Beginilah Rasanya Menjadi Penderita Kesepian Kronis

Confessions” adalah seri artikel VICE memuat cerita pengalaman pribadi yang disembunyikan banyak orang, terutama soal kesehatan mental, fobia, dan bermacam pikiran gelap. Melalui pengakuan para narasumber dalam seri ini, redaksi berharap pembaca sekalian bisa mendapat inspirasi, keberanian, serta perasaan lebih ringan menghadapi problem-problem kejiwaan yang sedang dihadapi. Sebab, seunik apapun ketakutan, depresi, trauma; atau seaneh apapun pengalaman seseorang dalam hidupnya, selalu ada orang di luar sana yang mengalami hal serupa—kalian tidak sendirian.


“Orang-orang pasti kaget kalau tahu kamu sebenarnya sangat kesepian,” kata terapis saya di salah satu sesi. Dia benar. Dari luar, saya terlihat ramah dan mudah bergaul. Terkadang saya ngobrol dengan orang yang saya tidak kenal saat mengantre Starbucks atau bertemu kenalan ketika sedang jalan-jalan di daerah Brooklyn. Saya juga lumayan sering datang ke acara pesta. Saya merasa punya pribadi menyenangkan. Saya memiliki banyak stok anekdot dan gurauan lucu yang bakal bikin orang terbahak-bahak—kadang-kadang sampe bir yang mereka lagi minum muncrat keluar dari mulut. Saya bisa berkomunikasi dengan orang yang paling tertutup dan tidak ramah sekalipun. Saya sering bercanda kalau tidak banyak orang yang bisa menolak pesona saya.

Videos by VICE

Namun, kebanyakan waktu saya merasa sangat kesepian. Saya punya banyak kenalan, tapi tidak banyak temen dekat. Dan teman-teman dekat saya selalu sibuk—tipikal penduduk New York. Kadang-kadang telpon atau pesan saya tidak dibalas hingga berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Akibatnya sangat sulit untuk membuat rencana nongkrong bareng. Terkadang kita gak ketemu sama sekali dalam periode yang lama.

Biarpun ini menyebalkan, saya mengerti kenapa mereka berlaku seperti itu. Saya lumayan sibuk dan sulit bisa janji nongkrong dengan orang lain. Kadang saya butuh waktu lama untuk membalas telpon. Ketika saya mengalami depresi, stres, gelisah, atau tertekan, saya bisa menghilang dari peredaran. Saya bisa saja mencari teman-teman baru ketika lingkaran sosial terdekat saya sedang sibuk semua, tapi biasanya saya tidak melakukan itu.

Ada fase-fase dimana saya berusaha keras menghubungi orang lain dan membuat rencana nongkrong bareng. Namun tidak peduli apa pun yang saya lakukan, ujung-ujungnya saya tetap merasa kesepian dan terisolasi. Ada momen-momen manis di mana saya merasa terhubung dengan orang lain, tapi momen-momen ini umurnya tidak panjang. Saya merasa ada semacam tembok yang tidak bisa saya tembus antara saya dan orang lain.

Mungkin kalau dilihat sekilas, kesepian itu tak parah-parah amat. Hanya saja ketika kesepian ini dicampur dengan depresi, rasa sakitnya akan lebih buruk. Biarpun saya tidak pernah mencoba bunuh diri, ide mengkhiri hidup pernah terlintas di kepala. Biarpun ada banyak faktor yang menyebabkan saya menderita, kesepian adalah salah satu yang paling dominan. Mungkin kalau saya bisa merasa terhubung dengan orang lain, rasa sakitnya akan jauh berkurang.

Kesepian tidak mudah dilihat. Hanya karena seseorang terlihat mudah bergaul dan sosial, bukan berarti mereka tidak merasa kesepian. Terri Girvin, seorang bartender yang tinggal di New York selalu berada di tengah banyak orang. Nyatanya dia tetap sering merasa kesepian. “Saya sangat ramah dan mudah bergaul. Tapi justru sifat saya inilah yang menyebabkan saya sering menghabiskan waktu sendiri. Saya khawatir kenapa saya bersikap ramah setiap saat,” jelasnya.

Dia terdorong harus selalu “aktif secara sosial” di tempat kerjanya. Terri lalu menggunakan waktu luangnya di rumah untuk “kumat”. Akibatnya dia sering sekali menghabiskan waktu sendiri. Lelah bekerja di bar semalaman dan kerap disibukkan dengan obrolan-obrolan dangkal di tempat kerjanya, Terri mengidamkan hubungan yang lebih dalam. Namun dia tetap butuh waktu sendiri untuk mengisi ulang baterenya—seperti manusia introvert kebanyakan. Dia sering menghindari bersosialisasi dan berbasa-basi karena sehari-hari dalam pekerjaannya, Terri sudah lelah dengan itu.

Terri kerap menyalahkan jadwalnya yang sibuk atas rasa kesepiannya. Namun dia juga mengakui bahwa mungkin dia juga memilih menjadi seorang bartender karena ingin melanggengkan perasaan terisolasi yang dia alami. “Pekerjaan ini membuat saya bisa membenarkan perasaan kesepian saya,” katanya. Besar di keluarga yang penuh dengan laki-laki, Terri mengaku merasa terasingkan ketika masih kecil. Dia penasaran apabila sebetulnya dia sedang menciptakan ulang dinamika sosial masa kecilnya di hidupnya sekarang sebagai orang dewasa.

Biarpun dia tidak ingin kesepian, dia tidak tahu bagaimana caranya mengubah rasa kesepian itu menjadi hal yang lebih positif. “Saya merasa tidak cocok dengan kebanyakan orang, dan saya tidak tahu bagaimana caranya merubah itu,” jelasnya.

Biarpun berat, perasaan kesepian adalah pengalaman yang sangat umum. Banyaknya orang yang mengalami hal ini, sampai-sampai surat kabar the New York Times menyebut perasaan kesepian sebagai sebuah epidemi. Dalam wawancara dengan John Cacioppo, seorang peneliti rasa kesepian dari University of Chicago, dia melaporkan di masa modern semakin banyak orang merasa kesepian.

Penelitiannya menemukan data bahwa sepanjang kurun 1970-an hingga 1980-an, 11 hingga 20 persen warga Amerika merasa kesepian. Pada 2010, angka ini melonjak hingga 40-45 persen. Marc Katz, seorang pendeta Yahudi dan penulis bukuThe Heart of Loneliness: How Jewish Wisdom Can Help You Cope and Find Comfort, mengatakan rasa kesepian tidak bisa dihindari di masyarakat modern. Efeknya bisa berakibat buruk. “Kesepian kronis adalah kebutuhan akan hubungan mendalam dengan manusia lain yang kerap tidak pernah terpuaskan. Ini sangat menyakitkan,” jelasnya.

Tidak semua kesepian itu sama. Ada beberapa perbedaannya. “State loneliness (kesepian sesaat)” adalah rasa kesepian sesaat yang diakibatkan oleh faktor eksternal. Contohnya adalah ketika kamu sendirian ketika sedang hujan, kata Sean Seepersad, seorang profesor ilmu pengembangan manusia dan studi keluarga di University of Connecticut, yang juga menjabat sebagai direktur dan CEO dari Web of Loneliness Institute Inc. Lembaga nirlaba yang dia pimpin berfokus mengkaji kesadaran, penelitian, intervensi, dan dukungan perihal kesepian. Kesepian sesaat bisa diobati dengan mudah, misalnya menelepon sahabat kita.

Yang kedua adalah “trait loneliness (kesepian internal)” yang bersifat kronik. “Karena penderita kesepian internal sudah bertahun-tahun mengalami perasaan yang sama, mereka lebih sulit diobati. Biasanya perasaan kesepian ini ditimbulkan oleh mereka sendiri dan sifat individu tersebut yang membuat mereka sulit menciptakan atau menjaga hubungan intim dengan orang lain,” jelas Seepersad.

Biarpun kita sering mendengar bahwa obat kesepian adalah dengan bersosialisasi, masalahnya tidak sesederhana itu. Tidak semua bentuk sosialisasi akan menolong. Justru kadang bersosialisasi malah memperhebat rasa kesepian ini. Kadang setelah nongkrong dengan teman saya pulang ke rumah dan merasa lebih kesepian dari biasanya. Seperti Terri, saya juga merasa harus selalu “aktif secara sosial” di sekitar orang lain. Atau kadang saya harus membuat semacam tembok agar saya tidak bisa dilukai orang lain. Jadi bersosialisasi malah kerap mengingatkan saya bagaimana sulitnya untuk berhubungan dengan orang lain secara mendalam. Karena inilah saya jarang membuat rencana untuk nongkrong dengan orang lain.

Menurut Katz, ini disebabkan karena obat kesepian itu tidak sekedar berada di antara orang lain, tapi benar-benar “dianggap” dan dihargai apa adanya. Apabila kamu berada di tengah banyak orang di sebuah pesta dan berharap bisa terhubung dengan mereka—tapi kemudian tidak terjadi—ini bisa sangat menyakitkan. Dan apabila kamu sulit merasa terhubung dengan orang lain, berada di ruangan penuh orang tidak akan menolong anda dari perasaan ini. Dalam hal pertemanan, kualitas lebih penting dari kuantitas. Seepersad mengatakan kunci untuk keluar dari kesepian adalah dengan memiliki hubungan yang mendalam, jujur dan intim dengan orang lain. Beberapa teman cukup, tidak perlu banyak-banyak.

Tidak ada obat langsung sembuh untuk kesepian, tapi Katz mengatakan bahwa ada cara-cara yang bisa digunakan untuk melawan rasa kesepian ini. Dan semoga seiring waktu rasa kesepian ini semakin jarang datang. Semacam hubungan dengan kekuatan yang lebih besar—mungkin Tuhan—dari dirimu sendiri, atau semacam misi dan tujuan hidup dan membangun hubungan sehat dengan dirimu sendiri semuanya dapat membantu ketika rasa kesepian ini datang. “Semua hal ini bisa membantu, namun memang ujung-ujungnya kamu butuh orang lain,” jelasnya. “Semua cara-cara ini bisa membantu kamu menemukan tempat dimana kamu dikelilingi oleh orang-orang yang bisa menerima kamu apa adanya.”

Katz juga mengatakan penderita kerap pesimis duluan terhadap orang lain, takut ketika kita “kumat”, mereka akan merasa terganggu dan membuat kita merasa ditolak. Namun banyak pikiran-pikiran pesimis yang kita ciptakan di kepala kita biasanya tidak benar. Kebanyakan orang akan merespon secara positif dibanding yang tidak. Kalau ada yang tidak merespon secara positif, biasanya karena mereka sendiri sedang bermasalah, atau memang mereka punya masalah intimasi. Kejadian semacam ini tidak boleh dimasukan ke hati dan mematahkan semangatmu untuk curhat dengan orang lain.

Dari pengalaman saya, ucapan Katz tidak salah. Ketika saya memaksakan diri ngomong ke teman saya bahwa saya sedih ketika mereka tidak merespon telepon, pesan , atau rencana nongkrong bareng, mereka biasanya langsung meminta maaf dan menjelaskan kenapa mereka sedang sibuk dengan hidup mereka sendiri.

“Memang butuh banyak keberanian untuk bisa jujur dengan orang seperti itu, tapi ini sangat perlu dilakukan,” kata Katz. Menurutnya, salah satu bentuk pertemanan yang paling dalam adalah ketika orang bisa saling curhat ketika sedang hancur. “Teman-teman yang pernah melihat saya hancur ataupun sebaliknya adalah orang-orang yang akhirnya menjadi teman dekat,” katanya. “Ini sangat sulit dilakukan, tapi kita bisa menggunakan rasa kesepian kita untuk berhubungan dengan orang lain.”