Kasus Remaja Pembunuh Balita di Jakarta Ungkap Gamangnya Publik Hadapi Kejahatan Sadis

Remaja Pembunuh Balita 5 tahun di Sawah Besar Jakarta Psikopat Kejahatan Sadis

Seorang remaja perempuan berinisial NF, 15 tahun mengejutkan masyarakat, setelah menyerahkan diri ke Polsek Tamansari, Jakarta Barat pada Jumat (6/3) pekan lalu, karena mengaku telah membunuh balita tetangganya yang berusia lima tahun. Dia membuat catatan dan menggambar semua rencana pembunuhan, pikiran gelap, bahkan merekam momen saat ditahan polisi lantas membagikannya ke media sosial. Tindakan NF adalah jenis kejahatan yang amat jarang terjadi di Indonesia, membuat banyak pihak kelabakan memahami serta menanggulangi kasus serupa terulang di masa depan.

APA, inisial korban, sedang berkunjung ke rumah NF pada Kamis (5/3) ketika tersangka tiba-tiba ingin membunuhnya. Korban lalu dibunuh dengan cara ditenggelamkan kepalanya ke bak kamar mandi selama 5 menit dan dicekik lehernya sampai lemas. Mayat korban kemudian diikat serta dimasukkan ke lemari pakaian di kamar NF. Menurut pelaku, perbuatan kejinya terinspirasi dari film horor Amerika Chucky. Laporan lain mengabarkan bila dia pun terinspirasi karakter game Slender Man saat beraksi.

Videos by VICE

Umur pelaku, tidak adanya motif jelas pembunuhan, serta reaksi pelaku yang tenang, bahkan sukarela menyerahkan diri ke polisi serta saat meng- update media sosialnya, memunculkan dugaan bahwa ia seorang psikopat. Dugaan ini diperkuat dengan pengakuan pelaku merasa puas setelah melakukan pembunuhan. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan NF punya kebiasaan membunuh binatang.

“Sejak kecil pelaku senang bermain dengan binatang dan membunuh binatang dengan gampang. Dia mempunyai hewan kesayangan, hewan peliharaan kucing. Tapi, kalau lagi kesal, [kucing] itu bisa juga dilempar dari lantai dua,” kata Yusri kepada Kompas.

Psikolog Anak dan Remaja Novita Tandry mengonfirmasi dugaan sementara aparat. Melihat cara NF membunuh dan begitu tenangnya ia menjelaskan detail pembunuhan, ada kemungkinan pelaku seorang psikopat. Namun, menurut Novita, dugaan ini perlu dibuktikan dengan pemindaian otak dan tubuh menggunakan elektroensefalogram, pencitraan resonansi magnetik, dan pemeriksaan kesehatan secara lengkap. Juga harus dilakukan wawancara menggunakan metode Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition (DSM-5) untuk menentukan kepribadian pelaku.

“Dengan penelitian gambar hasil PET (positron emission tomography), perbandingan orang normal, pembunuh spontan, dan pembunuh terencana berdarah dingin menunjukkan perbedaan aktivitas otak di bagian prefrontal cortex yang rendah. Bagian otak lobus frontal dipercaya sebagai bagian yang membentuk kepribadian,” kata Novita kepada Suara. “Kalau sampai hasilnya pelaku adalah seorang psikopat atau sosiopat, maka penanganan intensif harus segera dilakukan. Karena kalau tidak, pelaku akan mengulangi perbuatan yang sama.”

Ketua Bidang Pemantauan dan Kajian Perlindungan Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Reza Indragiri Amriel meminta publik dan media untuk tidak berlebihan menyoroti motif ataupun detail tindakan NF saat melakukan kejahatan. Sebab, dia khawatir ketika kejahatan ini diungkap terlampau gamblang, ada pengidap gangguan kejiwaan lain yang terinspirasi untuk menirunya. “Dikhawatirkan [ekspos berlebih kasus ini] menginspirasi anak-anak lain yang hari ini tampak lebih gampang meledak ketimbang generasi sebelumnya,” kata Reza, seperti dikutip Kompas.

Dalam kasus NF, Yusri Yunus mengatakan tersangka bakal diproses dengan UU Peradilan Anak mengingat umurnya belum masuk kategori dewasa. Artinya, ia akan dikenai setengah dari hukuman orang dewasa dengan ancaman hukuman 7,5 tahun hingga 9 tahun penjara. NF yang saat ini tengah diperiksa kejiwaannya untuk sementara akan tinggal di rumah sakit. Kelak, jika terbukti bersalah, ia akan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Cinere, Depok, Jawa Barat.

Apabila NF terbukti psikopat, ada kemungkinan penegak hukum sulit menanganinya. Berbeda dengan penderita psikotik atau kelainan jiwa, psikopati adalah kelainan perilaku yang penderitanya masih bisa berpikir rasional dan membedakan kenyataan dari khayalan.

Lilienfield dan Arkowitz di Scietific American merangkumkan sejumlah ciri psikopat, yakni penderita selalu berusaha membuat kesan pertama yang baik dan biasanya tampak normal, egosentris, tidak jujur, dan tidak bisa diandalkan.

Psikopat kadang melakukan kejahatan hanya untuk kesenangan. Sebagian besar mereka tidak punya rasa bersalah, empati, dan cinta. Mereka juga sering menyalahkan orang lain untuk kesalahan mereka sendiri, jarang belajar dari kesalahan sendiri, tidak mau menerima kritik, dan sulit menahan dorongan keinginan.

Dengan kata lain, menghukum penjara seorang psikopat selama periode tertentu tidak menyelesaikan masalah karena ada sense manusia kebanyakan yang tak dimiliki psikopat. Seorang psikopat juga bisa diberi terapi perilaku, namun dampaknya akan sulit terlihat karena butuh waktu lama dan cenderung bias karena rerata psikopat punya karakter manipulatif.

Memvonis seseorang sebagai psikopat juga butuh waktu, proses tak mudah, serta dari sudut pandang penegak hukum, dipakai pelaku sebagai cara meloloskan diri dari hukuman. Jika menengok arsip berita kasus pembunuhan sadis yang pelakunya diduga psikopat, tampaknya mereka tak pernah dites secara psikologis sebagaimana yang diterapkan pada NF.

Verry Idham Henryansah alias Ryan Jombang, misalnya. Pada 2008 ia ketahuan membunuh 11 orang, sebagian korban dimutilasi. Namun, meski Ryan menyebut dirinya psikopat, lalu keterangan psikolog mengindikasikan Ryan punya kecenderungan tersebut (mudah bohong, agresif, sulit ditebak, egosentris, dan ketika punya keinginan harus tercapai), penegak hukum tak sependapat. Ryan divonis seumur hidup dan dipenjara di LP Kelas I Cirebon.

Siswanto alias Robot Gedek, penjahat pembunuh 8 anak jalanan di tahun ’94-’96 juga mengalami hal sama. Robot menunjukkan ciri psikopat ketika ia mengaku pembunuhan membuatnya merasa lega dan ingin melakukan lagi. Ia divonis hukuman mati pada tahun ’97, lalu meninggal karena serangan jantung di LP Nusakambangan 10 tahun kemudian.

Belakangan, ada dugaan Robot adalah korban salah tangkap. Menurut Febry Irmansyah, kuasa hukum Robot, selama proses hukum ia sempat meminta kliennya diperiksa psikiater. Permintaan itu tidak dikabulkan.

Baekuni alias Bungkih alias Babe adalah salah satu saksi yang memberatkan kejahatan Robot. Tiga belas tahun setelah vonis Robot, Babe juga diduga psikopat ketika ditangkap karena terbukti membunuh 14 orang anak lelaki berusia di bawah 14 tahun. Babe membunuh mereka karena korban-korban tersebut menolak disodomi. Sejumlah korban kemudian disodomi setelah dibunuh, membuat Babe selain dijuluki nekrofil, juga digelari kriminolog Adrianus Meliala telah melakukan “kejahatan paling mengerikan di Indonesia”. Empat korban di antaranya dimutilasi.

Menurut laporan, Babe tak merasa bersalah atas aksinya. “Ya begitulah, rasanya puas,” ujarnya. Ia juga disebut menikmati melihat korbannya menderita. Namun, tak ada arsip berita yang menyebut bahwa kecenderungan psikopat Babe pernah diperiksa secara klinis.

Alih-alih demikian, teori motif para terduga psikopat justru menyasar pada latar belakangnya: seperti, kecenderungan seks (yang mana Ryan, Babe, dan Robot Gedek adalah penyuka jenis) serta latar belakang ekonomi (Babe dan Robot Gedek sebagai kaum miskin kota).