Di tengah bencana hidrometeorologi hingga ancaman tenggelamnya ratusan pulau, kebijakan pemerintah Indonesia justru sering tidak mendukung kelestarian lingkungan. Menurut survei global, tingkat kesadaran publik Indonesia akan krisis iklim relatif rendah, sedangkan persentase penyangkal perubahan iklim relatif tinggi dibanding negara lain. Tetapi, anak muda menunjukkan tren yang berbeda.
Generasi muda di Indonesia terbukti lebih peduli isu lingkungan dan memiliki literasi perubahan iklim yang memadai. Selain itu, aktivisme iklim di Indonesia juga terlihat meningkat, meski masih relatif sepi dibanding negara-negara maju.
Videos by VICE
Kajian awal pada 2020 di Indonesia menemukan dari 110 responden Generasi Z yang disurvei, lebih dari 80 persen responden punya kesadaran iklim tinggi.
Partisipasi anak muda punya efek yang menularkan aktivisme di antara sesamanya. Sejalan dengan tren global, aktivisme iklim anak muda juga jadi ujung tombak untuk mendesak pemerintah dan mengawal kebijakan lingkungan.
Sayangnya, saat ini masih minim data tentang pola partisipasi iklim anak muda di Indonesia, dan apa yang memotivasi mereka. Penelitian kami di Remotivi mengisi kekosongan ini melalui survei terhadap 612 anak muda usia 16-30 tahun dan focus group discussion (FGD) dengan aktivis lingkungan.
Riset ini mengonfirmasi tren positif bahwa anak muda tidak hanya sadar iklim, tapi juga bertindak untuk mitigasinya – terutama melalui konsumsi ramah lingkungan. Selain itu, penelitian juga menelusuri faktor apa yang memotivasi aksi iklim di kalangan muda.
Didominasi semangat konsumsi etis
Kami menemukan partisipasi anak muda dilakukan lewat dua jalan. Jalan pertama, dan yang paling dominan, adalah lewat konsumsi ramah lingkungan. Ini merupakan aksi individu untuk mempertimbangkan dampak pola konsumsi mereka bagi lingkungan.
Partisipasi ini merupakan wujud kuasa individu sebagai konsumen untuk mendorong perubahan lewat intervensi ke pasar. Gambar 1 menunjukkan rata-rata 70 persen responden telah berpartisipasi dalam berbagai praktik konsumsi ramah lingkungan, terutama mengurangi konsumsi energi dan sampah, serta memilih produk ramah lingkungan. Rata-rata responden pun telah melakukannya secara rutin.
Temuan ini tidak mengherankan karena jalan partisipasi ini lebih rendah risikonya dan dapat dilakukan lewat tindakan keseharian.
Jalan kedua, aktivisme lingkungan, merupakan aksi kolektif di ruang publik yang sifatnya menuntut perubahan kebijakan. Partisipasi ini menyasar pejabat atau institusi pemerintah, dan berangkat dari kuasa individu sebagai warga untuk mendorong perubahan lewat intervensi ke negara.
Dari Gambar 2, terlihat bahwa partisipasi melalui aktivisme lingkungan telah dilakukan lebih dari 50 persen responden dalam bentuk mengikuti kampanye, menandatangani petisi, dan memberikan donasi.
Dalam dua bentuk aktivisme lainnya (protes dan audiensi), partisipasi anak muda masih kurang dari 30%. Namun, setidaknya sekitar 40% menyatakan kesediaan melakukannya di masa depan.
Data ini kami baca sebagai harapan sekaligus tantangan dalam mengatasi krisis iklim.
Di sini, kabar baiknya mayoritas responden tidak hanya memiliki kesadaran akan urgensi perubahan iklim, tetapi juga kesediaan untuk terlibat dalam upaya mitigasinya.
Namun, yang perlu dicermati, komitmen generasi muda untuk berpartisipasi ternyata lebih banyak direalisasikan lewat jalan konsumsi ramah lingkungan, ketimbang aktivisme lingkungan.
Ini merupakan tantangan. Meski pola konsumsi ramah lingkungan itu penting, studi telah menunjukkan bahwa ini kurang berdampak dalam mendorong komitmen pemerintah mengatasi krisis iklim.
Lalu, pertanyaannya: apa yang memotivasi anak muda untuk lebih terlibat dalam aktivisme lingkungan?
Peran krusial organisasi lingkungan di medsos
Analisis survei kami menunjukkan motivasi anak muda untuk terlibat aktivisme lebih kompleks jika dibandingkan dengan konsumsi ramah lingkungan.
Untuk konsumsi ramah lingkungan, faktor pengetahuan sang individu menjadi variabel paling signifikan.
Sebaliknya, untuk terlibat aktivisme, anak muda tidak hanya perlu memiliki motivasi dan pengetahuan individual, atau sekadar respons emosi yang tepat mengenai perubahan iklim.
Yang lebih krusial justru adalah seberapa terhubung mereka dengan ekosistem media sosial dan seberapa efektifnya peran lembaga non-pemerintah (NGO) lingkungan berperan sebagai komunitas. Keduanya adalah faktor yang punya pengaruh paling besar bagi tingkat aktivisme lingkungan anak muda.
Anak muda yang mengikuti NGO lingkungan di media sosial memiliki tingkat partisipasi lebih tinggi dibanding non-pengikut dalam setiap indikator aktivisme.
Di sini, semakin banyak anak muda terpapar isu lingkungan, mengekspresikan opini, dan membangun jejaring komunitas iklim di media sosial, semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam aktivisme lingkungan.
Menurut informan kami, dalam mengelola akun media sosial, NGO lingkungan sebisa mungkin mendesain konten agar “mendekatkan audiens dengan isu perubahan iklim yang terkadang rumit dan kompleks, menjadi masalah yang lebih konkret di kehidupan sekitar.”
Tak berhenti di situ, media sosial organisasi lingkungan juga menghubungkan anak muda yang memiliki kekhawatiran yang sama untuk merasa “senasib sepenanggungan” dan membuka jalan untuk “menyalurkan rasa frustasi jadi bentuk aksi kolektif.”
Memperluas akses untuk aktivisme
Serangkaian temuan ini menegaskan media sosial dapat menyediakan ruang untuk “politisasi”. Di ruang ini, NGO lingkungan menjadi aktor penting dalam mengorganisasi kesadaran politis anak muda menjadi upaya aksi kolektif.
NGO dan komunitas lingkungan berperan sebagai penyangga ekosistem ini dengan mendorong aliran informasi mengenai isu lingkungan. Bila kita bandingkan dengan konten lingkungan di media massa, akun NGO lingkungan tidak sekadar menyediakan informasi, tetapi juga mengasah sikap kolektif dan politis terhadap perubahan iklim sekaligus menyediakan cara bagi audiensnya untuk terlibat.
Berdasarkan temuan ini, apa pelajaran yang bisa dipetik untuk aktivisme lingkungan?
Pertama, akun media sosial NGO perlu memperluas jangkauan audiensnya untuk memperkuat aktivisme lingkungan anak muda. Misalnya, mereka bisa mendesain agar informasi dan format konten sesuai dengan kebutuhan anak muda.
Temuan kami menunjukkan anak muda menginginkan lebih banyak informasi mengenai dampak dan relevansi krisis iklim dalam kehidupan sehari-hari, serta disajikan dalam format video pendek.
Kedua, perlu aktivisme lingkungan yang lebih mudah diakses. Artinya, organisasi lingkungan harus lebih gencar membumikan dorongan aksi – dari kesadaran akan konsumsi etis yang sudah ada menjadi kampanye kolektif.
Salah satu cerita sukses datang dari Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik yang kampanye dan petisinya berhasil mendorong penerapan aturan kantong plastik berbayar dalam peraturan daerah.
Di sisi lain, media sosial juga memberikan tantangan bagi NGO lingkungan berupa banyaknya kampanye misinformasi yang menyuburkan penyangkalan perubahan iklim. Struktur media sosial yang memperparah kamar gema (echo chambers) juga memperuncing polarisasi dalam ruang digital.
Kita perlu terus menjaga agar ekosistem informasi bisa tetap inklusif dan merangkul audiens dengan tingkat kesadaran yang beragam.
Aulia Nastiti adalah kandidat Ph.D bidang ilmu politik di Northwestern University; Geger Riyanto adalah kandidat doktor di Institute of Anthropology, University of Heidelberg.
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.