Ricky Virgana Mencari Inspirasi (Sekaligus Duit) Dari Laut Lepas

Selamat datang di Don’t Quit Your Day Job, kolom VICE Indonesia menceritakan profesi keseharian musisi yang bertolak belakang dari citranya di panggung.

Basis Ricky Virgana dari White Shoes and the Couples Company punya berbagai sumber penghidupan lain di samping bermusik. Menyelam (diving) adalah satu dari sekian kegiatan lain itu. Mulanya memang hanya hobi, tapi seterusnya berkembang jadi kerjaan sampingan. Ricky menulis berbagai artikel mengenai destinasi diving yang kemudian dimuat di beberapa media travelling.

Selain itu fans-fans White Shoes pun pasti tahu bahwa Ricky juga masih mengajar cello secara privat. Di luar itu, Ricky menjalankan ‘We Love ABC’, trio musik yang dibentuk dengan kedua putra-putrinya, Satria Ludwig Virgana (11 tahun) dan Sisilia Cellist Virgana (14), yang memainkan lagu-lagu dari grup seperti Fleet Foxes, Yeah Yeah Yeahs, dan singer-songwriter Sondre Lerche.

Videos by VICE

Marcel Thee mewakili VICE Indonesia mewawancarai Ricky, membahas kegiatan-kegiatan dia di luar musik yang tanpa diketahui banyak orang juga jadi kerjaan sampingan.

Jadi gimana awalnya elo bisa punya passion buat menyelam?
Awalnya di tahun 2012 itu gue pergi ke Pulau Komodo bareng sahabat-sahabat gue, dan di antara mereka hanya gue dan satu temen gue yang gak diving. Awalnya buat gue diving itu segala sesuatunya serba ribet, seperti ada briefing setiap mau melakukan diving dan itu benar-benar harus fokus mendengarkan instruksi dari dive master. Karena kalo ga bisa berakibat fatal. Diving juga terlalu banyak aturannya. Dan juga segala sesuatu yang berbau diving sangat mahal, mulai dari trip-nya, dive gear, dan segala perintilan kameranya.

Tapi begitu gue coba diving pertama kali (biasa disebut discover dive) di Pulau Komodo gue langsung jatuh hati sama dunia bawah laut dan segala sesuatu yang berhubungan dengan laut, itu sih awalnya.

Yang paling elo nikmati dari diving tuh apa sih?
Yang paling gue suka dari diving itu gue bersinggungan langsung dengan dunia lain, melihat segala aktivitas makhluk dari yang biasa gue lihat sampe ke bentuk-bentuk paling absurd. Dan juga diving itu seperti kontemplasi sama diri sendiri karena gue amazed dengan keindahan dunia bawah laut tapi di saat bersamaan gue gak bisa share ke orang lain karena hanya bisa gue rasakan sendiri dan juga gue merasakan pengalaman psychedelic dalam keadaan sadar, melihat segala bentuk mahluk berwarna-warni bagai mendengarkan musik psychedelic.

Diving ini apakah jadi mempengaruhi ritme hidup elo enggak?
Karena gue termasuk orang yang sulit untuk tidur cepat, itu selalu mengganggu untuk aktivitas diving, karena dalam diving kita harus selalu dalam kondisi sehat, tidur cukup, tidak sakit, tidak dalam pengaruh obat terlarang. Jadi biasanya setiap dive trip dan di hari pertama diving gue kesulitan untuk adaptasi.

Diving ini bentuk “pekerjaan” ga buat elo?
Akhirnya menjadi begitu tapi lebih kepada side job sih.

Bagaimana lo mendapatkan penghasilan dari kegiatan diving lo?
Biasanya gue menjadi kontributor di beberapa media cetak ataupun online. Gue akan tulis sebuah destinasi diving yang orang-orang belum pernah atau jarang kesana seperti di Bolsel, Pulau Dua Luwuk, Kepulauan Togean dan lain-lain. Juga biasanya tentang sehat atau tidaknya ekosistem di kawasan tersebut, sejauh mana masyarakat lokal bisa ikut terlibat dengan wisata diving di tempatnya. Dan tentunya dengan foto-foto underwater.

Setahu gue, hobi diving berhubungan dengan passion elo terhadap nature conservation, khususnya kelautan. Bisa gak elo ceritain sedikit kenapa menjaga laut penting buat dilakukan?
Sejujurnya buat gue sepertinya terlalu dini jika gue berbicara tentang nature conservation. Gue gak punya sisi akademis untuk berbicara ini dan awalnya gue cuma murni hanya diving aja, tapi begitu gue bersinggungan langsung dan melihat langsung akhirnya gue mau gak mau jadi kecemplung di sana. Contoh kecilnya ketika kita diving dan melihat ekosistem sekitar rusak karena penggunaan bom, cantrang, atau perburuan sirip hiu secara besar-besaran. Itu berdampak besar pada ekosistem laut yang akhirnya berdampak pula ke masyarakat dalam mencari nafkah khususnya nelayan.

Gampangnya, jika koral dan terumbu karang rusak maka tidak akan ada ikan di sana dan nelayan pun akan berlayar jauh untuk mencari ikan, akhirnya mereka mengambil jalan pintas dengan menangkap hiu karena permintaannya besar dan harganya sangat mahal. Tetapi hanya melarang nelayan untuk tidak menangkap hiu juga bukan solusi tepat. Jadi kita harus memberikan kesadaran baru untuk mereka dengan menjaga ekosistem laut yang sehat, maka akan tercipta industri perikanan yang berkepanjangan juga pariwisata yang berkepanjangan, alias sustainable marine tourism. Singkatnya alam dan laut telah memberi banyak untuk kita dan sekarang saatnya kita membalasnya dengan menjaganya.

Apa diving ini juga menginspirasi musik-musik yang elo bikin? Atau mungkin malah sebaliknya, musik menginspirasi buat diving?
Ya, segala sesuatu yang gue lakukan pasti akan selalu berhubungan dengan musik, dan akhir-akhir ini laut beserta isinya lumayan menjadi inspirasi gue dalam berkarya. Ada satu lagu yang gue tulis bersama White Shoes and the Couples Company sedikit berbau kelautan.

Pernah ada pengalaman ketemu fans waktu elo lagi diving gak?
Gak pernah sih. Cuma sekali pas gue diving di Gorontalo ternyata anak gubernur Gorontalo (Alham Habibie) suka dan pernah nonton White Shoes zaman dia kuliah di Berlin. Terus akhirnya gue lumayan beberapa kali diving sama dia. Jadi dia tahu gue diving di Gorontalo lewat instagram gue. Nah, pas hari terakhir gue dan temen-temen gue dijamu makan malam sama dia. Abis itu next trip baru dia ikut diving di Bolsel dan kepulauan Togean.


Di samping nyelam, elo juga ngajar jadi guru cello. Ngajar itu enak enggak sih?
Sudah sejak 2005 gue mulai mengajar cello dan sejarah musik, dalam proses ini gue banyak belajar juga dari murid-murid gue bahwa setiap orang itu berbeda metode pengajarannya, dan setiap orang itu mempunyai nilai spesial yang orang lain tidak punya, maka dari itu kita tidak bisa memaksakan mengajarkan sebuah metode yang sama kepada semua murid.

Elo sesekali terlibat produksi musik dan scoring. Gimana proses yang elo biasa jalanin buat bikin musik?
Gua banyak belajar [dari scoring]. Gue dikasih kesempatan dalam membuat scoring film layar lebar yang mengambil latar tentang suatu daerah di ujung utara Indonesia tepatnya di Pulau Natuna yang sangat kental dengan tradisi dan budaya melayu. Di sini gue harus meriset terlebih dahulu tentang budaya dan musik mereka, berbaur bersama para musisi di sebuah sanggar kesenian, bagaimana mereka masih mempertahankan budayanya, sambil terkagum-kagum melihat banyak anak muda yang aktif berlatih musik. Tanpa mereka sadari mereka sudah menjaga dan mewarisi tradisi kebudayaan mereka tanpa harus malu dibilang ketinggalan zaman.