Rapper Korea Bill Stax (dulunya lebih dikenal sebagai Vasco) punya misi khusus saat merilis album kelima berjudul Detox pada April tahun lalu. Dia ingin memulai gerakan pro-ganja, terutama di dunia permusikan Korea Selatan.
“Gerakan ini bertujuan mengubah persepsi publik terkait ganja sebagai obat-obatan terlarang,” tutur musisi hip-hop dari studionya di Seoul. Lelaki 41 tahun itu tampak mengenakan jaket hoodie merah nyala yang dia desain dengan logo McDonald’s dan tulisan “Marijuana” di tengah-tengah.
Videos by VICE
Di dinding studio, terpasang poster bertuliskan, “ganja medis adalah cara bertahan hidup”. Terdapat juga kantong ziplock berisi kaset Detox yang dijual secara terbatas. Dia hanya mengeluarkan 420 keping saja.
“Saya ingin ‘membersihkan’ pola pikir masyarakat tentang ganja melalui musik, fesyen dan video,” tegasnya.
Kancah musik hip-hop identik dengan ganja, tapi lain ceritanya di media Korea Selatan. Platform streaming musik sengaja tidak menampilkan Detox sebagai rilisan baru karena sampul albumnya bergambar rokok linting dan ganja. Ditambah lagi, Bill Stax ditangkap atas penggunaan ganja pada 2018 serta kokain dan ekstasi tiga tahun sebelumnya. Awalnya dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara, dia akhirnya didakwa tanpa penahanan.
Keluarga kandung bahkan menentang keras keputusannya mengampanyekan legalisasi ganja. Dia kini jarang mengobrol dengan sang ayah seputar karya-karya musiknya. Mereka hanya bertukar kabar sehari-hari.
Keluarga dari pihak istri justru lebih suportif. “Setelah menjelaskan kepada mertua kalau saya ingin mengadvokasi penggunaan ganja yang lebih ramah, mereka mencari informasi secara online lalu memberondong saya dengan segudang pertanyaan keesokan harinya.”
Pada 2018, Korea Selatan menjadi negara pertama di Asia Timur yang melegalkan penggunaan medis ganja non-halusinogen. Namun, kepemilikan dan penjualan ganja untuk konsumsi pribadi masih diatur ketat.
Bill Stax sadar sekadar mengedukasi masyarakat tentang manfaat ganja tak cukup hanya lewat musik. Karena itulah dia meminta bantuan Pendeta Kang Sung-seok, pemuka agama yang ditahbiskan oleh Korean Association of Independent Churches and Missions. Lelaki 42 tahun itu mendirikan Korean Medical Cannabis Organisation (KMCO), organisasi pertama di Korea Selatan yang mempromosikan ganja medis dan mendesak pemerintah melegalkan penggunaannya.
“Meyakinkan anggota parlemen itu tidak mudah, bahkan ketika mengatakan ganja medis bisa mengubah hidup penderita kanker, epilepsi dan sakit kronis,” Kang memberi tahu VICE.
Penampilan Kang sekilas tak ada bedanya dari pendeta kebanyakan. Dia mengenakan jas biru dongker dan dasi hitam. Namun, isi khotbahnya lain daripada yang lain. Dia justru terdengar seperti musisi rap macam Bill Stax.
Bertepatan dengan Hari Ganja Sedunia tahun lalu, melalui siaran Instagram Live, pendeta dan rapper mengajak seluruh rakyat Korea Selatan menandatangani petisi yang mendesak Blue House untuk mempermudah akses ganja medis bagi pasien, serta tak lagi mengkriminalisasi penggunaan ganja untuk kebutuhan rekreasi. Dari target 200.000, hanya 14,000 orang yang mendukung petisi.
“Saya memandangnya seperti rekan yang sejalan denganku,” kata Bill Stax tentang hubungannya dengan Kang. Menurut penjelasannya, sang pendeta membantu proses pembuatan petisi.
Keduanya terus menjalin kerja sama. Bill Stax menghadiri rapat majelis umum KMCO di gereja di bilangan Hongdae.
Rapper dan pendeta merupakan perpaduan yang aneh. Musisi hip-hop di Korea Selatan cenderung tampil agnostik dan kurang bersahabat dengan kelompok beragama. Sementara itu, menurut profesor Cho Man-soo di Universitas Kookmin, sekitar 30 persen umat Kristen di Korsel menolak legalisasi ganja.
“Sejauh ini belum ada kelompok Kristen yang secara terbuka menentang organisasi saya, tapi tak ada juga kelompok yang terang-terangan mendukung saya,” ungkap Kang.
Dia adalah pendeta generasi ketiga, yang kakeknya dieksekusi setelah mengakui keyakinannya selama Perang Korea. Kang mulai mengetahui manfaat ganja medis ketika menderita cakram pecah pada 2014. Baginya, mendorong legalisasi ganja tak ada bedanya dari tugas misionaris.
“Seperti Yesus yang menyembuhkan banyak orang, misi saya yaitu mewujudkan pengobatan bagi pasien yang membutuhkan.”
Bill Stax dan Kang meyakini alasan ilmuwan dan dokter ragu-ragu mendorong legalisasi ganja medis yaitu karena masih ada stigma sosial di masyarakat, bahkan ketika mereka menyadari manfaatnya. Itulah sebabnya mereka membuka suara.
Profesor Cho termasuk di antara segelintir akademisi yang mendalami industrialisasi ganja di Korsel. “Rakyat Korea menentang ganja,” ujarnya, lalu menambahkan kurangnya pengetahuan dan minat orang terhadap ganja dikarenakan jarang menemukannya.
“Ganja dikategorikan sebagai narkoba, seperti kokain, heroin dan sabu, di Korea Selatan. Alasannya karena tidak ada perbedaan antara jumlah pemakai ganja dan narkoba.”
Pendeta Kang berpendapat serupa. “Yang tebersit di pikiran orang Korea saat mendengar ganja adalah chaebol (pengusaha konglomerat) diselidiki polisi,” kata Kang. “Ada anggapan ditangkap atas kepemilikan ganja sama buruknya seperti dihukum akibat pembunuhan.”
Mungkin karena itulah album Detox diperlakukan seolah-olah tidak pernah ada. Sementara karya musiknya di masa lalu sering masuk tangga lagu situs streaming, tak ada satu pun lagu dari album ini yang populer. Albumnya tak menuai kontroversi sesuai harapan Bill Stax.
“Andai saja lebih banyak orang mendengar album ini, kolom komentar di situs streaming musik pasti tak hanya dipenuhi pujian, tetapi juga kritik dan kebencian,” tuturnya. “Mungkin banyak yang tidak tahu kalau saya merilis album baru.”
“Saya ingin orang melihat album ini dan berpikir, ‘Wah, lo bisa merilis album macam begini di sini?’” lanjutnya dengan ekspresi kecewa.
Namun, dia tak putus asa. Bill Stax dan Pendeta Kang akan terus bekerja sama hingga pandangan orang Korea terhadap ganja bergerak ke arah yang lebih positif.