Bagaimana bisa Clubhouse, aplikasi yang dibuat untuk berkomunikasi lewat suara, justru digunakan penggunanya untuk diam saja?
Nyatanya emang bisa dan ada. Di platform populer yang sejauh ini cuma bisa dipakai di iPhone tersebut, para pengguna mulai membuat ruangan-ruangan khusus yang pesertanya dilarang mengeluarkan bunyi. Beberapa menamainya sebagai ruang tenang, silent room, atau ruang hening. Kalau boleh disederhanakan, tujuan ruangan jenis ini cuma dua. Pertama, dibuat agar pesertanya saling ngepoin peserta lain dengan melihat profil masing-masing. Kedua, ruang yang dibuat untuk meditasi, tempat beristirahat dari hiruk-pikuk.
Videos by VICE
Salah seorang peserta ruang hening adalah Shabrina Kuswardani (25), karyawan swasta domisili Jakarta. Baru memulai akun Clubhouse-nya sejak 10 hari terakhir, sejak awal ia mengaku aktif hadir di ruang diam jenis pertama. Dari ruangan berjejaring tersebut ia mengikuti belasan orang baru dan diikuti 20-an orang baru.
“Awalnya aku ikut karena kepo. Penasaran apa itu silent room, pengin memastikan beneran diam aja atau enggak. Soalnya, aku mikir aneh kok orang masuk room enggak buat dengerin atau ngomong,” kata Shabrina kepada VICE.
“Eh, ternyata setelah beberapa kali ikut, seru juga jadi buka-buka profil orang, nemu orang baru untuk di-follow atau mem-follow orang baru. Ternyata memang tujuannya silent room tuh itu biar saling kepo profil dan cek bio masing-masing. Kayak networking room, tapi enggak berinteraksi.”
Kehadiran ruangan berjejaring tanpa interaksi kayaknya berita baik buat para introver seperti Shabrina. Ia rata-rata menghabiskan waktu setengah jam secara aktif melihat profil peserta ruang diam. Namun, kadang ia tetap berada di dalam ruangan meski tidak membuka aplikasi. “Pernah beberapa kali malah aku tinggal tidur,” katanya.
Ngomongin ruang diam di Clubhouse jenis kedua, VICE ngobrol dengan praktisi pemulihan batin Adjie Santosoputro. Adjie banyak dikenal terutama karena video “Pilu Membiru Experience” milik solois Kunto Aji ataupun sesi namaste bersama pesohor macam Anjasmara atau Isyana Sarasvati. Sampai sekarang, Adjie konsisten menggelar ruang meditasi di platform internet, termasuk Clubhouse. Berbeda dari ruang tenang versi pertama yang hadir untuk saling kepo dalam diam, ruang tenang milik Adjie meminta pesertanya benar-benar diam enggak ngapa-ngapain.
“Pengalamanku itu [mengajarkan] keruwetan hidupku bisa diurai justru dengan duduk diam, hening. Di tengah riuhnya hidup, ada kalanya aku butuh semacam jeda, enggak ngapa-ngapain. Bahasa puitisnya: menemui diri sendiri,” kata Adjie kepada VICE.
“Teman-teman saya yang lain lulusan psikologi sering bikin seminar, workshop, ngasih saran, acara yang penuh dengan kata-kata. Sedangkan saya malah menemukan jawaban dalam keheningan—diam itu jadi satu hal yang menyehatkan. Kalau mengutip Blaise Pascal, masalah hidup ini sebenarnya berasal dari ketidakmampuan manusia untuk diam.”
Pertama mengenal Clubhouse, Adjie kembali teringat keinginan lampaunya membuat sebuah ruang meditasi gratis yang bisa didatangi siapa saja yang butuh rehat. Akhirnya, ia putuskan memanfaatkan platform itu untuk mengeksekusinya.
Tapi, yang bikin bingung, kenapa harus hening di Clubhouse? Mengapa mencabut satu-satunya kekuatan pengguna di aplikasi ini?
“Saya merasakan ada satu hal unik di Clubhouse dibanding platform lain, yaitu apa yang kita katakan itu tidak terekam. Media lain kan merekam tulisan, video, dan suara kita, sehingga orang cenderung menunda untuk mendengarkan. Clubhouse mempunyai sisi di mana penggunanya yang mesti berada di saat ini, di sini, kini. In the present moment. Momen inilah yang mungkin secara psikis diinginkan oleh para pengguna Clubhouse,” kata Adjie.
Momen tersebut dianggap Adjie membuat peserta terkoneksi dalam waktu bersamaan serta memunculkan perasaan “ditemani” orang lain. “Ada unsur kebersamaan itu, mereka [peserta] merasa punya teman,” tambah Adjie.
Ruang meditasi milik Adjie sebetulnya tidak hening total. Setiap sepuluh menit, Adjie membunyikan bel dan kerap menambahkan monolog sebagai pengingat untuk fokus bermeditasi. Total kegiatan hening bareng tersebut biasa berlangsung 45 menit. Melihat banyak reaksi positif dan orang yang ikutan, Adjie berasumsi mungkin kita emang merindukan enggak ngapa-ngapain.
“Kalau yang berteman di Clubhouse dengan saya biasanya teman-teman yang ngikutin saya di Twitter, di Instagram, sama beberapa dari misalnya Isyana yang bikin acara dengan saya dan lanjut ngikutin saya. Kalau dilihat dari situ, yang biasanya tertarik dengan yang saya omongin itu lebih ke milenial lah. Bukan generasi Z, bukan yang terlalu muda atau terlalu tua. Milenial awal dan tengah, mungkin itu awal-awal bekerja atau akhir kuliah, udah mulai mikir hidup ngapain gitu, hahaha,” cerita Adjie.
Di akhir obrolan, Adjie sempat cerita bagaimana pekerjaannya yang kerap disebut sebagai motivator sebenarnya enggak tepat. Soalnya, dibanding menularkan kata-kata optimis laiknya motivator, Adjie malah meminta pengikutnya untuk bisa hidup sendirian dan terampil menderita. “Saya minta mereka menyelami patah hatinya, menertawakannya, karena hidup memang pahit.” Sebagai milenial, saya sepakat banget!