Copa del Rey: Kompetisi Bola Penuh Intrik Ideologi Politik di Spanyol

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.

Cope del Rey sudah genap 116 tahun digelar. Pertandingan awal-awal kompetisi tahun ini dipenuhi laga mempertemukan klub-klub dari Segunda B dan Tercera Division yang menyebar di berbagai provinsi seantero Spanyol. Dari Valencia hingga Salamanca, dari Basque hingga Kepulauan Balearik, tim-tim dari divisi empat dan tiga berjibaku untuk memperebutkan tempat di babak berikutnya serta kesempatan bertemu dengan salah satu klub besar di Segunda Division. Jika beruntung menembus babak kedua dan ketiga, impian besar klub-klub bakal terwujud. Di sana, di babak 32 besar, dua raksasa sepakbola Spanyol—Barcelona dan Real Madrid—sudah menunggu mereka.

Videos by VICE

Ketika pertama kali digelar, Copa del Rey terkesan seperti kompetisi amatir. Dalam beberapa tahun awal penyelenggaraannya, pertandingan-pertandingan Copa del Rey dihelat di Hipódromo, Madrid. Stadion Hipódromo dalam sejarah pernah jadi tempat penyelenggaran lomba lari dan lambang dari ibukota aristokrasi lama Spanyol. Stadion ini baru jadi lapangan sepakbola di awal Abad 20. Di sanalah, pada musim semi 1903, sejarah Copa del Rey dimulai.

Sebelum Copa del Rey, ada sebuah kompetisi yang mendahuluinya. Namanya Copa de la Coronación. Kompetisi ini digelar di awal musim panas 1902. Lokasinya masih di Hipódromo. Turnamen yang hanya sekali digelar ini digagas Carlos Padrós, seorang pionir sepakbola Spanyol yang kelak akan menjabat sebagai Presiden Real Madrid FC. Turnamen ini dihelat sebagai perhormataan atas Alfonso XIII yang baru naik tahta, raja yang akan nantinya dijungkalkan dari singgasana lantaran lahirnya Republik Spanyol untuk kedua kalinya.

Alfonso XIII, sosok yang mengilhami Copa de la Coronación.

Copa de la Coronación memberi cetak biru bagi Copa del Rey, terutama dalam kaitannya dengan politik kontemporer Negeri Matador. Kompetisi ini menautkan kompetisi sepakbola yang sedang digandrungi dengan seorang patron baru, seorang raja. Hal ini pada akhirnya mengukuhkan popularitas Padrós. Dua tahun setelah penyelenggaraan Copa de la Coronación, Padrós didapuk menjadi presiden Real Madrid FC. jabatan itu dipegangnya selama empat tahun. Pada masa itulah, Madrid berhasil memenangkan trofi pertamanya dan memulai hikayat panjang sebagai salah satu raksasa sepakbola Spanyo.

Ada satu lagi cetak biru yang ditinggalkan oleh Copa de la Coronación. El Classico—julukan untuk setiap laga Real Madrid vs Barcelona—pertama dalam sejarah terjadi dalam kompetisi ini. Dalam pertemuan di babak semifinal itu, Barcelona keluar sebagai pemenang dengan skor 3-1, sebelum akhirnya takluk di final oleh Biscaya, tim dadakan yang dibuat untuk mewakili Kota Basque, Bilbao. Carlos Padrós turun langsung sebagai wasit dalam pertandingan final. Madrid FC pada akhirnya jadi kampiun dalam Piala Gran Peña, semacam trofi hiburan yang diperebutkan semua klub yang gagal dalam fase awal Copa de la Coronación

Club Bizcaya, klub sepakbola pertama berhasil memenangkan Copa de la Coronación // Via

Menyusul penyelenggaraan Copa de la Coronación yang sukses besar, Copa del Rey digelar setahun kemudian. Kala itu, kompetisi ini belum dikenal dengan namanya sekarang Copa del Rey (atau secara harfiah berarti ‘Piala Raja’). Nama yang digunakan ‘Copa del Ayuntamiento de Madrid’ (atau ‘Piala Dewan Kota Madrid’). Lagi-lagi, penyelenggaraan Copa del Rey pertama kental nuansa politik lantaran kompetisi muncul sebagai sejenis pengakuan kekuatan politik Dewan Kota Madrid. Namun, tak lama kemudian, kompetisi ini digelar menghormati figur yang lebih kesohor. Pada 1905, kompetisi berganti nama dan dikenal sebagai “‘Copa de Su Majestad El Rey Alfonso XIII’.

Gonta-ganti nama adalah hal yang lazim sepanjang sejarah Copa del Rey. Sejak saat itu hingga namanya yang sekarang digunakan, Copa de Rey diposisikan sebagai sebuah turnamen untuk menghormati orang paling berkuasa di Spanyol. Kini, ketika kita menengok balik sejarah panjang Copa del Rey, jelas belaka bahwa kompetisi ini melekat erat pada dinamika politik Negeri Para Matador. Kompetisi sepakbola itu sempat digelar ketika kancah politik dalam negeri Spanyol sedang gonjang-ganjing.

Nama “‘Copa de Su Majestad El Rey Alfonso XIII’ bertahan selama tiga dekade. Dalam kurun waktu itu, sistem kompetisi pernah mengalami perubahan dari sistem kompetisi penuh ala Spanyol menjadi sistem gugur tradisional. Campeonato de Liga, atau liga domestik Spanyol, mulai digulirkan pada tahun 1928 dan disaat yang sama Copa del Rey kehilangan tempat terhormatnya sebagai kompetisi nasional Spanyol. Tiga tahun berselang, Alfonso XIII kabur dari Spanyol karena digulingkan. Setelah itu nama Piala Raja ini kembali diubah guna menyesuaikan jenis pemerintahan baru yang muncul saat itu.

Antara tahun 1923 dan 1930, Alfonso XIII mendukung pemerintahan Diktator Miguel Primo de Rivera. Keputusan ini membuatnya jadi raja yang kurang populer, utamanya mereka yang ditindas di bawah pemerintah semi-otoriter de Rivera. Ketika perekonomian dunia ambruk akibat resesi 1930, de Rivera memutuskan lengser dan sentimen anti-monarki tumbuh subur di Spanyol. Alfonso terpaksa menjadi kepala negara yang mengasingkan diri. Akibatnya, Copa del Rey harus kembali mengalihkan kesetaiaannya. Tak lama setelah deklarasi Republik Spanyol Kedua, kompetisi ini diberi nama ‘Copa del Presidente de la República’.

Copa del Rey pun bertransformasi dari kompetisi para royalis monarki menjadi turnamen sepakbola republikan, meski ini tak berlangsung lama. Ketika perang saudara Spanyol meletus pada 1936, Copa del Rey sempat absen selama tiga tahun. Sejak 1937, saat Internasional Brigades dibantai di Perang Brunete, sebuah kompetisi bertajuk ‘Copa de la España Libre’ dihelat dari kota sarang kaumsosialis Spanyol: Barcelona. Kompetisi ini juga dikenal dengan nama ‘Trofeo Presidente de la República’, mewarisi spirit awal penyelenggaran Copa, seandainya Jenderal Fracisco Franco tak memenangkan perang saudara.

Menyusul kemenangan Franco pada 1939, jenderal berideologi fasis, Spanyol yang baru sembuh dari luka-luka perang bersiap kembali menggelar Copa, tentunya dengan nama yang baru lagi. Kali ini kompetisi ini dihelat dengan tajuk ‘Copa de Su Excelencia El Generalísimo’ (atau ‘Piala Yang Mulia Jenderal Agung’), yang jelas merupakan perhargaan bagi seorang fasis yang kerap ingin nampang agung tapi dikenal kurang ngeh dengan prilakunya yang absurd. Copa del Rey menyandang nama absurd itu samapai kematian Franco. Baru pada 1976, seiring kembalinya sistem monarki dan naiknya Juan Carlon I. Raja Spanyol di era modern hanya menjadi simbol negara. Dampaknya, Copa del Rey kehilangan pamornya sebagai sebuah turnamen sepakbola politis.

Selama beberap dekade setelah era Franco, Copa del Rey selalu melambangkan dengan kekuatan politik yang tengah menguasai Spanyol. Turnamen ini sepanjang sejarahnya pernah menjadi turnamen sepakbola bangsawan elit. Kompetisi untuk menghormati presiden republik, gelaran sepakbola yang digagas milisi sosialis dan kejuaran sepakbola seorang diktator populis. Copa terperangkap dalam satu krisis politik ke krisis politik lainnya dan “kecipratan” noda darah Perang Sipil Spanyol. Rasanya, hampir tak ada gejolak politik Spanyol modern yang tak pernah dilewati kompetisi Piala Raja.

Sayangnya, sejarah panjang Copa del Rey yang penuh gejolak punya imbas tersendiri. Sebagai contoh, Athletic Bilbao memajang tropi Copa de la Coronación yang mereka menangkan di museum klub. Federasi Sepakbola Spanyol tak mengakui prestasi Bilbao sebagai torehan Copa del Rey resmi. Tentu saja fans Bilbao dongkol karenanya dan cuma bisa ngedumel. Beda kasusnya dengan Lavente. Klub asal Valencia ini pernah jadi kampiun ‘Copa de la España Libre’ dan seperti Bilbao, raihan mereka tak diakui oleh Federasi Sepakbola Spanyol. Tak patah arang, Levante melakukan serangkaian usaha keras agar prestasi mereka diakui. Publik Spanyol terbagi dua. Ada yang mengamini langkah Levante. Namun, ada juga yang menganggap Levante tak pernah jadi kampiun Cope del Rey.

Lahir sebagai sebuah turnamen perayaan upacara naik takhta, Copa del Rey berusaha diklaim oleh siapapun yang pernah mengusai Negeri Matador. Baru empat dekade belakangan, identitas turnamen ini benar-benar ajeg. Dari royalis hingga republikan, sosialis sampai fasis, Copa del Rey pernah dipaksa “melayani” tuan-tuan yang terus berganti menguasai Spanyol. Kini, di era sepakbola modern, Copa del Rey telah kembali ke fungsi awalnya: menjadi sebentuk perhormatan pada Raja Spanyol.

Follow penulis artikel ini di akun @W_F_Magee