Andai wabah Covid-19 tidak menyerang dunia seperti yang terjadi beberapa bulan terakhir, Debryna Dewi Lumanauw mungkin sudah berada di gugus kepulauan Banda Neira, Provinsi Maluku. Itu rencana pelesir yang dia idam-idamkan sejak lama. Di sana, dia hendak menyalurkan hobi yang lama digeluti: scuba diving.
“Aku udah bayangin gimana indahnya Banda Neira: laut yang biru di mana aku bisa diving sepuasnya,” kata perempuan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Maranatha, Bandung, angkatan 2012 ini kepada VICE.
Videos by VICE
Rencana tersebut terpaksa ditunda, entah untuk berapa lama, akibat pandemi yang tengah menggila. Alih-alih ke Banda Neira, Dewi memutuskan bergabung dengan barisan relawan yang berdiri di garda terdepan penanggulangan Covid-19.
Per 26 Maret kemarin, dia resmi bertugas di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat, yang telah disulap pemerintah menjadi rumah sakit darurat. “Bagiku ini sebuah panggilan,” kata perempuan 28 tahun tersebut. “Seenggaknya aku dan temen-temen bisa berkontribusi untuk meminimalisir apa yang sudah rusak supaya enggak jauh lebih rusak.”
Jalan Dewi menjadi relawan ternyata tidaklah mudah. Kedua orangtuanya sempat menolak keinginannya. Bahkan, Dewi sempat tak diajak bicara beberapa hari. Alasan mereka, sebetulnya, bisa dimaklumi oleh Dewi.
“Karena orangtuaku enggak mau aku kenapa-kenapa. Itu aja, sih,” ungkap dokter yang pernah memperoleh kesempatan beasiswa ke Harbor-UCLA Medical Center, California, ini. Setelah lobi-lobi khusus berulang kali, orangtua Dewi akhirnya memberi restu.
Jilvien gundah. Dia dihadapkan pilihan yang sulit antara fokus mengikuti ujian atau mendaftar jadi relawan dalam upaya penanggulangan COVID-19. Terlebih, sang ibu juga telah mewanti dia untuk “tidak [bertindak] aneh-aneh.”
Kegundahan itu kemudian sirna dan menjelma keyakinan bulat selepas jadwal ujiannya ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan. Inilah yang membikin dirinya mantap turun gunung demi bergabung dengan relawan lain yang ditempatkan di Wisma Atlet.
“Aku telepon mamah yang lagi di Ambon. Pagi-pagi banget [aku telpon]. Kira-kira jam setengah tujuh. Mamah cuma jawab, ‘Mimpi apa kamu semalem?’,” kenang dokter yang pernah bertugas di Belitung ini seraya tertawa. Jilvien, yang saat itu masih di Surabaya, segera memesan tiket. Pada 31 Maret, Jilvien resmi bertugas sebagai relawan.
Persoalan izin, tidak dapat dipungkiri, menjadi hal yang mengganjal keinginan para (calon) relawan berkontribusi di masa pandemi. Ian Pranadi, dokter umum lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya Jakarta, mengalami penolakan serupa dari orangtuanya.
Ian mengaku sempat dilarang ayah dan ibunya terjun langsung mengurus pasien yang terpapar virus. Orangtuanya cemas dia ikut tertular. Meski demikian, Ian berhasil meyakinkan mereka semua akan berjalan baik-baik saja. Terlebih, dengan statusnya sebagai dokter, dia merasa punya kewajiban berpartisipasi dalam kerja-kerja kesehatan—dan kemanusiaan—semacam ini.
“Sejak dulu saya memang senang dengan kegiatan-kegiatan berbasis relawan,” ucapnya ketika dihubungi VICE. “Karena saya ingin dan senang berperan [bagi orang lain dan lingkungan sekitar].”
Sama seperti dua kompatriotnya di atas, Ian bertugas di Wisma Atlet. Masa kerjanya dimulai sejak 26 Maret. Sekarang, dia sedang menjalani fase karantina diri, selepas dua minggu penuh mengabdi. Ini mengacu dengan sistem kerja relawan: dua minggu bekerja, dua minggu karantina. Para relawan diperbolehkan bertugas kembali asal fase karantina selesai.
Proses perekrutan relawan pekerja kesehatan, terutama dokter, diinisiasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pada 20 Maret 2020, IDI mengeluarkan surat meminta kesediaan para dokter, dari spesialis paru sampai umum, untuk bergabung di garda depan penanggulangan Covid-19. Syaratnya sederhana: melampirkan berkas administrasi, surat izin dari keluarga, hingga bersedia ditempatkan di mana saja guna merespons wabah.
Sedangkan pihak yang melakukan perekrutan relawan perawat, salah satunya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Akhir Maret lalu, lewat akun Instagram-nya, Anies mengunggah poster berisi ajakan bergabung di barisan relawan. Para relawan ditempatkan di seluruh rumah sakit sampai puskesmas di seluruh Jakarta.
Selain dari IDI dan Anies, pembukaan pendaftaran relawan juga ditempuh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, yang berada di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Pendaftaran dapat dilakukan melalui laman resmi mereka: Desk Perlawanan Percepatan Penanganan Covid-19 Indonesia.
Koordinator Relawan Gugus Tugas, Andre Rahadian, mengungkapkan pihaknya mengajak berbagai pihak, dari LSM sampai perguruan tinggi, untuk berkontribusi sebagai relawan. Catatan Gugus Tugas, per 16 April 2020, menyebut ada sekitar 23.472 relawan yang terdaftar.
Rekrutmen relawan didasari atas pertimbangan ketidakmampuan pekerja kesehatan yang ada dalam menanggulangi kasus yang makin banyak setiap harinya. Ketua IDI Daeng M. Faqih mengatakan tenaga kesehatan yang ada kewalahan menghadapi lonjakan pasien corona. “Ada enam jenis yang dibutuhkan jadi relawan. Kalau ditanya berapa masing-masing? Kalau bisa sebanyaknya,” ujar Faqih.
Ganjalan menjadi relawan tak berhenti sampai di masalah perizinan keluarga. Di lokasi, mereka harus mendapati kenyataan tak kalah berat, berwujud penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Bayu Purnama, perawat berusia 25 tahun asal Purwokerto, Jawa Tengah, mengatakan bahwa memakai APD perlu usaha yang besar.
“Ketika pakai APD, kita enggak boleh asal lepas gitu aja. Prosedurnya juga ketat,” tegas lelaki lulusan prodi keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) tersebut kepada VICE.
Pendapat senada turut dikatakan Jilvien yang mengaku bahwa pemakaian APD tak jarang bikin dirinya harus menahan panas sampai buang air kecil. “Pemakaiannya berat dan mesti hati-hati banget. Enggak boleh sembarangan,” ungkap perempuan 26 tahun ini.
Di tengah situasi pandemi seperti ini, APD merupakan senjata penting pekerja kesehatan. Merujuk buku pedoman yang dirilis BNPB, Rekomendasi Standar Penggunaan APD untuk Penanganan Covid-19 di Indonesia, dijelaskan pemakaian APD punya tingkatan yang berbeda-beda, tergantung siapa yang memakai dan bagaimana kondisinya. Peralatan yang ditentukan mencakup masker N95, sepatu boots, face shield, headcap, apron, sampai sarung tangan bedah karet steril sekali pakai.
Jika ketentuan ketat penggunaan APD tidak diperhatikanl, risiko para pekerja medis tertular cukup tinggi. Data Tim Gugus Covid-19 DKI Jakarta, per 11 April 2020, menerangkan terdapat lebih dari 150 pekerja kesehatan yang positif mengidapkan corona. Di Semarang, tepatnya di RSUP dr. Kariadi, muncul peristiwa yang tak kalah miris: sebanyak 46 pekerja medis terpapar virus corona. Ini belum soal puluhan dokter yang meninggal dunia akibat kena virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok, tersebut.
Para relawan bukannya abai dengan fakta itu. Ian, misalnya, menyadari bahwa dirinya—beserta pekerja medis yang lain—rentan tertular corona, mengingat mereka setiap hari mengalami kontak langsung dengan pasien.
“Rasa takut sudah pasti ada. Itu enggak bisa dipungkiri, ya,” ungkap lelaki 26 tahun itu. “Namun, kami di sini enggak punya pilihan lain. Saya selalu menekankan kepada diri sendiri bahwa saya bisa melakukannya [tugas-tugas medis].”
Sejauh ini, terdapat sekira 708 orang terkonfirmasi positif corona yang dirawat di Wisma Atlet (merujuk data per 28 April 2020). Sementara 56 masuk kategori Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan 57 lainnya tergolong Orang Dalam Pemantauan (ODP). Banyaknya pasien positif yang berada di Wisma Atlet tersebut tak pelak menjadikan kawasan ini sebagai zona merah wabah di Jakarta.
Bekerja di zona merah, sudah pasti, mendatangkan tekanan yang tak sedikit bagi para relawan. Rasa cemas, takut, hingga keterasingan muncul silih berganti, menandakan bahwa tugas ini bukanlah tugas yang main-main. Situasi bertambah pelik manakala musuh yang dihadapi masih sulit untuk diidentifikasi pergerakan maupun polanya, sekaligus belum memperlihatkan tanda-tanda penurunan.
“Kami seperti kerja dalam kebutaan. Virusnya enggak kelihatan, tapi dampaknya sangat terasa,” papar Dewi. “Mau enggak mau, akhirnya kami dipaksa jadi siap.”
Kendati demikian, ada beberapa momen yang membuat mental Dewi jatuh, dan ini tak dapat dia hindari. Bila sudah begitu, Dewi mengambil jeda sejenak, menyediakan ruang bagi fisik maupun pikiran untuk rehat, agar nantinya dia mampu kembali bekerja secara maksimal.
Bagi Dewi, eskapisme yang dipilih adalah olahraga. Di sela-sela tugas hariannya di Wisma Atlet, dia senantiasa meluangkan waktu untuk olahraga kecil-kecilan supaya tekanan yang menyerang dirinya dapat berkurang. Selain itu, dia juga berupaya tidak membahas mengenai wabah dan segala tetek bengeknya, ketika sedang berkumpul bersama teman-teman.
“Itu penting banget dalam menjaga supaya enggak stres,” tegasnya. “Karena kami enggak mau selalu ngomongin kerjaan padahal kondisinya lagi santai.”
Sementara Dewi menjadikan olahraga sebagai pelarian, maka Jielven mengambil opsi karaoke bersama rekan relawan lainnya maupun aparat keamanan yang berjaga di sana. Sepenuturan Jielven, Wisma Atlet menyediakan fasilitas karaoke yang mudah diakses bagi para penghuni di dalamnya—di luar pasien.
“Mungkin karena komandan [dari TNI] tahu anak buahnya bisa gila kalau enggak dikasih hiburan, ya,” cerita dokter yang pernah magang di RSPAD Gatot Subroto ini sembari tertawa lepas. “Enggak cuma karaoke, fasilitas [hiburan] selain itu ada juga meja ping pong.”
Ada suara kegetiran teramat saat Bayu menceritakan pengalamannya melihat pasien lanjut usia terkonfirmasi positif corona. Setiap kali mengurus mereka, yang terlihat tak berdaya di ruang isolasi, mental Bayu seperti ingin roboh dalam sekali terjangan. “Berat dan sedih rasanya,” akunya kepada VICE.
Berhubungan dalam intensitas yang sering membuat para pekerja dan pasien mempunyai relasi yang tak biasa dan tak jarang mengoyak perasaan. Melihat kondisi pasien yang lemah turut membawa dampak yang tak kecil untuk relawan. Pendeknya, para relawan seperti turut merasakan apa yang pasien rasakan, entah itu rasa sakit sampai kesepian.
Tidak Bayu saja yang memiliki pengalaman demikian; para relawan lainnya juga menghadapi problem yang sama.
Ian, misalnya, dalam beberapa kesempatan memperoleh pasien yang punya kecenderungan bunuh diri sebab stigma yang dialamatkan kepada yang bersangkutan. Ini jelas tugas yang tak mudah, demikian pikir Ian. Akan tetapi, Ian berusaha mengenali karakter pasien tersebut. Dia menempatkan dirinya tak sebatas pekerja kesehatan, melainkan juga teman cerita, agar pasien tak sendirian dalam menanggung beban yang ada. “Pendekatan personal itu penting dalam situasi seperti sekarang,” ujarnya.
Cerita tak kalah nelangsa datang dari Jilvien. Dirinya pernah merawat dua pasien anak yang masing-masing berusia 10 dan 13 tahun. Ibu mereka sudah meninggal akibat corona. Sedihnya, kabar tersebut belum diketahui kedua anak bersangkutan sebab terhalang proses isolasi.
“Hal-hal kayak gitu yang kemudian kami jadi berempati terhadap pasien,” jelasnya. “Aku, jujur, enggak bisa bayangin gimana perasaan mereka setelah nanti tahu bahwa ibu mereka udah enggak ada.”
Walau begitu, tak semua kisah yang berkorelasi dengan pasien punya akhir yang mengiris perasaan. Ada banyak juga pengalaman yang melahirkan suka cita dan kehangatan. Ini dialami oleh Dewi. Suatu waktu, pasien yang pernah diurusnya telah dinyatakan sembuh. Kedekatan mereka nyatanya tak sekadar terjalin di rumah sakit.
“Sempet pasienku itu ngehubungi aku lewat DM [Direct Message], karena mereka tau dari foto-foto yang aku posting di Instagram,” cerita Dewi. “Ini bikin aku terharu banget. Hubungan kami terjaga dan enggak cuma dokter dan pasien.”
Penyebaran virus corona di Indonesia, sampai sekarang, belum menunjukan perlambatan. Jumlah kasus per hari terus melonjak dan korban masih berjatuhan, meskipun pada kenyataannya yang dinyatakan sembuh juga tak dapat dibilang sedikit—menyentuh ribuan.
Kondisi tersebut, mau tak mau, suka tak suka, mendorong kita untuk terus memasang alarm dengan senantiasa menjaga kesehatan sampai tetap berada di rumah dalam jangka waktu yang sulit ditentukan. Bosan, sudah pasti. Jenuh, apalagi. Semua perasaan itu berkumpul menjadi satu di tengah situasi yang dipenuhi ketidakpastian: kapan wabah ini bakal selesai dan kapan kehidupan kita kembali berjalan normal.
Dewi mengaku bahwa yang jahat dari pandemi COVID-19 adalah kemampuannya dalam memecah silaturahmi sebab orang-orang dipaksa untuk memberlakukan physical distancing semaksimal mungkin dan mengganti pola komunikasi dengan perangkat teknologi yang jelas-jelas mengurangi esensi dari sebuah pertemuan.
Hari-hari pun seketika berubah jadi tak ideal, demikian Dewi bilang. Momen lebaran, misalnya, yang seharusnya dapat dipakai untuk memaknai kepulangan lenyap karena pandemi. Orang-orang diwajibkan berdiam diri di rumah dan dipaksa menahan kerinduan terhadap kampung halaman yang mungkin sudah dipupuk selama bertahun-tahun.
“Aku kangen dunia [yang] normal,” tutur Dewi. “Aku kangen dunia ini berlaku lagi seperti biasanya.”
Akan tetapi, pandemi tidak pernah menghapus harapan yang dipanjatkan, entah itu lewat rapalan doa, kenyataan di hadapan mata, maupun rencana-rencana yang telah disusun sedemikian rupa. Situasi boleh saja tak punya kejelasan, namun menjaga keyakinan bahwa masa sulit ini bakal segera berlalu juga perlu dipertahankan.
Bayu adalah salah satu orang yang percaya dengan hal tersebut. Setiap kali melihat pasien yang sembuh, juga betapa kuatnya solidaritas di antara mereka, dia merasa optimistis bahwa badai pandemi pasti berlalu.
“Ada keyakinan tersendiri ketika menyaksikan pasien saling menyemangati, saling memberi kekuatan. Ini yang pada akhirnya membuat saya percaya bahwa semua pasti bisa kembali seperti sedia kala,” ucap perawat yang lulus pendidikan pada 2018 ini.
Sementara harapan diupayakan terus menyala, begitu pula dengan realisasi mimpi-mimpi yang sempat tertunda. Adanya pandemi tak serta merta mengubur keinginan pribadi yang dipendam para relawan sejak lama. Setelah pandemi ini berakhir, Jilvien telah bertekad meneruskan perjalanan kariernya sebagai dokter spesialis. “Aku ingin jadi [dokter] expert. Aku mau menguasai satu bidang sampai bener-bener tuntas,” ucapnya dengan yakin.
Ian, Dewi, Jilvien, dan Bayu adalah relawan yang usianya belum genap 30 tahun. Jalan mereka masih panjang dan—setidaknya sampai sejauh ini—mereka berhasil membuktikan bahwa anak-anak muda juga bisa diandalkan. Di masa wabah, mereka berani ambil risiko yang mungkin tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya: jauh dari keluarga sekaligus mengadu nyawa di hadapan corona.
Bagi mereka, tahun ini tak ada ketupat opor yang lezat hasil masakan orangtua ketika lebaran, juga kehangatan bertatap muka dengan orang-orang yang dirindukan. Sebab yang ada untuk sementara hanyalah misi kemanusiaan. Sampai keadaan pulih seperti sedia kala.
Faisal Irfani adalah jurnalis lepas di Jakarta. Follow dia di Instagram