Sebuah danau glasial kecil kawasan pegunungan tertinggi di dunia rupanya sekaligus lokasi kematian misterius yang terjadi selama lebih dari 1.000 tahun terakhir, berdasarkan sebuah penelitian yang baru saja terbit.
Danau Roopkund lebih akrab dijuluki “Danau Tulang Kerangka” karena memang secara harfiah berisi ratusan kerangka manusia. Fenomena di danau tersebut mengherankan warga sekitar selama puluhan tahun. Terletak 16.400 kaki di atas permukaan laut, danau tersebut ditemukan pada dekade 1940’an oleh penjaga hutan. Sebenarnya mereka bukan yang pertama. Para penjelajah kuno yang belulangnya tertinggal di situ sudah menemukan Roopkund terlebih dulu.
Videos by VICE
Tidak ada yang mengetahui penyebab kematian ratusan manusia di lokasi yang amat terpencil tersebut. Sampai sekarang, spekulasi terpopuler menduga satu millenium yang lalu hujan es brutal memusnahkan penjelajah dekat danau. Kejadiannya ditaksir pada 800 SM, yang menjelaskan patahan yang terdapat pada sejumlah tulang. Hujan es mematikan berpotensi menjelaskan kematian sebagian korban. Namun penelitian terbaru mengungkap bila semua korban tewas di dekat danau pada waktu berbeda, selama berabad-abad.
Dalam sebuah kajian yang terbit di jurnal Nature Communications, tim diketuai Éadaoin Harney, calon S3 biologi evolusioner di Harvard University, menganalisa DNA dari 38 kerangka dari danau tersebut. Berdasarkan analisisini, diketahui korban tewas di waktu yang berbeda-beda di danau ini, mencakup satu kejadian pada akhir abad ke-19.
“Kami menemukan fakta bahwa kerangka di Danau Roopkund berasal dari tiga kelompok genetik berbeda, yang tewas pada waktu berbeda,” kata Harvey. “Penemuan ini menyangkal teori sebelumnya bahwa kerangka di Danau Roopkund berasal dari periode waktu yang sama.”
Populasi manusia paling kuno yang tewas di Danau Roopkund disebut sebagai Roopkund_A, yang terdiri dari 23 laki-laki dan perempuan keturunan Asia Selatan. Mereka tewas sekitar 1.200 tahun lalu. Selain itu, teknologi radiokarbon membuktikan kematian mereka tidak disebabkan badai es tunggal seperti yang sebelumnya diteorisasi.
Sejumlah individu Roopkund_A diperkirakan tewas sepanjang kurun 675-769 SM hingga 894-985 SM. Perbedaan antara kedua kurung waktu tersebut berarti “individu-individu ini tidak mati secara bersamaan.”
Tim yang dipimpin Harvey kemudian menemukan populasi kedua yang diberi nama Roopkund_B. Kelompok ini tewas hanya beberapa abad lalu, sekitar Tahun 1800. Kelompok ini termasuk 14 laki-laki dan perempuan keturunan Mediterania Timur, yang secara genetik mirip penghuni Pulau Crete di Yunani. Populasi ketiga terdiri dari hanya satu orang, Roopkund_C, yaitu laki-laki keturunan Asia Timur yang tewas secara bersamaan dengan Roopkund_B.
“Studi kami mendalami misteri Roopkund,” ujar Niraj Rai selaku penulis studi ini dan ketua Laboratorium DNA Kuno di Birbal Sahni Institute of Palaeosciences di India. Berkat studi ini, para peneliti berhasil menyingkirkan “spekulasi populer tentang asal-usul individu-individu Roopkund,” kata Niraj.
Contohnya, pada dekade 50an, tersebar teori bombastis yang mengklaim kerangka-kerangka di Danau Roopkund berasal dari pasukan jendral Zorawar Singh Kahluria yang tewas saat berupaya menduduki Tibet pada 1841. Namun, teori ini bertentangan dengan adanya kerangka perempuan di situs kejadian, yang kemungkinan besar tidak mengikuti ekspedisi militer.
Teori hujan es masih dapat dipercaya, dan tim Harvey berencana memeriksa tengkorak para korban dalam studi berikutnya, kata Niraj.
Masih belum diketahui jelas bagaimana populasi-populasi manusia ini bisa tewas di lokasi yang sangat sulit dijangkau. Tapi ada satu teori menarik. Danau Roopkund terletak di rute ziarah Nanda Devi Raj Jat. Rute ini tercatat sudah ramai sejak 1.200 tahun lalu. Artinya, mereka yang tewas lewat daerah terpencil ini untuk melaksanakan peribadatan. Teori tersebut yang sementara paling masuk akal, terutama bagi kematian jasad-jasad kategori Roopkund_A.
Kematian populasi lainnya yang lebih sulit dijelaskan. Studi ini menyimpulkan populasi keturunan Mediterania, tampaknya tidak sekeluarga. Mereka kemungkinan besar lahir di bawah rezim Kekhilfahan Ottoman, lalu atas alasan yang sumir melewati himalaya dan mati di pinggir danau itu.
“Berdasarkan kajian makanan, yang dikonsumsi kerangka korban di kluster B yang bersifat terestrial bukan berbasis laut. Kemungkinan besar mereka tinggal di lokasi pedalaman, lalu menjelajah dan mati di Himalaya,” kata Harvey. “Masih belum diketahui apakah mereka sedang berziarah atau melakukan perjalanan ke Danau Roopkund untuk alasan lainnya.”
Danau Roopkund terus diselimuti misteri. Meskipun lokasi tersebut telah dijadikan destinasi wisata yang menarik penyelam, rahasia kematian jasad-jasad di sana masih belum berhasil terbongkar.
Artikel ini awalnya dimuat di Motherboard