak sendirian.


Ketika umurku 16 tahun, teman sekolah menawariku coklat Cadbury seri Freddo. Dalam hati aku benci banget sama kodok, tapi karena ini coklat pemberian teman, aku kuatkan diri untuk menerimanya dengan senyum. Siapa sangka, coklat bentuk kodok doang membuatku telingaku berdetak keras, rasanya seperti mau pingsan. Di titik itulah, aku sadar rasa takutku terhadap makhluk amfibi tersebut sudah masuk kategori fobia.

Videos by VICE

Akibat kejadian itu, dan setelah mengamati perilakuku sendiri beberapa tahun terakhir, aku menyadari betapa akut ranidafobia yang kuidap. Lumayan parah ternyata. Ternyata aku tidak sendirian. Psikolog menyatakan memang ada fobia kodok atau katak.

Aku ingat berjalan pulang suatu malam dan melihat seekor katak di tengah trotoar. Duduk jongkok tak bergerak dengan kakinya yang besar, diiringi denyut ritmik dagunya yang menjijikkan, aku yakin kodok itu akan meloncat ke arahku. Saking yakinnya, aku tak bisa meneruskan jalan di trotoar. Alhasil, mobil-mobil harus menglakson terkejut, karena aku lari ke jalan raya. Tindakan nekat itu kulakukan supaya aku tidak harus berjalan melewati sang kodok.

Aku tahu rasa takutku mungkin enggak rasional, tapi ya definisi fobia menurut buku-buku teks psikologi adalah: “rasa takut irasional yang ekstrem terhadap obyek atau benda tertentu.”

Seingatku, pas masih SD aku enggak segininya. Mulai dari umur 13 hingga 16 tahun, rasa takutku terhadap kodok muncul. Mungkin semuanya dimulai ketika keluargaku liburan ke Bali, ketika aku melihat banyak sekali kodok, lalu menyaksikan salah satunya dilindas ban motor hingga ususnya bertebaran keluar.

Atau mungkin juga ketika seorang teman menunjukkanku video berjudul “Frog Sashimi”. Isinya? Ya persis sesuai judulnya: kodok dengan perut terbuka, diletakkan di atas piring untuk dimakan. Mata mereka masih berkedip seiring isi perut muka sudah digorok.

Belum lagi suatu waktu ketika ayahku mencoba menipuku untuk makan kodok dengan mengatakan itu daging ayam. Mengingat banyak pengalamanku dengan kodok selalu bersifat traumatis, mungkin fobiaku memang tidak mengherankan.

Lucunya, aku sebetulnya jarang sekali bertemu dengan kodok. Di Singapura, negara tempat aku hidup dan besar, kodok bukan binatang yang lazim ditemukan di luar rumahmu. Mungkin hanya itu hal terbaik yang masih kumiliki, sehingga fobiaku belum berkembang menjadi masalah yang lebih serius. Tapi minimnya interaksiku dengan kodok membuat rasa cemas terhadap semua jenis kodok semakin parah. Kadang aku bahkan menyadari betapa konyolnya fobiaku ini.

“Tiap kali travelling ke tempat baru, aku pasti mencoret lokasi wisata yang kemungkinan ketemu kodoknya tinggi. Iya, aku setakut itu sama kodok.”

Mengingat aku bahkan takut melihat sosok kodok muncul di tayangan Animal Planet, momen ketika aku akhirnya harus bertemu kodok sungguhan kadang membuatku takut dan lega sekaligus. Aku harus mengingat-ingat memoriku seputar kodok, dan menciptakan narasi tentang bagaimana rasa takutku terbentuk. Aku juga menemukan solidaritas saat membaca pengalaman orang lain di Internet yang juga takut terhadap amfibi satu ini.

Apakah aku ingin sembuh dari rasa takut ini? Iya dan tidak. Biarpun tentunya akan sangat menyenangkan tidak merasakan jantung berdebar setiap kali melihat kodok, untuk bisa sembuh dari ranidafobia, menurut psikolog, resepnya cuma satu: aku harus menatap mata seekor kodok. Memikirkan ini saja sudah membuatku gemetaran.

Beberapa tahun lalu, seorang teman mencoba membuatku menyentuh boneka kodok di sebuah toko, sebuah kartun kodok yang jelas-jelas terlihat palsu. Aku menghabiskan 15 menit berusaha menguatkan diri sebelum akhirnya kabur di detik-detik terakhir. Akhirnya aku hanya bisa menjulurkan tangan dan menutup mata seiring temanku menempelkan si boneka ke ujung jari telunjukku. Ya dihitung bentuk terapi eksposur pertamaku bisa lah ya.

Mungkin aku harus mengambil langkah selanjutnya dan berusaha mengatasi rasa takutku akan makhluk amfibi buruk rupa tersebut. Mungkin aku akan menemukan support group ranidafobia di Internet, yang para anggotanya mencari solusi sistematis buat menghadapi rasa takutku. Atau mungkin juga enggak.

Selama menulis artikel ini, aku memaksakan diri melihat berbagai foto-foto kodok yang membuatku sampai berteriak. Bahkan menulis artikel tentang ini saja sebetulnya sangat berat. Jujur ya, saking enggak kuatnya, aku menyuruh adik perempuanku menonton video-video kodok buatku, lalu menceritakan ulang seperti apa tindak-tanduk hewan laknat tersebut.

Aku ingin sembuh. Andai aku tak lagi punya fobia ini, aku tetap akan membenci kodok. Maaf ya kodok.

Follow Koh Ewe di Instagram.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.