Ratusan masyarakat Bali yang tergabung dalam Front Demokrasi Perjuangan Rakyat Bali (FRONTIER Bali) dan Komunitas Bali Tolak Rapid menyuarakan penolakan atas kebijakan wajibnya tes cepat dan tes swab Covid-19 di Denpasar, Bali. Menamai aliansinya sebagai Masyarakat Nusantara Sehat (Manusa), massa melakukan pawai dari Lapangan Timur menuju Monumen Bajra Sandi Renon, Kota Denpasar, pada Minggu (26/7).
Massa menilai, hasil non-reaktif dan negatif pada tes cepat dan tes swab tidak menjamin seseorang bebas corona. Sehingga mewajibkannya sebagai syarat berkegiatan dianggap pendemo tidak masuk akal.
Videos by VICE
Sekretaris Jenderal (Sekjen) FRONTIER Bali Made Krisna Dinata menjelaskan kebijakan tes serba wajib tersebut dinilai sarat kepentingan bisnis.
Aksi ini dipicu beberapa kebijakan pemerintah setempat. Aksi ini dipicu oleh beberapa kebijakan. Pertama, Surat Dinas Pariwisata Bali No. 556/2782/IV/Dispar tentang Sertifikat Tatanan Kehidupan Era Baru. Isinya mewajibkan karyawan perusahaan pariwisata melakukan tes cepat dengan biaya sendiri. Jika karyawannya sehat semua, perusahaan pariwisata tersebut akan dapat sertifikat new normal dan diizinkan beroperasi.
Lalu, ada surat edaran Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali No. 443.33/6463/P2P/2020 tentang pelaku perjalanan. Dalam kebijakan tersebut, setiap orang yang mau melakukan perjalanan di dalam Bali harus menunjukkan bukti rapid test non-reaktif.
Gubernur Bali melengkapinya dengan Surat Edaran No. 3355/2020 yang mewajibkan tes cepat dilakukan oleh penghuni kos, vila, kontrakan; pedagang pasar tradisional; serta pengelola destinasi wisata, wisata perjalanan, hotel, dan restoran.
Pernyataan PDS PATKLIN yang dikutip Krisna bersumber dari surat bernomor 166/PP-PATKLIN/VII/2020 pada 6 Juli lalu untuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Dalam surat tersebut, mereka memang menyarankan tes cepat dan tes PCR tidak dijadikan syarat berkegiatan karena tingkat validitasnya mentok di 80 persen (patolog lain mengatakan validitasnya sampai 90 persen). Hasil tes PCR yang baru keluar 3 hari sampai 2 minggu setelah tes juga dianggap menyulitkan calon penumpang.
PDS PATKLIN lantas menyarankan pemerintah memakai tes cepat molekuler (TCM) menggunakan saliva (ludah) untuk calon penumpang di setiap stasiun dan bandara. Selain itu, imbauan penerapan protokol kesehatan ketat seperti pakai masker dan menjaga jarak juga diminta jadi keharusan.
Juru Bicara Gugus Tugas Kota Denpasar Dewa Gede Rai menanggapi aksi unjuk rasa dengan menyayangkan bagaimana protokol kesehatan terlihat tidak diterapkan massa aksi.
“Ya ini kan tentu kami Gugus Tugas Denpasar dalam upaya untuk menggencarkan dalam upaya penanganan Covid-19 dengan penerapan protokol kesehatan tentu menyayangkan, seperti mengabaikan penggunaan masker kemudian tidak memperhatikan protokol physical distancing yang diatur dalam protokol kesehatan,” kata Dewa kepada Detik.
Dewa mengatakan, unjuk rasa enggak akan mengubah prosedur pencegahan covid-19 di Bali sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dan surat edaran pemprov.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Deng M. Faqih menanggapi unjuk rasa dengan menjelaskan tes cepat dan swab masih jadi cara memutus rantai penularan Corona secara tepat.
“Swab test itu untuk pemeriksaan. Selama itu menjadi standar dalam upaya deteksi cepat, itu sangat bermanfaat dalam penemuan kasus kemudian segara dilokalisir supaya tidak menularkan ke yang lain. Di semua negara tindakan seperti itu dilakukan. Yang penting, ada pengaturan yang baik,” Daeng kepada Detik.
Saat ini ada tiga jenis deteksi virus corona yang dipakai di Indonesia, yakni tes cepat, tes PCR, dan TCM. Tes yang terakhir umumnya digunakan untuk mendeteksi penyakit tuberkulosis. Untuk mendeteksi virus corona, pengaturan mesin TCM diubah dengan memasang cartridge khusus.
TCM memiliki kelebihan bisa memproses tes secara cepat. Menurut laporan Kumparan di RS Darurat Wisma Atlet, TCM bisa dilakukan dalam durasi 45-60 menit, jauh lebih cepat dibandingkan tes PCR yang butuh tiga hari. “Ini [_cartridge_ Covid-19 untuk TCM) sudah kami distribusikan untuk memperpendek waktu tunggu pemeriksaan spesimen,” kata Achmad Yurianto 4 Mei lalu.
Namun, April lalu pakar kesehatan masyarakat Dono Widiatmoko mengatakan kepada Alinea bahwa ia ragu TCM tuberkulosis bisa efektif mendeteksi Covid-19. “Alatnya sebagian mungkin bisa digunakan, tetapi reagen dan teknik, belum tentu sesuai untuk tujuan tes Covid-19.”
Masih kepada Alinea, Guru Besar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany memandang mesin TCM yang hanya diproduksi perusahaan Amerika GeneXpert bisa jadi hambatan. “Hal ini membuat Pemerintah Indonesia akan sulit mendapatkannya karena saat ini angka warga positif terjangkit di Amerika sangat besar.”
Ketua Satgas Covid-19 IDI Zubairi Djoerban juga mengomentari masyarakat yang menentang kebijakan terkait covid-19 sebagai bentuk kesalahpahaman,
“Jadi itu karena salah paham masyarakat, itu terjadi di mana-mana pada waktu wabah atau disangka wabah yang menakutkan masyarakat. Itu terjadi juga pada waktu HIV. Intinya, sikap masyarakat yang salah karena salah pemahaman,” kata Zubairi dilansir Detik.