Rentetan ritual “tujuh belasan” pasti marak sepanjang Agustus di negara ini. Pasang bendera dan spanduk merah putih di jalan maupun depan rumah, mengecat gapura, sampai menggelar lomba untuk anak sampai orang dewasa. Kalau masih sekolah, momen perayaan kemerdekaan pasti diisi upacara bendera.
Tak terasa Indonesia kini merayakan ulang tahunnya yang ke-74. Kalau dipikir-pikir sebenarnya pendahulu kita jago juga ya. Bisa menyatukan perjuangan kedaerahan menjadi satu gerakan nasional menghilangkan semua anasir kolonial—baik dari Belanda dan Jepang sekaligus. Padahal kita sekarang yang sudah merdeka kadang masih ribut dan bisa gontok-gontokan akibat perbedaan pilihan calon pemimpin, idola, sampai makanan favorit. Semua tema bisa jadi bahan ribut di medsos.
Videos by VICE
Melihat kondisi sekarang, tampaknya kita perlu berkaca sama medium yang bisa mengingatkan kita tentang makna kemerdekaan: buku dan film. Sebab, dua produk kebudayaan itu konsisten menelaah proses kemerdekaan bangsa ini. Sudah banyak karya buku nonfiksi menyajikan sejarah yang kaya perspektif tentang situasi jelang kemerdekaan. Sementara fiksi, buku ataupun film, mengolah batin kita lewat sarana visual untuk mengimajinasikan (sekaligus menggugat) makna menjadi merdeka.
Buat kalian yang juga sama penasarannya kayak aku, rasanya menarik ya mempelajari apa saja buku atau film yang bisa memperkaya pemahaman kita tentang makna kemerdekaan. Supaya menemukan jalan yang benar, aku menghubungi dua pemerhati jempolan.
Untuk daftar buku, aku meminta saran Muhammad Iqbal—pemerhati sejarah, dosen, sekaligus editor penerbitan Marjin Kiri. Dia sebelumnya pernah menulis esai menarik dengan metode kontrafaktual, untuk menanyakan satu gagasan menggelitik: “Andai proklamasi 17 Agustus 1945 tak pernah terjadi.“
Sementara buat rekomendasi tontonan, aku menghubungi Hikmat Darmawan, kritikus sekaligus Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta. Film-film pilihannya sangat menarik, karena sinema yang terbaik memaknai kemerdekaan tak selalu yang berlatar perang dan glorifikasi simbol bambu runcing atau merah putih.
Berikut rekomendasi mereka untuk pembaca VICE sekalian:
Buku
Nonfiksi
‘Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia’ – George McTurnan Kahin
Jangan mengernyitkan dahi bila kajian sejarah terbaik membahas kemerdekaan Indonesia justru ditulis akademisi mancanegara. Faktanya memang hampir 90 persen karya ilmiah awal seputar kemerdekaan republik ini ditulis oleh peneliti asing. Berkat persahabatannya dengan Sutan Syahrir dan Bung Hatta, buku legendaris yang terbit 1952 ini ditulis lewat pengalaman tanpa jarak. Kahin dulunya adalah seorang eks Sersan Angkatan Darat Amerika Serikat yang pensiun dan mengabdikan dirinya kuliah pascasarjana, belajar kepada pakar Asia terkemuka Owen Lattimore. Karya ini dapat memberi kalian perspektif kemerdekaan dari seseorang yang dekat dan mencintai figur-figur legendaris Indonesia.
‘Revolusi Pemuda’ – Benedict Anderson
Kalau Profesor Kahin menulis karya yang sangat dekat dengan golongan tua, Ben Anderson (murid langsung Kahin di Cornell University) lebih mengamati manuver anak muda menjelang kemerdekaan. Anderson mengamati sinergi dan strategi para pemuda yang menyebarkan semangat perjuangan. Semangat kemerdekaan tersebut secara tidak langsung tumbuh ketika para pemuda Indonesia digembleng membantu Jepang melawan sekutu. Salah satu momen paling krusial peran pemuda adalah ketika mereka memaksa Sukarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dalam insiden Rengasdengklok.
‘Runtuhnya Hindia Belanda’ – Ong Hok Ham
Karya mendiang sejarawan asli Suroboyo ini amat telaten mengupas alasan munculnya negara-bangsa baru bernama Indonesia. Adaptasi skripsi Ong Hok Ham ini memandang kemerdekaan republik sebagai hal yang didorong banyak faktor eksternal. Terutama pergerakan Nasional yang terjadi di sekitaran Asia yang memicu semangat kebebasan masing-masing bangsa—termasuk kejatuhan kolonial Hindia Belanda.
Fiksi
Tetralogi Pulau Buru – Pramoedya Ananta Toer
Apabila kuartet novel Pramoedya, utamanya Bumi Manusia, sering diagung-agungkan pecinta sastra Indonesia, alasannya sederhana. Karena memang karya ini keren. Kisah cinta antara Minke dan Annelies Mellema ini bukan sekadar potret hubungan anak muda. Cerita ini menggambarkan perjalanan pribumi ningrat Jawa yang awalnya terpukau modernitas Barat, lantas sadar akan kebejatan hukum kolonial, dan kelak menjadi tokoh yang mengobarkan nasionalisme lewat media massa. Buku ini masuk kategori wajib dibaca sebelum mati.
Film
Naga Bonar (1987)
Selain terkenal karena komedinya yang tetap lucu sampai sekarang, film yang mengangkat seorang karbitan Jendral menjadi copet ini membuat kita memikirkan lagi apa arti kata kemerdekaan. Meskipun awalnya diberi jabatan tinggi dengan cuma-cuma, Naga (tokoh utama film) berhasil membuktikan nilai dirinya dan juga meraih kemerdekaan yang sesungguhnya.
Yang Muda Yang Bercinta (1977)
Apabila kalian meng-google judul film ini, jangan kaget kalau yang pertama muncul justru rekomendasi sinetron! Meski berjudul sama, Yang Muda Yang Bercinta dalam rekomendasi kali ini adalah film produksi 1977, dibintangi penyair legendaris W.S Rendra. Film in menceritakan tentang ketimpangan sosial yang cukup lebar pada era Orde Baru. Sutradara Sjumandjaja mampu menyajikan refleksi kritis tentang dikotomi feodalisme dan kebebasan, serta kemiskinan dan kekayaan dalam balutan kisah cinta anak muda. Langkah yang berani, mengingat rezim OrBa melarang semua jenis penyajian wacana “pertentangan kelas”.
Turah (2016)
Terinspirasi kemiskinan yang dialami masyarakat Kampung Tirang, Tegal, Jawa Tengah, sutradara Wicaksono Wisnu Legowo tergerak membuat film tentang mereka. Kondisi masyarakat setempat memaksa penonton merenungkan lagi glorifikasi kemerdekaan Indonesia. Film ini mengajak kita menghadapi musuh baru di alam yang konon sudah merdeka: pengisapan kelas buruh dan ketimpangan ekonomi yang mencabik harga diri manusia.
Ziarah (2016)
Ziarah ke makam keluarga adalah budaya wajib bagi orang Jawa—apalagi jika itu makam pasanganmu sendiri. Itulah yang dilema yang dihadapi Mbah Sri (tokoh utama film), perempuan sepuh ini bertekad mencari makam suaminya yang pamit tanpa kembali untuk mengikuti perang kemerdekaan. Dalam film ini kita mengikuti perjalanan dan tragedi Mbah Sri untuk menjumpai peristirahatan terakhir sosok yang dia nantikan kepulangannya.
Tjokroaminoto: Guru Bangsa (2015)
Meski terlahir dalam keluarga bangsawan, Raden Oemar Said Tjokroaminoto tidak tinggal diam saja melihat kesenjangan sosial dan kemiskinan rakyat sekitar tempat tinggalnya. Ia akhirnya meninggalkan status kebangsawanannya, menyerap pengalaman mereka. Dia menjadi kuli bangunan demi memahami kesusahan kaum jelata. Film tentang pendiri organisasi Sarekat Islam yang menjadi motor organisasi bumiputera mula-mula, serta menggambarkan proses kebangkitan nasional tokoh pergerakan bangsa.