Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.
Tatkala Cristiano Ronaldo menggenapi hat-trick terbarunya dalam laga lawan Atletico Madrid, melesaka bola lima yard dari depan gawang di saksikan lautan pendukung berkaos putih di Santiago Bernabeu, Atletico Madrid meradang. Rekor kekalahan derby Los Rojiblancos baru saja diperpanjang. Meski masih menyimpan sedikit asa bahwa Atletico bakal menggasak Real dalam pertandingan kedua di Vicente Calderon, suporter Atletico tahu benar bahwa Real Madrid sekali lagi mengacaukan harapan mereka di kompetisi Eropa. Setelah ditaklukan oleh Ronald dkk dalam final Liga Champions tahun 2014 dan 2016, Atletico baru saja menambah catatan buruknya dalam derby Madrid di level Eropa. Sejak gelaran Liga Eropa tahun 1959, Atletico sudah dipecundangi oleh Real Madrid selama enam kali berturut-turut. Kalah dua kali dalam final Liga Champions dari satu klub saja sudah pedih, apalagi jika skuad yang menaklukan Atletico adalah klub satu kota. Pedih saja tak cukup menggambarkan rasa sakit yang dialami fans Atletico,
Videos by VICE
Meski catatan kalah derby di liga Eropa adalah salah satu rangkaian kalah derby paling dramatik, Atletico bukan satu-satunya tim yang punya catatan buruk ketika bertemu musuh bebuyutan mereka. Partai paling seru dalam La Liga, El Clasico yang mempertemukan Barcelona dan Real Madrid, memang kelihatan lebih imbang belakangan. Sampai sekarang, Real Madrid masih unggul tipis 93 kemenangan dari Barca yang mengantongi 91 kemenangan sejak keduanya pertama kali bertemu di tahun 1929. Meski terlihat imbang, Blaugrana pernah mempunya rekor jeblok kalah tujuh kali berturut dalam El Clasico dari bulan januari 1932 sampai Februari 1935, runtutan kekalahan ini yang kemudian pemicu sengitnya perseteruan antara Barcelona dan Los Blancos. Meski akhirnya Barca berhasil mengakhiri catatan buruknya dengan kemenangan legenderasi 5-0 di Camp de Les Corts, mereka lagi-lagi dipecuncangi Los Blancos di gelaran Copa del Presidente de la República tahun 1936. Setelah itu, catatan kekalahan Barca terhenti sejenak. Semua kompetisi sepakbola dihentikan lantaran perang saudara Spanyol yang meletus pada tanggal 7 Juli 1936.
Selepas perang, keberuntungan Barcelona tak kunjung berubah. Dari bulan september 1962 sampai Desember 1965, Barcelona keok di tangan Madrid dalam 6 pertandingan Liga Spanyol berturut-berturut. Ini adalah masa ketika Real Madrid diperkuat oleh Ferencs Ferenc Puskás serta Alfredo Di Stéfano dan jadi kesebelasan kesayangan pemenang Perang Sipil Spanyol, diktator Francisco Franco. Alhasil, catatan buruk ini terasa lebih pahit dari semestinya bagi para penggemar Barcelona. Kini, suporter Blaugrana setidaknya bisa menenangkan diri karena hanya segelintir orang saja yang cukup tua untuk mengungkit-ungkit catatan jelek Barca ini. Hal sama tak bisa dirasakan oleh fans Madrid. Mereka—dan banyak orang lainnya—masih ingat runtutan kekalahan mereka saat menghadapi Barca yang terjadi dalam kurun waktu antara bulan Desember 2008 dan April 2012. Kendati sudah jor-joran membeli pemain mahal, Los Blancos kalah dalam lima partai El Clasico secara berturut-turut. Malah kalau mau ditotal, Madrid kalah dalam tujuh kali pertemuan di kurun waktuyang sama. Tak aneh, jika kemudian Madrid harus memecat dua manager—Juande Ramos and Manuel Pellegrini. Madrid juga disingkirkan oleh rival mereka dari Catalan dari kompetisi Supercopa de España dalam pertandingan dua leg, meski sebelumnya Madrid sempat mempecundangi skud asuhan Pep Guardiola dalam final Copa Del Rey.
Di level Eropa, ada beberapa catatan kalah derby berturut yang cukup menonjol. Dalam catatan sejarah Der Klassiker, sebutan untuk partai Bayern Munich melawan Borussia Dortmund, Dortmund tercatat tak pernah menang mulai Maret 1998 sampai April 2003. Selama prosesnya, gawang Dortmund kebobolan sebanyak 23 kali dan mereka harus menjadi penonton ketika seterunya memenangkan tiga gelar Bundesliga dan satu gelar Liga Champions. Tak jauh dari perbatasan Jerman dan Inggris, di tempat Der Klassieker yang mempertemukan Feyenoord dan Ajax, klub yang disebut pertama tak pernah berhasil menaklukan seterunya dalam 12 partai Eridivisie selama lima tahun penuh, sebelum milenium berganti. Raihan jelek Feyenord berakhir dengan agregat gol 35-9 untuk Ajax, sebuah hinaan yang tak berperi bagi Feyenord.
Dalam laga panas di Liga Italia yang berjuluk Derby della Capitale, sebuah kemenangan saja—entah itu untuk Lazio atau AS Roma—bisa berubah menjadi kericuhan, demonstrasi, tawuran di luar Stadio Olympico. Mengingat betapa sengitnya rivalitas klub kota Roma ini, rasanya susah membayangkan apa yang dirasakan fans lazio ketika pada sebuah pertandingan di bulan Januari 2005, klub kesayangan mereka telah tercatat kalah 10 kali dari seterunya AS Roma. Tren kalah derby ini berlangsung dari tahun 2000. Sebelum itu, capaian Lazio dalam derby Roma cemerlang: mereka tak terkalahkan dalam sepuluh kali pertemuan. Sebenarnya, dikurun waktu yang sama, head to head kedua klub terhitung imbang. Kedua kesebelasan pernah saling menyingkirkan satu lain di Coppa Italia. Masing memenangkan satu gelar seri A setidaknya satu kali. Jadi, bisa dibilang pada masa itu, Roma dan Lazio terhitung sama-sama kuat.
Catatan jeblok berturut dalam partai derby juga gampang ditemui di Inggris. Di kasta bawah kompetisi sepakbola di Inggris, Burnley, Wolves dan Crystal pernah gagal dipencundangi berurutan Blackburn, West Brom dan Brighton & Hove Albion dalam 11 pertemuan beruntun. Catatan derby Oxford United malah lebih parah lagi. Dari Oktober 1973 dan April 1982, skuad Oxford United ditekuk oleh Swindon Town dalam 12 laga derby beruntun. Pun, raihan ini masih lebih baik dari raihan Sheffield United. The Blades—julukan Sheffield—selalu dikandaskan Sheffield Wednesday dalam 13 pertemuan berturut-turut dari tahun 1910 hingga awal 2016. Namun, catatan buruk ini segera terlupakan karena Battle of the Somme, salah satu pertempuran yang mengawali Perang Dunia I berkecamuk di tahun 1916, dari tanggal 1 Juli sampai 18 November. Mungkin, bagi para Suporter di Bramall Lane—kadang Sheffield United—catatan buruk kalah 13 kali oleh Sheffield Wednesday tak ada setai kukunya jika dibanding kengerian Perang Dunia I yang sudah di ambang pintu.
Jika kita menengok catatan keok di derby yang lebih “kekinian”, maka kita akan catatan kalah derby Everton yang memilukan di dekade 80an. Dari 32 laga derby Merseyside, Everton cuma bisa mengungguli musuh satu kotanya Liverpool di lima laga saja. Sebagai catatan, kurun waktu dekade 80an bukan masa-masa jebloknya The Toffes. Sebaliknya, kesebelasan itu sedang jaya-jayanya di bawah panduan Howard Kendall. Everton bahkan berhasil memenangi gelar liga Inggris di dua musim kompetisi: 1984-85 dan 1986-87. Bagi fans Everton, jarangnya klub sayang mereka mengalahkan Liverpool masih bisa ditolerir, tapi bahwa The Reds mengalahkan Everton di partai-partai penting, itulah yang menyesakkan. Everton di kancah sepakbola domestik Inggris punya nasib serupa Atletico Madrid akhir-akhir ini. The Toffees gagal meraih gelar FA Cup tahun 1986 dan 1989 serta terjungkal di partai final Piala Liga tahun 1984 oleh satu klub yang sama, Liverpool.
Setidaknya, fans Everton sudah terbiasa melihat timnya keok ketika berhadapan dengan Liverpool. Satu dekade sebelumnya, tepatnya antara kurun waktu Maret 1972 sampai Oktober 1978, mereka keok dalam 15 partai derby beruntun. Capaian ini masih kalah dengan hasil yang raihan The Citizen dalam derby Manchester selama dekade 90an dan awal dekade 2000an. Dalam 16 pertemuan dengan Manchester United antara bulan Februari 1990 sampai 2001, skuad City harus pulang membawa kekalahan. Dengan demikian, The Citizen pernah selalu kalah dari Manchester United selama satu dekade penuh, sebuah fakta menyakitkan yang selalu diungkit-ungkit fans Setan Merah.
Uniknya, semua catatan buruk yang sudah dipaparkan di atas masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan rekor buruk kalah derby Spurs pada dekade 90-an dan 2000-an. Totenham Hotspurs pernah mencatatkan rekor kalah derby dalam 26 pertandingan beruntun melawan Chelsea. Hanya satu kesebelasan di Inggris yang mendekati “prestasi” derby Spurs. Hibernian—nama klub itu—dikalahkan Hearts dalam 22 partai derby yang terjadi antara April 1989 sampai April 1994.
Dari 22 kekalahan tersebut, tujuh di antaranya, Hibernian harus kalah karena kebobolan satu gol saja, sesuatu yang pasti bikin hati pendukung mereka tersayat. Dalam hal menjaga hati pendukung, Totenham Hotspurs memang jauh lebih piawai. The Lilywhites punya resep khusus untuk menjaga perasaaan fansnya. Dalam partai-partai derby melawan Chelsea di dekade 90-an, Spurs dengan legowo membiarkan gawangnya kebobolan berkali-kali dari awal pertandingan. Alhasil, fans mereka sampai tak siap jika Spurs meraih kemenangan.