Ratusan Nama Orang Superkaya Indonesia di Surga Pajak Bisa Terungkap Berkat Paradise Papers

Tiga orang Indonesia disebut dalam bocoran dokumen Paradise Papers. Sayangnya hasil liputan investigatif ratusan jurnalis dalam wadah International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) ini tidak memicu kehebohan di Tanah Air. Bocoran data firma hukum Appleby itu karena kalah gaungnya dari pemberitaan pernikahan anak perempuan Presiden Joko Widodo. Padahal bocornya Paradise Papers seharusnya bisa menggugah pemerintah memperbaiki sistem pajak. Persis seperti saat April tahun lalu ICIJ sukses merilis ‘Panama Papers’ yang disusul kebijakan Amnesti Pajak.

Prabowo Subianto, Hutama Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek Soeharto, dalam Paradise Papers disebut memiliki perusahaan cangkang di surga pajak Pulau Bermuda Sebelumnya, tahun lalu, Sandiaga Uno masuk dalam daftar Panama Papers.

Videos by VICE

Ditjen Pajak bergerak cepat, menyatakan segera memeriksa kembali laporan pajak nama-nama tersebut. “Semua informasi dari berbagai sumber akan kami pertimbangkan,” ujar juru bicara Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama saat dikontak Bloomberg. “Kami akan mencari detail laporan tersebut dan akan memeriksa kepatuhan pajak mereka.”

Di luar negeri, dampak dari liputan Paradise Papers sudah menggoncang reputasi nama-nama pesohor. Mulai dari Bono, Ratu Elizabeth, Menteri Perdagangan Amerika Serikat Wilbur Ross, hingga Raja Salman. Begitu pula alasan nama-nama anggota politbiro Partai Komunis Cina, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, serta mantan perdana menteri Jepang yang turut masuk dalam Paradise Papers. Sejauh ini, liputan ‘Paradise Papers’ menemukan nama lebih dari 120 politikus berbagai negara sebagai pemilik perusahaan cangkang di negara-negara surga pajak.

John Christensen, Direktur Tax Justice Network menyatakan bocoran dokumen ribuan data investasi offshore itu hanya awal dari insiatif bersama untuk menyeret orang-orang superkaya supaya taat hukum. “Persoalan pengemplangan pajak ini adalah masalah sistemik, persoalan global. Banyak dari elit-elit superkaya berbagai negara menempatkan hartanya di offshore sejak sekian dekade lalu, demi menghindari kewajiban membayar pajak, bisa juga untuk menyembunyikan aktivitas kriminal,” urai Christensen kepada VICE. “Semua ini hanya puncak gunung es dari masalah lebih besar.”

Mengapa orang-orang kaya, termasuk di Indonesia, gemar melakukan investasi di negara-negara suaka pajak? Apakah murni investasi atau demi menghindari pajak? “Sulit mengetahui legal atau tidaknya sebuah perusahaan cangkang,” ujar Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA). “Ini soal etika dalam investasi dan pembayaran pajak.”

VICE Indonesia berbincang dengan Prastowo untuk mengetahui apakah Indonesia bisa mencegah pengemplangan pajak, dan kira-kira berapa lagi nama orang Indonesia yang masuk Paradise Papers.

VICE Indonesia: Mengapa investasi di surga pajak ini populer sekali di kalangan pebisnis dan pejabat? Apakah sejak awal niatnya menghindari pajak?
Yustinus Prastowo: Pertama memang karena motif seperti berinvestasi kemudian ada fasilitas tak perlu kena pajak, ada juga motif investor sejak awal tidak ingin membayar pajak. Seharusnya ini menjadi otokritik buat pemerintah. Sistem hukum kita kurang luwes dibandingkan negara-negara tax haven. Negara tax haven itu memberi kelonggaran hukum tapi juga menjamin proteksi aset investasi sehingga investor merasa nyaman. Jadi ada yang salah dengan sistem hukum keuangan kita.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia mencegah penghindaraan pajak seperti ini?
Pemerintah bisa mengandalkan Automatic Exchange of Information (AEOI) yang sudah diratifikasi oleh 35 negara OECD. Kalau tidak salah pemerintah Indonesia akan mengimplementasikannya tahun depan. Dengan adanya pertukaran informasi secara otomatis ini maka secrecy jurisdictions yang dianut negara-negara tax haven jadi tidak berlaku. Peta keuangan global akan berubah. Bagi negara-negara yang menolak ratifikasi AEOI akan ada sanksi dikucilkan dan di-blacklist karena dianggap mendukung praktik pengemplangan pajak. Namun saya yakin nantinya akan muncul skema-skema pengemplangan pajak baru.

Pemerintah harus memperkuat aturan domestik dan sistem deteksi dini terutama melalui AEOI. Kita harus memahami motif kenapa mereka memilih offshore investment. Kalau mereka lebih memilih offshore, berarti ada yang salah dengan sistem perpajakan kita kan? Pemerintah bisa memberikan insentif, seperti kelonggaran investasi, penurunan tarif pajak, perbaikan iklim investasi, dan perbaikan hukum yang transparan.

Offshore investment bisa jadi legal dan ilegal, bagaimana cara agar kita memastikan tak ada aturan hukum dilanggar?
Dalam konteks bisnis, offshore investment tidak melanggar hukum. Karena hukum kita sendiri juga tidak melarang itu. Namun dari konteks hukum perpajakan ini jadi pertanyaan. Offshore investment ini seperti cara legal namun tidak etis, jika tidak bisa dibilang curang. Jadi ini sangat abu-abu, makanya banyak dimanfaatkan. Secara hukum internasional juga belum ada standar apakah offshore investment ini legal atau ilegal.

Apakah Amnesti Pajak bisa mencegah penghindaraan pajak?
Saya rasa sulit. Target pencapaian pajak saja sulit dikejar. Beberapa orang takut kena penalti. Seharusnya ada opsi lain misalnya pengurangan denda atau penalti.

Kebanyakan elit yang disebut bisa berdalih investasi ini inisiatif manajer investasi Apakah sudah saatnya ada hukum untuk mengawasinya?
Kita sudah memiliki banyak aturan soal manajer investasi, ada dari OJK dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK). Permasalahannya kan cuma ada di soal transparansi.

Perusahaan cangkang seperti Humpuss milik Tommy Soeharto sudah berinvestasi di surga pajak sejak 1997. Apakah adanya Paradise Papers ini masih ada dampaknya buat Indonesia?
Kalau dalam konteks Amnesti Pajak, aset pajak itu masih bisa dikejar. Jadi ada dampaknya. Pemerintah punya waktu sampai Juni 2019 untuk mengejar aset dari tahun 1985. Tapi kenapa baru sekarang pemerintah akan menginvestigasi? Ini soal ketersediaan data. Sebelum ada Paradise Papers pemerintah kesulitan dalam melacak dan memiliki data pajak di luar negeri. Kita belum ada sinergi antara lembaga pemerintah. Sebelum ada pertukaran informasi otomatis, lembaga pemerintah seperti PPATK misalnya, harus memiliki data konkret dulu terkait dugaan pencucian uang atau tax evasion kepada negara terkait. Jadi semua harus by request. Data tersebut dulu tidak otomatis diberikan, harus ada permintaan resmi dari pemerintah.

Kesimpulannya, mungkinkah pengungkapan data ini bisa meningkatkan ketaatan pajak orang superkaya Indonesia?
Tergantung komitmen dan konsistensi pemerintah. Kalau serius mau mengejar aset pajak satu per satu saya rasa bisa menimbulkan efek jera. Prediksi saya ada ratusan nama pengusaha Indonesia nantinya yang ada di Paradise Papers.