Suatu hari di bulan November 2015 Oman Rochman alias Aman Abdurrahman yang tengah menjalani hukuman di Lapas Kembang Kuning, Nusakambangan kedatangan beberapa orang pengunjung. Oman, pria kelahiran Sumedang 5 Januari 46 tahun silam, saat itu tengah menjalani hukuman setelah divonis sembilan tahun penjara pada 2010 lantaran terbukti membantu pelarian otak bom Bali Dulmatin dan menyumbang duit Rp20 juta untuk pelatihan militer di Jalin Jantho, Aceh Besar.
Salah seorang pengunjung tersebut adalah Saiful Munthohir alias Abu Gar yang tak lain adalah kawan lama Aman. Saiful sengaja datang jauh-jauh dari Malang, Jawa Timur ke Nusakambangan untuk melaporkan hasil pengajian di Batu yang diadakan beberapa hari sebelumnya. Ia membawa kabar gembira bagi Aman bahwa pengajian yang diadakan selama tiga hari dan diikuti sekira 30 orang tersebut sukses menyatukan beberapa pendukung ISIS dalam satu wadah bernama Jemaah Ansharut Daulah (JAD), sesuai anjuran Aman. Hasil tersebut sesuai dengan harapan Aman, yang ingin mengorganisir para pendukung ISIS untuk segera berjihad dan berhijrah ke Suriah.
Videos by VICE
Tapi Aman tak cuma ingin mendengar laporan Saiful tersebut. Ada hal lebih penting yang ingin ia utarakan kepada Saiful. Aman kemudian bercerita tentang rangkaian serangan yang terkoordinir di beberapa lokasi di Paris yang menewaskan 137 orang pada 13 November 2015. Aman lantas menyuruh Saiful untuk segera hijrah ke Suriah, tapi jika tidak mampu, Saiful dianjurkan berjihad di negara sendiri. Tiba-tiba dengan isyarat tangan, Aman meminta Saiful untuk mendekat.
“Ada perintah dari umaroh (pemimpin khilafah di Suriah),” bisik Aman ke telinga Saiful. “Teknis pelaksanaannya nanti akan disampaikan oleh Rois,” sebagaimana dikutip dari dokumen persidangan.
Sesuai arahan Aman, Saiful kemudian beranjak menemui Rois, nama alias Iwan Darmawan Muntho. Rois adalah terpidana mati dalam kasus serangan bom di Kedubes Australia pada 2004 yang berada satu blok dengan Aman di lapas Kembang Kuning, Nusa Kambangan. Rois ternyata sudah menyiapkan rencana buat Saiful. Di pertemuan singkat tersebut Rois kembali mempertegas perintah yang dimaksud Aman soal jihad.
“Untuk melaksanakan amaliah jihad (serangan) seperti yang terjadi di Paris, Perancis,” kata Rois.
Rois dan Saiful adalah veteran konflik Poso dan sudah saling kenal sejak lama. Maka bukan secara kebetulan jika Rois memilih Saiful untuk melaksanakan serangan. Reputasi Saiful yang kelahiran Cilacap 24 April 1973 tersebut sebagai ahli militer di kalangan jihadis bukan rumor belaka. Saiful punya sejarah panjang dalam gerakan Islam radikal. Ia bergabung dengan Darul Islam saat menginjak usia 21 tahun.
Saat konflik Ambon meletus pada 2001, Saiful memutuskan bergabung dengan Komite Penanggulangan Krisis (KOMPAK), dan berangkat ke gelanggang konflik sebagai instruktur bom dan kemiliteran. Salah satu muridnya adalah Daeng Koro alias Sabar Subagyo, yang kelak bakal menjadi tangan kanan Santoso, pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang beroperasi di Pegunungan Biru, Poso, Sulawesi Tengah.
Saiful awalnya ragu untuk menerima perintah Rois karena ia tengah fokus dengan kegiatan kemiliteran di Ambon. Namun setelah berunding, Saiful akhirnya setuju untuk mencari koordinator yang sanggup mengeksekusi perintah Rois. Tak lupa sebagai dana operasional, Rois sudah menyiapkan Rp200 juta yang didapatnya dari Suriah untuk serangan tersebut. Dana tersebut kemudian digunakan oleh Saiful untuk berbelanja senjata, meracik bom dan merekrut empat orang eksekutor lapangan.
Saiful tak menemukan kesulitan berarti dalam merekrut orang dan mencari senapan. Berkat jejaringnya, Saiful berhasil mendatangkan dua pucuk pistol jenis FN warna perak dari Mindanao, Filipina dan berhasil merekrut empat orang eksekutor lapangan.
Beberapa bulan kemudian setelah pertemuan antara Aman, Rois, dan Saiful -tepatnya pada 14 Januari 2016- sebuah serangan terjadi di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Delapan orang, termasuk empat orang pelaku, tewas dan 24 orang lainnya luka-luka dalam serangan tersebut.
Para anggota JAD kemudian berturut-turut melakukan aksi serupa di berbagai daerah. Pada 13 November 2016, salah seorang peserta pengajian di Batu, Malang Joko Sugito menyuruh anggota JAD, yang bernama Juhanda alias Jo untuk menyerang gereja HKBP Oikumene, Samarinda dengan bom molotov yang menewaskan seorang bocah dan melukai lima orang lainnya. Kemudian tanggal 24 Mei 2017, dua buah bom meledak di terminal Kampung Melayu, menyebabkan lima orang tewas (termasuk dua orang pelaku) dan tiga lainnya luka berat.
Seruan Aman dari lapas Nusa Kambangan untuk berjihad di negara sendiri pada akhirnya benar-benar disambut oleh para pendukung ISIS.
Hubungan Saiful dan Aman sebenarnya lebih dari sekadar teman biasa. Mereka adalah guru dan murid. Keduanya bertemu pada 2003 saat Aman mengisi dakwah di sebuah pengajian di masjid At-Taqwa, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dalam soal tauhid, Aman adalah guru bagi Saiful. Aman yang lulus dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) pada 1999 dengan predikat cum laude, sudah terkenal sebagai pengisi ceramah tauhid se-Jabodetabek. Hafalan Al-Qurannya mumpuni, ilmu agamanya di atas rata-rata orang, bahasa Arabnya canggih, suaranya tenang namun tegas hingga mampu membius ratusan jemaah sepanjang kariernya sebagai ustaz. Buku Seri Materi Tauhid yang terdiri dari 19 jilid dan terbit pada 2008 telah menjadi rujukan bagi para pengikut Aman dan tersebar secara masif di internet.
Aman yang kala itu baru ganas-ganasnya berdakwah tentang takfiri (mengkafirkan paham yang berbeda –red) setelah terpengaruh ustaz Salafi asal Yordania Abu Muhammad Al Maqdisi, membuat kagum Saiful yang tanpa perlu disuruh dua kali menjadi rajin mengikuti ceramah Aman tentang syirik. Saiful percaya bahwa pemerintah adalah thogut, sementara demokrasi adalah hukum thogut, sehingga keduanya wajib diperangi.
Tonton dokumenter VICE mengenai sisa-sisa kamar penyiksaan penuh kengerian di Kota Mosul, setelah ISIS dikalahkan tentara Irak:
Bagi Aman, yang tak memiliki pengalaman militer barang secuil pun, Saiful adalah seorang mentor yang dianggap kompeten dalam jihad fisik. Karena kondisi tubuh adalah salah satu keutamaan dalam jihad, Aman mulai rajin ikut latihan fisik di hutan Universitas Indonesia, Depok pada 2004 di bawah komando Saiful. Lantaran tak punya senjata api maupun tajam, latihan tersebut cuma sebatas push-up, lari, dan latihan bela diri.
Merasa tak cukup sekadar latihan fisik, Saiful mulai mengajari Aman untuk membuat bom. Aman yang kala itu tinggal di Cimanggis, Depok, merelakan rumah kontrakannya sebagai lokasi pelatihan merakit bom. Ada delapan orang yang rutin mengikuti pelatihan merakit bom yang kadang diselingi acara pengajian tersebut.
Namun baru tiga kali mengadakan latihan, secara tak sengaja bom yang tengah dirakit tersebut meledak dan menghancurkan langit-langit rumah. Insiden itu terjadi pada 21 Maret 2004. Tidak ada korban dalam ledakan terserbut. Namun warga yang curiga akhirnya melaporkan komplotan Aman cs ke polisi. Aman kemudian divonis tujuh tahun penjara pada 2005 dan bebas pada 2008. Itulah pengalaman pertama Aman merasakan dinginnya hotel prodeo sekaligus awal mula dirinya terjun ke dunia jihad dengan kekerasan.
Sementara Aman mendekam di penjara, Saiful melenggang kangkung ke Ambon menghindari kejaran aparat. Belakangan pada 2006 Saiful divonis sembilan tahun penjara karena keterlibatannya dalam serangan di sebuah pos Brimob di Loki, Kabupaten Seram Bagian Barat, Ambon yang menewaskan lima personel Brimob dan seorang juru masak. Ia kemudian dibebaskan pada 2011.
Reuni terakhir antara murid dan guru tersebut terjadi di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa pekan lalu. Saiful menjadi saksi kunci bagi Aman yang tengah menghadapi tuntutan hukuman mati karena diduga terkait serangkaian serangan teror – termasuk serangan bom Thamrin dan Kampung Melayu. Saiful sudah terlebih dulu divonis sembilan tahun penjara karena terbukti mengkoordinir serangan Thamrin.
Dalam persidangan tersebut, Aman didakwa menggerakkan orang untuk melaksanakan aksi terorisme. Dari keterangan yang disampaikan di meja hijau, beberapa fakta tentang karakter organisasi JAD yang selama ini masih misteri jadi terkuak.
Dari berkas tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum, terungkap bahwa sesaat setelah Abu Bakar Al Baghdadi mendeklarasikan berdirinya ISIS pada 29 Juni 2014, Aman langsung berbaiat kepadanya dan tergerak untuk mendirikan sebuah organisasi pendukung ISIS. Aman kemudian memerintahkan salah satu murid lamanya Zainal Anshory dan rekannya Marwan alias Hari Budiman alias Abu Musa untuk menggelar pengajian guna menyatukan pendukung ISIS di Indonesia. Pasca pengajian yang diadakan di Batu, Malang pada November 2014 tersebut lantas terbentuklah susunan organisasi JAD.
Setelah pengajian di Batu, Malang tersebut, Aman menunjuk Marwan sebagai amir pusat JAD dan Saiful Munthohir sebagai panglima militer (asykari). Namun beberapa minggu kemudian, karena Marwan harus berangkat ke Suriah untuk angkat senjata, posisi amir pusat lantas jatuh ke tangan Zainal Anshori. Aman kemudian segera memerintahkan para amir di daerah untuk merekrut anggota dan memberangkatkan mereka ke Suriah. Ia juga memerintahkan Saiful untuk menggelar latihan militer bagi anggotanya sebelum angkat senjata di Suriah.
Organisasi JAD rupanya memiliki struktur konvensional seperti organisasi teroris pada umumnya, walau bisa dibilang kurang rapi. Di tingkat provinsi atau wilayah dipimpin oleh seorang amir, kemudian di tingkat kabupaten adalah mudiriyah, dan terakhir adalah qoriyah atau setingkat kecamatan. Belum diketahui apakah JAD memiliki sayap dakwah untuk perekrutan dan kepengurusan hingga unit terkecil seperti halnya Jemaah Islamiyah (JI).
Berbeda dengan JI, amir JAD di daerah bisa leluasa melancarkan serangan teror tanpa harus melapor dan berkoordinasi dengan amir pusat. JAD Jawa Tengah yang dipimpin oleh Fauzan Mubarok diketahui merencanakan menyerang markas polisi di Tuban, Jawa Timur. Di Bima, NTB, anggota JAD pimpinan Abu Salma pada September 2017 melakukan penembakan terhadap seorang anggota polisi yang menyebabkan luka-luka. Semua serangan tersebut terjadi secara independen tanpa diketahui oleh petinggi JAD di pusat.
Struktur organisasi JAD diketahui ada di beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Ambon, Nusa Tenggara Barat, dan Jabodetabek. Jumlah pasti pengikutnya sampai saat ini memang belum terdeteksi.
Kini kebanyakan tokoh kunci JAD sudah ditangkap oleh Densus 88. Tapi masih banyak pula yang hingga saat ini belum ditemukan. Terlalu dini jika mengatakan ini adalah akhir dari JAD.
Setidaknya ada empat hal yang membuat JAD sulit dibongkar. Pertama, para anggota yang bergabung dalam sel-sel kecil di setiap daerah mungkin tak mengenal satu sama lain sehingga menyulitkan proses pelacakan bagi aparat kepolisian. Untuk memetakan jejaring mereka pun tentu akan lebih sulit jika dibandingkan dengan operasi pemberantasan teror di era JI. Sel-sel kecil JAD dapat bergerak secara mandiri tanpa harus menunggu komando. Sel-sel tersebut justru berbahaya. Satu serangan di suatu tempat bisa menginspirasi sel di tempat lain, sehingga muncul efek domino.
Kedua, radikalisasi via sosial media dan aplikasi pesan instan membuat siapa pun rentan menjadi pendukung ISIS dan gampang untuk direkrut. Walhasil jumlah mereka yang berbaiat pada ISIS atau mendukung JAD tidak diketahui dengan pasti. Pesatnya arus konten radikal juga membuat seseorang bisa menjadi militan dalam hitungan bulan, yang meningkatkan risiko seseorang untuk melakukan serangan lone wolf alias aksi seorang diri.
Hal ketiga adalah komunikasi dan radikalisasi di penjara. Para napi terorisme di penjara masih bisa leluasa berkoordinasi dengan dunia luar, seperti dalam kasus bom Thamrin. Para napi juga punya kesempatan untuk berkomunikasi dengan sesama napi untuk menggelar ceramah yang memungkinkan perekrutan anggota baru dari dalam penjara.
Keempat, regenerasi untuk mengganti pemimpin yang ditangkap atau tewas dapat dengan mudah dilakukan. Aman Abdurrahman diketahui memiliki ratusan pengikut dan pendukung yang sewaktu-waktu dapat dilantik sebagai pimpinan atau anggota.
Sidney Jones direktur Institute for Analysis of Conflict (IPAC) mengatakan bahwa meski beberapa petinggi JAD sudah ditangkap, bukan berarti ancaman serangan akan hilang begitu saja. “Selalu ada regenerasi dalam jaringan terorisme,” kata Sidney kepada VICE Indonesia. “JAD adalah kelompok pendukung ISIS terbesar, tapi ia tidak sendirian. Ada banyak kelompok kecil pendukung ISIS. Dan kapasitas regenerasi mereka sudah jelas.”
Tonton dokumenter VICE soal para pasukan tempur asing yang sukarela berjuang membantu rakyat Irak melawan ISIS:
Menurut Sidney ada beberapa kelompok seperti Khatibul Iman di Solo dan Jambi; Al-Hawariyun yang terkoneksi dengan Suriah; dan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) di Bandung, Makassar, dan Riau. Kelompok tersebut mungkin terhubung secara ideologi dengan JAD, namun secara kepemimpinan, mereka bergerak sendiri-sendiri.
“Akibatnya, ada kompetisi untuk melakukan amaliyah (aksi teror),” kata Sidney. “Gampang untuk membikin sel baru dan tidak sulit mencari rekrutmen.”
Peran Aman dalam serangkaian teror tersebut memang tidak disangsikan lagi oleh aparat dan masyarakat. Namun dalam sidang pembelaannya pekan lalu, Aman membantah jika terkait dengan semua serangan teror yang terjadi antara 2016-2017. Saat membacakan pleidoinya, Aman mengatakan bahwa dirinya tengah berada dalam sel isolasi sejak Februari 2016 hingga Agustus 2017, sehingga tidak memungkinkan untuk berkomunikasi dengan dunia luar.
Dalam pleidoinya, Aman juga membantah dakwaan jaksa bahwa dirinya menggerakkan orang untuk melaksanakan amaliyah jihad. Ia mengatakan bahwa tulisan atau materi dakwahnya masih menyangkut soal tauhid dan belum membahas soal jihad. Ia juga mengutuk serangan di gereja Samarinda sebagai tindakan yang “melanggar hukum Islam dan dilakukan oleh orang yang tidak paham dengan ajaran agama Islam.”
“Walaupun saya kafirkan aparat pemerintah ini,” kata Aman dalam pleidoinya. “Akan tetapi sampai detik ini saya dalam kajian atau tulisan yang disebarluaskan, saya belum melontarkan seruan kepada saudara-saudara kami yang hidup di tengah masyarakat ini untuk menyerang aparat keamanan.”
Meski tergolong cukup rapi secara organisasional, Aman, sebagai pemimpin spiritual, sebenarnya tidak masuk dalam struktur organisasi tersebut. Adhe Bhakti direktur Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) mengatakan bahwa dalam sebuah jaringan terorisme di Indonesia pemimpin spiritual kadang memang tidak termasuk dalam hierarki organisasi. Pemimpin spiritual, lanjut Adhe, kadang juga tak mengetahui tetek bengek kegiatan operasional organisasinya.
Hal tersebut juga tampak pada struktur Jemaah Islamiyah (JI) yang mendapuk Abu Bakar Baasyir sebagai pemimpin tertinggi yang tidak mengawasi langsung operasi lapangan. Dibandingkan JAD, JI lebih memiliki struktur yang lengkap. Dalam manual Pedoman Umum Perjuangan Al-Jama’ah Al-Islamiyyah (PUPJI) untuk kegiatan operasionalnya mendirikan negara Islam Asia Tenggara, JI memiliki rantai komando dari Markaziah (dewan tertinggi), Mantiqi (regional), wakalah (setingkat provinsi), khatibah (setingkat kota), qirdas (kecamatan), dan fiah (unit terkecil). Dari data International Crisis Group (ICG) JI diperkirakan memilliki lebih dari 900 anggota hingga 2014.
“Dalam soal Aman, dia mungkin tidak tahu menahu soal serangan, tapi dia selalu menjadi rujukan bagi pengikutnya, kata Adhe kepada VICE Indonesia. “Makanya, pemimpin spiritual tangannya selalu bersih.”