Music

Rilisan Musik Indonesia Terfavorit 2016 Pilihan VICE

“2016 adalah tahun menyebalkan bagi sebagian orang, sebab banyak hal yang… “

Ya ya ya, itu adalah pernyataan nyaris semua publikasi kaleidoskop akhir tahun yang muncul. Tidak. Kami tidak tega menyita waktu kalian membaca repetisi serupa. Daftar terbaik akhir tahun atau kaleidoskop peristiwa, kadang dibuat tanpa niat muluk-muluk demi merenungi ataupun menelaah apa yang sudah dialami manusia selama 12 bulan terakhir. Kita berbagi karena kita peduli dan kita menyukainya. Hidup sudah cukup njelimet tanpa perlu ditegaskan lagi oleh pengantar daftar penghujung tahun yang toh, isinya, semacam perayaan dan ucapan syukur. Dalam hal ini, kita masih diberkahi musik-musik yang menggugah daya hidup selama satu tahun ke belakang.

Videos by VICE


Maka, VICE Indonesia memuat daftar musik-musik terfavorit tim redaksi, berdasarkan rilisan dari blantika musik Indonesia. Kami sebelumnya sudah merilis daftar album terbaik internasional 2016 berdasarkan pilihan awak Noisey. Kami tidak membatasi musik terfavorit ini hanya berdasarkan format album. Rilisan tunggal alias single (format yang sebetulnya tidak pernah menjadi budaya dalam industri musik Indonesia sebelum streaming dan youtube menjadi kanal favorit kita semua) turut kami masukkan. Semuanya adalah musik yang menggembirakan; dan kami harap bisa membahagiakan kalian semua juga, para pembaca.

Sesederhana itu. Kami berbahagia jika sebagian pembaca belum sempat menyimak pilihan kami. Awak VICE pun bersuka ria membaca pilihan album terfavorit yang dibuat oleh pihak-pihak manapun.

Oke. Pengantarnya sudah kepanjangan. Inilah dia, daftar musik musik Indonesia terfavorit sepanjang 2016 pilihan VICE Indonesia:

Album Terfavorit 2016

Fromhell – March On Gravitation


Tak ada band ekstrem metal yang seberani Fromhell tahun ini. Album kedua duo ini dibuka dengan perjudian besar: “A Million Castor & Stellar Space”, sebuah komposisi berdurasi lebih dari 20 menit. Beruntung, 22 menit itu tak berakhir membosankan. Transisi dari tiap bagian lagu dilakukan secara rapi. Anda bisa menemukan pengaruh dari Ihsahn, Devin Townsend, Fen, dan serta Kekal (tentunya, sebelum Kekal jadi band elektronik) di tiap bagiannya. Singkatnya, lagu ini adalah pembuka album metal paling menyenangkan tahun ini. Bahkan, jika album ini hanya terdiri dari satu lagu itu saja, March on Gravitation tetap jadi rilisan favorit saya dalam setahun. Tentu saja memfavoritkan March on Gravitation karena terpukau oleh lagu pembukanya semata adalah mubazir. Masih ada lima track lainnya yang diwarnai lirik-lirik  bernada sains fiksi. Ngomong-ngomong soal sains fiksi, kapan kita terakhir mendapati black metal se- forward thinking ini pasca Kekal hengkang ke Kanada dan memutuskan jadi proyek terbuka mirip koperasi? — Abdul Manan Rasudi

Senyawa – Brønshøj (Puncak)


Musik Senyawa sulit didengarkan. Tidak ramah, bahkan bagi kuping-kuping yang terbiasa mendengar musik ekstrem seperti metal atau hardcore. Namun inilah daya tarik duo berbasis di Yogyakarta ini. Mereka berhasil menciptakan semacam pendekatan baru dan segar terhadap musik eksperimental melalui jangkauan sonik yang luas dan mungkin tidak terbatas—kemampuan Wukir Suryadi untuk mengolah material non-musikal (bambu, sendok kayu, dan lainnya) menjadi sebuah alat musik multi-fungsi dan olah vokal Rully Shabara yang liar, berat, edan, namun juga bisa terdengar syahdu dan sendu adalah formula yang sulit ditandingi. Di album  Puncak, Senyawa menunjukkan keahlian mereka dalam meramu mood dan atmosfir yang mistis dan kelam. Track pembuka, “Brønshøj 1” tidak akan terdengar aneh mengiringi sebuah adegan penuh debar film horor layar lebar, sementara “Brønshøj 2”, “Brønshøj 4”, dan “Brønshøj 5” seolah menjadi saksi kemauan duo ini membawa musik mereka ke ranah baru. Menggunakan pedal delay, loop dan fuzz secara apik, Wukir dan Rully mengandalkan lapisan-lapisan sound yang simpel untuk menciptakan suasana yang spesifik dan terfokus. Bila dibandingkan dengan rilisan mereka sebelumnya, Menjadi yang tergolong lebih mengintimidasi, album ini terasa lebih “tenang”, hampir terdengar seperti album ambient etnik misterius yang kerap membius. Apabila anda penggemar Swans—yang pernah berbagi panggung dengan Senyawa—maka Puncak sudah pasti akan memuaskan dahaga. Mengadopsi paham less is more, album Brønshøj adalah puncak pencapaian tertinggi Senyawa sejauh ini. —Yudhistira Agato

Rajasinga – III


Rajasinga adalah pemeluk agama grindcore yang taat. Trio ini bermain cepat dan ganas sembari terus menyoroti koreng-koreng di lingkungan sekitar mereka. Meski saya cuma seorang penggemar grindcore kapiran, saya bisa bilang bahwa Rajasinga adalah band grindcore semua umat. Bahkan tanpa harus tahu Napalm Death atau band grindcore nguik-nguik kekinian, anda saya jamin bisa menikmati Rajasinga. Tak percaya, ambil—eh beli ding kan support your local indie scene—album mereka yang dirilis tahun ini, III dan mainkan track-track seperti “Pancasila (Negrijuana Version)”, “Orang Gila”, dan “Weekend Rocker”. Niscaya anda akan menemukan plesetan pancasila yang bikin senyum kecut, paduan omongan ngelantur orang gila dan riff  Smells Like Teen Spirit dan mungkin satu-satunya lagu indonesia yang menggunakan frase “tenggat waktu.” Di luar tiga lagu ini, anda juga bakal menemukan riff-riff rock n roll bahkan blues yang bikin terperangah, Intinya sih gini: album ini bakal menyunggingkan senyum—bukan tawa ya, karena menerbitkan tawa itu tugas unit grindcore bandung lainnya, Mesin Tempur—meski, tentunya setelah itu, kita lagi-lagi kita disuguhi lagu-lagu tentang kondisi Indonesia yang makin malesin akhir-akhir ini. — Abdul Manan Rasudi

Joe Million – Vulgar

Di media sosial, banyak yang menyebut 2016 adalah tahunnya hip hop di kancah musik Indonesia. Memang benar, bila parameternya keberhasilan beberapa single dari Rich Chigga dan Young Lex membetot perhatian publik; serta munculnya lagu-lagu bermutu, termasuk beef , dari para MC dan beatmaker lokal sepanjang tahun. Hanya saja, bobot album lebih besar daripada kumpulan lagu tunggal/video youtube yang tak terikat benang merah artistik. Di situlah, Joe Million, rapper dari Papua, mengalahkan nyaris semua pemain di kancah hip hop nusantara. Vulgar adalah sebuah serangan blitzkrieg. Kita tidak menduga dan langsung K.O dibuatnya. Seperti itulah yang saya alami, misalnya, ketika dihajar braggadocio dan pandangan politik figuratif yang bisa menggambarkan represi warga Papua, di awal “Katamorgana”, lagu terkuat album ini. “Melihatku mendekatimu mendadak kau risau/serentet kalimat terarah kau pilih pistol.” Lirik-liriknya pun diperkaya pilihan kosakata dialek Papua, menambah bobot otentisitas sudut pandang personanya. Sebagai MC, Joe Million semakin matang, setelah mixtape Enigmatik yang tak kalah oke dia sebar gratis tahun lalu. —Ardyan M.E

DÈTENTION – Youth Detention Program For Reckless Teenagers


Artwork album Youth Detention Program For Reckless Teenagers milik DÈTENTION dibuka dengan kutipan dari Emma Goldman—seorang aktivis anarkisme abad 20—yang berbunyi “If i can’t dance, I don’t want to be part of your revolution”. Namun alih-alih mendapatkan musik hardcore punk yang bisa menjadi musik latar circle pit semacam Discharge atau “TV Party” nya Black Flag, track pertama “Urinoir Wisdom” dibuka dengan chord disonan tebal yang lebih mengingatkan saya akan band-band mathcore 90-an macam Rorschach atau Deadguy. Chorus “Nation On Fire” mengingatkan saya akan era My War Black Flag dengan sound gitar yang menggeliat. Namun jangan khawatir, trio asal Palembang ini menepati janjinya di lagu “Lollypop Squad Pogo Attack” yang mengajak anda untuk berdansa di mosh pit sampe puas dengan beat drum yang straight forward. Uniknya, band yang beranggotakan tiga orang ini tidak mempunyai pemain bass. Sebagai kompensasinya, suara gitar Perfect Jay diputar ke angka 11 dan berada sedikit di atas drum—mungkin keputusan yang tidak umum, namun ini memberikan Youth Detention karakter sound yang berbeda: agak tipis, terang, menyayat dan kasar. Vokalis Farid ‘Pelor’ Amriansyah yang dulu juga aktif di band rock/metal Auman dan kini sibuk menjalankan Rimauman Music, label rekaman DIY yang giat mendukung band-band Palembang juga masih getol meneriakkan pendapatnya yang berbau politis dan sosial di album ini. “Nation On Fire” mengeluhkan pemerintah Indonesia yang sepertinya tidak peduli akan deforestasi dan pembakaran hutan yang terjadi tiap tahunnya, sementara “Act Of Propheteering” mengkritik orang-orang religius yang merasa lebih suci dari orang lain dan menjadikan agama tidak lebih dari sekedar komoditas. Namun tetap saja, tema yang paling sering muncul di album ini adalah pentingnya sikap non-konformis dan berpikir untuk diri sendiri. Di lagu “Society’s Will, Society Kills”, Pelor berseru “This is society’s will, oh the will that could force you to kill / They told you how to live, o but never taught you how to love”. Atau mungkin bagi anda yang tidak suka basa basi, track “Fuck Off” yang berdurasi 14 detik akan menjadi anthem pribadi: “Kau asik dengan hidupmu / Jangan usik hidupku!” —Yudhistira Agato

Dialita – Dunia Milik Kita


Para penyintas dan eks-tahanan politik 1965 membentuk paduan suara. Mereka menyanyikan lagu-lagu—diiringi beberapa indie darling seperti Frau atau Cholil ERK—yang ditulis oleh kawanan sesama orang yang diburu selepas geger 1965. Lagu-lagu mereka disebar gratis lewat netlabel YesNoWave Records. Album ini muncul saat stigma tentang eks-tapol maupun simpatisan komunisa belum kunjung hilang di Indonesia. Gig-gig Dialita kerap harus dirahasiakan agar bisa berjalan lancar. Album ini, bagi saya, adalah statement politik perlawanan terhadap sejarah buatan rezim paling keras tahun ini. Tak ada yang bisa menyamainya. Titik!  —Abdul Manan Rasudi

Mondo Gascaro – Raja Kelana


Mendengarkan soft rock sepanjang 2016 sebetulnya bukan suatu yang lazim. Tapi itulah yang ditawarkan Mondo Gascaro dalam Raja Kelana.  Ketika “A Deacon’s Summer” disebar pertengahan tahun ini, saya cuma punya dua respon: 1) Ntab! Ini lagu detail banget. Bikinnya pasti lama dan butuh ketelitian. 2) Kok ya bisa-bisanya gue engga dengerin soft rock ala Steely Dan yang pengaruhnya kentara di Raja Kelana. Nyatanya, lagu itu memang sebatas sajian pembuka di album ini. “Oblivion Oblivion” misalnya lebih rancak dan kompleks. Tapi kalau boleh jujur, yang justru mencuri perhatian adalah lagu-lagu bertempo lamban di album ini, terutama nomor “Lamun Ombak” (oh ya, Aprilia Apsari bertamu di dalamnya) dan “Butiran Angin.” Dua nomor ini seketika membuat saya sadar kenapa  akhir-akhir ini Sore makin terdengar biasa saja. Raja Kelana adalah album soft rock terbaik lokal—kalau bukan satu-satunya—sepanjang 2016. — Abdul Manan Rasudi

Annie Hall – Saudade EP


Jujur, ketika membicarakan musik shoegaze di Indonesia, seringkali band-band yang ada cenderung berkiblat ke dream pop, post-rock, atau malah brit pop. Setelah Mellon Yellow, saya menantikan band shoegaze yang berani keluar dari pakem atau sound yang sudah sering diulik, dan untungnya kini ada Annie Hall dari Yogyakarta. Semacam “supergrup” dari scene Jogja, band ini berisikan anggota dari Talking Coasty, Cloudburst, dan Deadly Weapon—lucunya, tiga-tiganya tidak memainkan jenis musik yang mendekati Annie Hall. Di Saudade EP ini, Annie Hall menjelajah sound shoegaze yang berat dan modern. Produksi yang cenderung lebih “metal”, steril dan dingin dengan sound drum yang menonjol. Tentu mengingatkan anda akan band-band shoegaze kekinian seperti Nothing atau Cloakroom. Begitu lagu pembuka “Locked Room” masuk ke gigi tiga, lengkap dengan drum, bunyi synth di belakang dan sound yang lebar, sulit untuk tidak membayangkan proyek Justin Broadrick dan Jesu. Sementara single dari Sausade, “Hollow” mempunyai lead gitar meraung-raung dan dinamika yang pas. Kekurangan dari EP ini—atau sebetulnya kekurangan dari genre shoegaze secara umum—adalah lirik “aku menginginkan dirimu tapi duh kok susah banget ya mba” yang agak klise. Untungnya EP ini punya kualitas produksi mantap, atmosfir yang pas, dan sound yang penuh presisi. Melalui Sausade EP, Annie Hall telah membuktikan diri sebagai band dengan potensi luar biasa besar. —Yudhistira Agato

Bin Idris – Bin Idris


Dalam kapasitasnya sebagai frontman Sigmun, Haikal Azizi kerap tampil sebagai sosok satu dimensi: vokalis yang terlalu formal serta kadang terlalu sendu. Padahal, sekali menengok akun-akun sosmed Haikal saja, anda bisa langsung menyimpulkan bahwa Haikal punya sisi yang tak muncul di Sigmun: sisi ngocol dan religius misalnya. Sisi-sisi tersembunyi ini yang kini muncul lewat album solo bertajuk Bin Idris. Dalam “Temaram,” Haikal  terdengar seperti anak pesantren yang baru saja mendengarkan band indie dan terinspirasi membuat musiknya sendiri yang bermuatan nilai-nilai religiusitas. Sementara, “Tulang dan Besi” menjadi saksi Haikal yang bertransformasi jadi troubadour blues yang menyanyikan elegi bagi orang-orang yang tersingkir dari tanahnya sendiri. Musik folk yang inovatif tahun ini. — Abdul Manan Rasudi

Dialita – Dunia Milik Kita


Tenang. Bukan kesalahan teknis ketika album ini disebut dua kali dalam daftar terfavorit kami. Dunia Milik Kita adalah album yang sangat penting dari sisi konteksnya, yang kami prediksi bakal abadi dalam ingatan sejarah musik Indonesia. Album yang patut mengisi ensiklopedia lengkap musik Tanah Air yang entah disusun kapan. Sebab di album inilah, luka sejarah bangsa ini diobati oleh kolaborasi sekelompok musisi muda bersama para eks-tapol. Mereka membasuh borok hasil propaganda sekian dasawarsa, yang terus coba dipertahankan oleh kaki tangan rezim otoriter. Daya hidup meluber dari album ini. Meletup-letup. Simak saja “Taman Bunga Plantungan” atau “Ujian”. Jika rezim dan kolaboratornya tak kunjung bersedia memberi permintaan maaf pada korban pelanggaran HAM dekade 60-an, serta pemegang bedil terus mengulang-ulang jargon kosong “bahaya kebangkitan PKI” untuk meresahkan masyarakat, maka hanya seni yang bisa melampaui semua kebebalan itu. Paduan suara para tapol ini menggenapi memoar Pramoedya sekian tahun lalu. Yang mereka lakukan bukan lagi Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Sebab, nyanyian yang tulus dari Dialita bergema dan menggelegar. Kita pasti bisa mendengar suara mereka.   — Ardyan M.E


Lagu Terfavorit 2016

Gaung – Killing with Virtue

Jika label rekaman bisa diberi penghargaan, maka Orange Cliff Records adalah pemenangnya sepanjang 2016. Materi-materi bergizi mereka hadirkan untuk blantika musik lokal nyaris setiap bulan. Puncaknya, tentu saja, Gaung yang muncul tanpa aba-aba pada November lalu. Sebuah rentetan riff gahar dan melodik, membuat kita bersikap peduli setan pada genre metal “apaan nih?” yang sedang mereka mainkan. Yang jelas badan pendengarnya kelojotan. Benar-benar menghabisi kita dengan kebijaksanaan musikal. Berdasarkan liner note soundcloud-nya, single ini adalah hidangan pembuka sebelum kita disambut album “Karya Menentang Alam” yang sepertinya akan rilis 2017. Sepak terjang duet Ramaputratantra dan Rendy Pandita ini patut kita tunggu.

Zero One – Anjing

Sebagai musisi, Young Lex sangat kontroversial. Namun sebagai entrepreneur, harus diakui dia punya kejelian tersendiri. Setidaknya, intuisi bisnis dan jaringan yang dia bangun berhasil menggaet sesama rapper muda menjanjikan seperti Niska dan Laze bergabung dalam proyeknya: kolektif Zero One. “Anjing” adalah tipikal trap kekinian diimbuhi braggadocio standar, tapi dikemas dengan mass appeal tinggi, serta perubahan beat di akhir lagu yang cukup bikin senyum mengembang. Tentu saja, lirik Niska menjadi alasan terkuat lagu ini wajib masuk daftar kami. Dia begitu santainya menggabungkan Jokowi, Sebastian Gunawan, Perum Peruri, dan ajakan Stop Reklamasi Teluk Benoa dalam satu tarikan nafas.  

Bars of Death – Tak Ada Garuda di Dadaku

“Kedaulatan instrumen baton industri sawit berkanon
Kerakyatan yang dipimpin oleh perwakilan para baron
…….
sila lima tak berlaku bagi penghuni dasar piramid
Tanpa Hankam takkan ada bisnis beceng dan pasar dinamit
Tak ada anggaran militer tanpa isu ancaman palu arit
Kemanusiaan yang adil dan beradab di bawah bedil dan profit”

Single kedua dari proyek reuni Ucok dan Sarkasz ini adalah materi pendidikan bela negara terbaik untuk anak-anak muda Indonesia. ‘Nuff said.

Dipha Barus feat. Kallula – No One Can Stop Us

Kancah musik elektronik Indonesia sangat mengasyikkan tiga tahun terakhir. Namun, Dipha Barus melalui single No One Can Stop Us bisa membuka gerbang bagi musisi EDM lain yang menjanjikan, misalnya CVX—bintang gemilang techno house kancah bawah tanah—ke pasar arus utama. Anthem ini sudah menjajah bermacam lantai dansa. Padahal tahun ini saja, produser sekaligus DJ asal Jakarta itu menelurkan hits lain “Lemme Get That” bersama Rinni Wulandari dan Teza Sumendra. Agaknya kita hanya bisa mengikuti arus, yang sedang dinahkodai oleh Dipha Barus.

Bin Idris – Jalan Bebas Hambatan

Melalui lagu “Jalan Bebas Hambatan,” kita bisa melihat betapa Haikal Azizi adalah seorang vokalis yang cerdas sekaligus ngocol. Tak percaya? Sila simak potongan liriknya yang sekilas ditulis oleh pemuda yang kenyang pulang kampung lewat jalur pantura. “Santai saja engkau menyupir. Kalau mengantuk tinggal melipir ke rest area. Beli gorengan 2000 tiga.” Yak! Inilah (calon) lagu roadtrip mudik lebaran terngehek dalam album folk Indonesia paling inovatif tahun ini. 

Collapse –  Given

Anda masih ingat album Foo Fighters pasca There is Nothing Left To Run?  Tepatnya ketika Chriss Shiflett baru bergabung dan Dave Grohl belum pengen jadi The Next Godfather of Modern Rock N Roll? Album guitar driven yang bagus tanpa ego berlebihan. Lagu proyek solo salah satu anggota band brutal Alice ini sebagus itu. Beneran.

Jason Ranti – Bahaya Komunis

Lagu folk paling kocak tahun ini tentang fobia-fobia usang yang terus dipelihara sampai sekarang. Coba baca cuplikan liriknya berikut: “maka pertama kuamankan keluarga dari bahan pangan yang mengandung unsur komunis, yang manis-manis yang manis-manis, yang marxist-marxist. Akan kularang itu chinese food, itu babi merah, itu kolang kaling, vodka Rusia dan sayur genjer. Semua kubredel.” Kami berani taruhan, anda bakal kesusahan mencari lirik lagu lokal sekonyol ini sepanjang 2016.

Randy Pandugo – I Don’t Care

Lanskap pop Indonesia semakin didominasi single-single. Randy Pandugo adalah paket yang paling kuat sejauh ini. Fisik, olah vokal, dan pengemasan video klipnya mampu menjangkau sebanyak mungkin pendengar. Tapi dia tidak sendiri. Rizky Febian dan Teza Sumendra siap menikung, karena merekalah trio solois pria paling menjanjikan saat ini (kecuali Kunto Aji kembali merilis album kedua sekuat debutnya tahun lalu), yang mempunyai gaya eksperimentasi khas masing-masing. Album dari Randy, maupun Rizky dan Teza, patut ditunggu.

Wreck – O’ Heaven, I Am Bored!

Kuartet post-hardcore asal Bandung, Wreck mengagetkan saya dengan perkembangannya yang sangat pesat ketika track baru mereka ini dirilis. Terdengar seperti At The Drive-In di era In/Casino/Out yang sedang mengeksplor sound-sound baru, Wreck terdengar old school namun juga segar. Di lagu ini, mereka bernyanyi tentang hidup yang kerap menyebalkan dan mencari definisi kehidupan yang berbeda: “It’s time for living / because life has no meaning,” sebelum akhirnya tembang diakhiri dengan “There is no exit / but i’m ready to go / Quit”. Dramatis? Pastinya. Namun hidup terkadang memang dramatis.

Rich Chigga – Dat $tick

Masih perlu dijabarkan panjang lebar? Intinya sensasi tidak datang setiap hari. Ini jenis lagu bernilai amal jariyah tinggi, karena membuat banyak kepala menengok kembali kancah hip hop lokal. Rich Chigga memberi alternatif ketika lanskap pop Indonesia sedang dikuasai trium virat Tulus, Raisa, dan RAN. Ya, 2016 adalah tahun gemilang untuk musik hip hop di Indonesia. Di tengah semua gairah ini, Rich Chigga semacam meteor, yang kelewat sayang jika pendar cahayanya langsung redup tahun depan.