Rencana Trump Menghadapi Korut Diramal Akan Gagal Total

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Barack Obama sebenarnya sudah memberi wejangan bernilai bagi Donald Trump ketika mereka berdua bertemu sebelum pisah sambut pelantikan presiden baru Amerika Serikat. Obama terutama menekankan satu kata kunci ini: semoga anda beruntung saat menghadapi Korea Utara. Selama delapan tahun menjabat, Obama harus menghadapi rezim totalitarian di Semenanjung Korea yang tampaknya tak pernah lelah mengganggu banyak negara lain. Pemerintahan Obama menjalankan gaya diplomasi “kesabaran strategis” saat menghadapi Diktator Kim Jong-un. Pendek kata, yang dimaksud dari diplomasi tersebut adalah mengabaikan semua provokasi Pyongyang. Ketika ‘dicuekin’, Amerika Serikat berharap Korut akan lelah sendiri lalu berhenti mengancam negara-negara besar lewat program nuklir mereka. Setidaknya Kim Jong-un diprediksi tak lagi terlalu bergairah memaksa insinyur di negaranya mengembangkan rudal dan hulu ledak nuklir.

Videos by VICE

Tentu saja, skenario yang dirancang para penasehat politik luar negeri Obama itu terhitung naif. Teknokrat Washington seakan-akan lupa, jika Korut adalah negara yang sejak awal berdiri segera mencantumkan ideologi “songun” dalam konstitusinya. Bila diterjemahkan, ‘Songun’ bisa dibilang keyakinan dan kebijakan untuk selalu menempatkan kepentingan militer Korut di atas isu-isu lain. Jauh lebih penting daripada perkara kesejahteraan, layanan kesehatan, ataupun pengentasan kemiskinan penduduk Korut. 

Sejak era pendiri Korut Kim Il-sung masih hidup, doktrin yang diberikan kepada rakyat adalah situasi bahaya sepanjang waktu. Korut disebut akan diserang oleh negara-negara asing, sehingga upaya menangkal serangan dan menambah anggaran pertahanan merupakan kepentingan nasional. Begitulah yang terjadi lebih dari setengah abad terakhir. Korut, memperoleh dana cukup besar dari perdagangan dengan Cina, membelanjakan nyaris seluruh APBN-nya untuk produksi senjata pemusnah massal, padahal di saat bersamaan jutaan rakyatnya berkalang kemiskinan.

Songun ini terwujud paling nyata awal April ini, ketika Korea Utara merayakan hari kelahiran Kim Il-sung yang dinobatkan sebagai presiden seumur hidup. Pada hari itu, Pyoyang selalu menggelar pameran alutsista yang dimiliki oleh militer. Untuk pawai militer 2017, pengamat memperhatikan ada dua rudal balistik lintas benua (ICBM) dipamerkan oleh rezim Kim Jong-un. Tidak ada informasi apakah ICBM itu hanya gertak sambal, atau benar-benar sudah bisa digunakan dalam serangan serius. Jika Korut ternyata mampu menembakkan ICBM, digabungkan dengan hulu ledak nuklir, maka mereka sebenarnya sudah bisa menyerang Amerika Serikat (atau negara di benua manapun yang mereka anggap musuh). Korut baru lima kali melakukan uji coba peledakkan bom nuklir selama 11 tahun terakhir. Diperkirakan, Pyongyang akan segera melakukan uji coba keenam dalam waktu dekat.

Informasi soal rencana Korut kembali melakukan uji coba bom nuklir itulah yang memicu krisis sebulan terakhir. Trump ternyata merespon sangat keras niatan Kim Jong-un terus memiliki senjata pemusnah maassal. Pentagon mengeluarkan pernyataan keras, bahwa mereka siap “melakukan serangan preventif” seandainya Korut terus berusaha memprovokasi kawasan. AS lalu mengirim beberapa kapal perang, termasuk kapal induk, ke perairan Korea Selatan yang membuat situasi bertambah panas. Mendengar ancaman Washington, anak buah Kim Jong-un balik mengancam segera menenggelamkan kapal perang Negeri Paman Sam.

Hubungan Korut-AS tidak pernah akur, karena kedua pihak terlibat aktif dalam Perang Korea awal dekade 50-an. Ketika Korsel memutuskan gencatan senjata pada 1953, Washington berjanji selalu memberi dukungan pada Seoul. AS tidak ingin Semenanjung Korea dikuasai negara sosialis satelit Uni Soviet. 

Rodger Baker, pengamat Korut yang bekerja untuk Firma Intelijen Strafor, menjelaskan betapa rumitnya potensi konflik di Semenanjung Korea. “Masalah ini muncul karena AS dan Korut tidak bisa saling percaya sejak dulu,” ujarnya. Korut selalu merasa AS akan menyerang wilayah mereka dengan dalih membantu Korsel. Karenanya, Pyongyang mengembangkan sistem pertahanan canggih, termasuk dengan ICBM. Sebaliknya, AS tidak pernah mau melunakkan posisinya terhadap negara sosialis tertutup itu, karena mereka terus berambisi memiliki senjata nuklir. Washington baru mau bernegosiasi dengan Korut jika semua persenjataan berat mereka dilucuti.

Baker menyatakan satu-satunya momen hampir pecah perang antara AS-Korut terjadi pada 1994. Saat itu mantan presiden Jimmy Carter melobi langsung Kim Il-sung, kakek Kim Jong-un, dalam dialog sepanjang tiga jam di Sungai Taedong, Pyongyang. Korut saat itu bersedia menghentikan skema pengayaan uranium serta pengembangan rudal. Namun semua rencana berantakan karena Kim Il-sung meninggal. Kim Jong-il, anak kandung Kim Il-sung, melanjutkan program pengembangan bom nuklir.

“Seandainya Kim Il-sung tidak meninggal saat itu sepertinya AS-Korut tidak akan terus bersengketa seperti sekarang,” kata Baker. “Bahkan sangat mungkin kita sekarang menyaksikan korea bersatu.”

Juni tahun lalu, Trump ternyata akan kembali melakukan trik lama memanfaatkan Jimmy Carter yang sudah semakin sepuh sebagai juru runding menghadapi Korut. Pendekatan ini, menurut Baker tidak bisa lagi dilakukan mengingat AS tak memiliki hubungan diplomatik dengan Korut. Dulu Jimmy Carter diterima karena komunikasi pribadi langsung dengan Kim Il-sung. Trump mengolok-olok lawan politiknya selama kampanye, termasuk Hillary Clinton, sebagai politikus yang tak jago bernegosiasi. Trump mengesankan dirinya sebagai pengusaha yang sanggup menerapkan prinsip bisnis dalam politik luar negeri. Lalu, yang dia bilang tentang Korut adalah undangan bagi Kim Jong-un makan burger di Gedung Putih

“Ide itu tidak akan terjadi,” kata Stephan Haggard, profesor bidang kebijakan global dan strategi pertahanan di UC San Diego. “Mengajak negosiasi Kim Jong-un dengan hamburger hanya omong kosong.”

Selain itu, ide Trump mengajak negosiasi diktator Korut merusak posisi politik luar negeri AS selama setengah abad terakhir. Washington menolak mengakui kedaulatan Korut atas persoalan ideologis melawan Uni Soviet di masa lalu. Untuk masa sekarang, persoalan lainnya adalah rezim Pyongyang tak pernah dipercaya. Presiden Bill Clinton pernah mengizinkan Korut membangun dua reaktor nuklir, asal tidak mengembangkan bom atom. Ternyata setelah delapan tahun perjanjian itu diteken, Korut ingkar janji.

“Korea Utara punya kecenderungan memperlama semua dialog terkait nuklir agar menguntungkan mereka. Sangat mungkin ketika pilihan negosiasi diambil, yang terjadi justru kita kembali ke titik awal tanpa ada kemajuan apa-apa,” kata Haggard.

Presiden AS itu lantas mengaku siap merangkul Cina. Presiden Cina Xi Jinping diundang bertandang ke Mar-a-Lago, resor pribadi milik Trump. Ancaman Korut dibahas oleh kedua pemimpin. Dari pertemuan itu, Haggard melihat Trump gagal meyakinkan Cina untuk memberi solusi cepat agar Korut tak menjadi gangguan bagi banyak pihak. 

“Yang dijanjikan Presiden Jinping adalah sekian bulan tekanan diplomatik dari pihaknya untuk meredam ambisi nuklir Korea Utara,” ujarnya.

Mengingat 90 persen perdagangan luar negeri Korut dilakukan dengan Cina, satu-satunya peluang mengajak Pyongyang menghentikan program nuklir adalah mengeksploitasi kelemahan dari sisi ekonomi tersebut. 

“Korut itu bukan Suriah, bukan Afghanistan. Potensi Korut membalas serangan ke wilayah AS, Korsel, atau Jepang lebih besar dari negara Timur Tengah,” kata Baker. Karenanya, bersengketa lawan Korut lebih menyerupai “sejauh mana keberanian satu pemerintahan menanggung risiko perang jangka panjang.”

Salah satu risiko terbesar dari pecahnya perang di Semenanjung Korea adalah gangguan ekonomi bagi negara-negara Asia Timur. Pelabuhan-pelabuhan di sisi timur Cina bisa berhenti beroperasi, sedangkan ekspor Jepang yang dikirim lewat laut turut terganggu. Jangan lupa, perekonomian Korsel juga akan lumpuh. Padahal ketiga negara itu terhitung mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Baker meyakini AS tidak punya kepentingan melancarkan operasi militer terhadap Pyongyang, kecuali rezim Kim Jong-un menyerang lebih dulu.

“Sampai sekarang kan belum ada bukti jika Korut punya kemampuan militer menyerang wilayah AS,” ujarnya. “Pyongyang selalu mengklaim bisa menyerang AS, tapi apa buktinya itu bukan propaganda? Ini adalah rezim yang pernah bilang pada rakyatnya jika sang pemimpin, Kim Jong-il, sangat hebat sehingga mampu melakukan 100 kali hole in one dalam sehari ketika sedang main golf.”

Kalaupun Korut memang memiliki stok bom hidrogen, lalu bisa menggabungkannya dengan peluru kendali, risiko terburuknya amunisi mereka bisa menjangkau Seoul, Tokyo, atau Beijing. Ketika skenario itu terwujud, AS baru punya alasan menggempur Korut dari darat, laut, maupun udara. Saat ini kapal selam Negeri Paman Sam sudah bersiaga di Korsel, sementara pesawat pembom terletak di Guam, Samudra Pasifik.

Baker sih tidak percaya akan pecah perang dalam waktu dekat, karena semua pihak yang saling bersitegang sebetulnya masih rasional. Baik Trump ataupun Kim Jong-un hanya ingin saling mengancam untuk mengamankan tujuan politik masing-masing. Indikasinya, akhir pekan lalu Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson mengusulkan pada PBB agar Korut kembali masuk daftar negara pendukung terorisme. 

“Hal itu menunjukkan AS masih akan mengutamakan tekanan melalui langkah diplomatik, disusul sanksi ekonomi, barulah jika terpaksa dipakai pendekatan militer,” kata Baker. “Tapi memang perang itu sulit diketahui, sangat mungkin terjadi kesalahpahaman. Semua masih bisa terjadi.

Follow Allie Conti di Twitter.