Membangkitkan Ritual Kuno Memuja Tuhan Saat Malam Purnama di Candi Jago

Ritual Kuno Memuja Tuhan Saat Malam Purnama di Candi Jago Malang

Kazuki Sakai, guru berumur 27 tahun asal Kobe, Jepang, tak berhenti tersenyum memesan ojek online untuk mengantarnya ke Candi Jago, Tumpang, sekitar 22 kilometer dari pusat Kota Malang. Dia tak sabar mengikuti ritual Padang Bulan. Sebuah ritus upacara klasik yang kini tak lagi banyak dipraktikkan penduduk Jawa.

Hari itu minggu. Sebelum ke area candi, Kazuki menghabiskan harinya berleha-leha main game online sampai jarum jam melewati angka tiga. Dia mengaku enam hari sebelumnya sudah kelelahan mengajar Bahasa Jepang di SMA Diponegoro, Tumpang. Kazuki sedang mengikuti program kerjasama pemerintah Jepang dan Indonesia. “Saya sangat menyukai budaya Indonesia,” ujarnya pada VICE. “Saya menguasai tari Bapang khas Malang.”

Videos by VICE

Kazuki diundang mengikuti undangan Ki Soleh, seorang Budayawan paruh baya yang mewarisi tiga padepokan kesenian di Kabupaten Malang. Sejujurnya, dia juga belum tahu seperti apa ritual padang bulan itu.

Titik kumpul peserta adalah pangkalan pendaki Gunung Semeru, Kafe Mesem milik pasangan suami istri, Lukman Agus dan Siti Nurvianti. Setiba di lokasi, Kazuki melihat Candi Jago berubah menjadi semacam arena festival semarak. Banyak orang mengenakan surjan, ikat kepala, sementara gerombolan penari bersiap-siap dengan topeng dan busana mereka.

1576059522771-DSC01296
Sosok Ki Soleh menyambut para peserta ritual Padang Bulan.

Ternyata yang datang bukan cuma orang yang berniat mengikuti prosesi upacara. Hari itu, belasan mahasiswa dari Universitas Negeri Surabaya dan Universitas Muhammadiyah Malang turut hadir, untuk menggelar pentas tari. Kazuki mengaku menikmati atmosfer di lokasi. Ada sesuatu yang magis di sana.

Atmosfer itu, bagi Dwi Mega Pratiwi, mahasiswi Universitas Negeri Malang, amat memabukkan. Karenanya dia memutuskan kembali datang. Ini kali keempat dia mengikuti ritual Padang Bulan. “Saya ketagihan ikut,” ujarnya pada VICE. Sama seperti Kazuki, Dwi Mega mengenal adanya prosesi ini berkat pengalamannya belajar kesenian tradisi pada sosok Ki Soleh.

Seperti apa sih sosok Ki Soleh itu?

Jawabannya ternyata saya dapat tak berapa lama kemudian. Dia segera muncul menyambut ratusan orang yang sudah menyemut di pelataran kafe Mesem. Ki Soleh mengingatkan kita pada sosok orang sakti masa lalu, lengkap dengan cambang dan asap sigaret yang tak henti mengepul. Seakan-akan dia melintasi waktu dan menyambangi Malang di Abad 21. Dia memimpin kami semua—bocah, remaja, sampai manula—agar khidmat mengikuti ritual Padang Bulan.

1576059758216-Untitled-design-2019-12-11T172218875
Kelompok tari mahasiswa bersiap tampil sebelum puncak ritual Padang Bulan.

Tarian Topeng memulai kegiatan malam itu, menceritakan cerita kerajaan Singosari yang terukir di relief Candi Jago lengkap diiringi dengan tabuhan kendang. Lantas Ki Soleh yang mengkidungkan macapat (gambaran kehidupan manusia yang dilantunkan melalui tembang Jawa). Kidung merdu yang ia lantunkan sukses menghipnotis para penonton, termasuk Kazuki.

Rangkaian ritual itu mengajak siapapun mengenang Jawa berabad lampau, ketika padang bulan masih amat dianggap sakral. Prosesi Padang Bulan selalu digelar kala bulan purnama sempurna, membuat malam ditenari siang yang amat bersahabat untuk mata manusia. Karenanya, masyarakat Jawa Kuno biasanya menantikan momen tersebut untuk berkegiatan.

Anak-anak bermain, petani pergi ke kaki gunung untuk bersemedi dan bersyukur atas tanah yang subur, sedangkan nelayan pergi ke laut menghaturkan syukur pada Yang Maha Kuasa atas hasil tangkapan mereka.

Masyarakat Jawa di masa lalu memanfaatkan peristiwa Padang Bulan dengan mandi kembang tujuh rupa untuk memperoleh ilmu mistis (sulok) saat tengah malam. Saat ini ritual ini sudah jarang ditemukan karena anak muda tak lagi tertarik melakoninya. Siapa sangka, di Tumpang, Malang, masih ada orang yang berusaha mempertahankan tradisi tersebut.

Ritual Padang Bulan digagas kembali tahun 2017 oleh seniman lokal Lukman Agus dan Ki Soleh. Selain pelestarian budaya, prosesi pencarian jati diri itu melibatkan semedi di Candi Jago, serta kontemplasi mendoakan arwah raja-raja Singosari. “Dalam ilmu semiotika padang bulan menyimbolkan bersatunya mikrokosmos dan makrokosmos, di mana arti simbol tersebut mengajak untuk mengenal lebih dekat kepada Tuhan,” kata Ki Soleh.

Ki Soleh meyakini, dalam momen purnama sempurna wahyu atau sasmita, akan tercurahkan kepada mereka yang mengikuti ritual dengan khidmat. Karena malam saat Padang Bulan memiliki getaran ilahi yang luar biasa—berbeda dari biasanya.

1576059567586-DSC01652
Doa dan semedi digelar di punden teratas Candi Jago.

Ratusan orang datang sukarela, seperti peserta ziarah keagamaan. Padang Bulan tak terasa seperti festival kebudayaan. Ada yang lebih sakral di sini. Sebagian rela menempuh jarak berkendara puluhan kilometer ke Candi Jago, agar bisa mengikutinya. Salah Satunya Binar Makhfi Rohman mahasiwa teknik elektro Universitas Muhammadiyah. Malam itu, dia ikut menabuh gamelan. “Kalau bukan kita anak muda siapa lagi, masa mau lagi-lagi kebudayaan kita kecolongan diakui negara tetangga,” katanya.

Bulan makin membulat sempurna di langit. Ki Soleh mengajak peserta beramai-ramai jalan kaki ke Candi Jago. Peserta yang sedang haid tidak diperbolehkan mengikuti prosesi ini, karena dianggap belum suci untuk berhadapan langsung dengan Tuhan.

1576060083362-DSC01656

Jalan malam itu sunyi, para pelintas langsung minggir mematikan mesin kendaraan mereka, seakan sudah paham tanpa diberitahu. Sesampainya di Candi Jago para peserta ritual ini langsung baris di depan bangunan batu andesit purba itu.

“Mari kita semua mendoakan arwah raja-raja Singasari, menghaturkan ucapan syukur kepada Tuhan atas kemakmuran, kesuburan, dan masa depan tanah air,” kata Ki Soleh. “Ikuti prosesnya dengan khidmat agar dapat mencurahkan seluruh raganya kepada alam semesta.”

Kidung macapat kembali dikumandangkan. Belasan orang menari serentak. Mereka melenggak-lenggokan tubuh secara alami menggunakan nuraninya. Tidak ada koreo tetap dalam gerakan ritual puncak Padang Bulan.



Ki Soleh baru menggiring seluruh peserta ritual Padang Bulan naik ke candi sambil membawa sesajen persembahan untuk roh-roh leluhur raja-raja Singasari, sesajen yang dibawa oleh Ki Soleh adalah bahan-bahan pangan yang biasa dikonsumsi, seperti beras, kopi, jajanan pasar diiringi dengan pembakaran kemenyan.

Dia kemudian menaruh sesajen lalu mengisyaratkan para peserta duduk bersamanya. Beliau lalu mengajak para peserta Padang Bulah untuk turut mendoakan arwah leluhur kerajaan Singosari menurut agama dan kepercarcayaan masing. Kazuki dan Dwi Mega ikut serta di baris belakang. Ki Soleh memimpin prosesi ini dengan menutup mata dan merapatkan tangan di dada, lalu mengucapkan “Rahayu.”

1576060148903-Untitled-design-2019-12-11T172850439
Sebagian peserta melakukan tarian tanpa koreografi di area Candi Jago.

Prosesi selesai tepat pukul 01.00 dini hari. Tapi banyak orang tak segera pulang. Ada yang melanjutkan untuk berdoa di Puncak Candi Jago, meditasi, dan Yoga.

Ki Soleh mengaku kegiatan ini, kalau memang butuh ongkos, sepenuhnya dari kocek pribadi para peserta. Dia berjanji, akan berusaha semaksimal mungkin agar ritual ini akan terus ada dan tak tenggelam oleh zaman.

“Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah kita harus mengingat darimana kita berasal, serta jasa-jasa leluhur terdahulu kita,” kata Ki Soleh.

Kazuki, dengan Bahasa Indonesia yang terbatas, hanya bisa memahami sebagian keterangan soal ritual yang baru dia ikuti sampai tuntas. Tapi dia berjanji akan kembali lagi. Sama seperti ratusan orang lain yang memuja energi bulan di atas candi selatan Malang itu sebulan sekali.