Rully Shabara Menyusun Daftar Album Senyawa Favoritnya

Senyawa adalah salah satu ekspor musikal terbaik yang dimiliki Indonesia. Mengandalkan kemampuan vokal yang unik dan instrumen musik neo-traditional buatan sendiri, duo Rully Shabara dan Wukir Suryadi asal Yogyakarta itu menghasilkan nuansa aural yang mengaduk elemen-elemen musik rock dalam pengaruh avant garde.

Setelah karir dan reputasi mereka melejit dua tahun belakangan di kancah musik lokal maupun internasional, Senyawa belum menunjukkan tanda-tanda melambat. Sejak pertama kali merilis mini album pada 2010 lalu, mereka telah meluncurkan empat album dan musik-musik baru dalam ritme konstan. Katalog karya Senyawa layak dibilang kaya untuk band yang berusia tujuh tahun—termasuk menghasilkan split dan kolaborasi dengan artis-artis musik berpengaruh seperti Keiji Haino dan Regurgitator.

Saya berkesempatan mengajak Rully membahas album-album Senyawa dan satu mini-album mereka. Sekalian saja saya memintanya menyusun daftar album Senyawa yang least favorite sampai yang menurutnya terbaik. Seperti biasa, proses semacam ini tentu tak mudah bagi seorang musisi, karena ibaratnya mereka dipaksa memilih anak kandung favorit.

Videos by VICE

“Saya sebenarnya bingung”, kata Rully. “Jujur saja, saya merasa canggung. Bukan hanya karena jumlah album penuh kami belum begitu banyak, melainkan sudah sangat lumrah bila musisi menganggap karya terfavoritnya adalah yang terkini dan album-album di awal karir cenderung hampir tak pernah lagi didengar ulang.”

Pada akhirnya, setelah butuh waktu beberapa hari, Rully berhasil menentukan urutannya. Daftar ini tidak akan mencakup album split maupun album kolaborasi Senyawa. Tidak begitu mengejutkan bila kemudian pilihan Rully sesuai dengan umur album-albumnya.

Berikut daftar yang disusun Rully:

4. Senyawa (2010)

VICE: Kenapa album ini least favorite untuk seorang Rully?
Rully Shabara: Mini album ini lahir bahkan sebelum ‘ada’ Senyawa. Hanya empat hari setelah pertemuan pertama saya dengan Wukir, lagu-lagu di album ini direkam. Tujuan awalnya hanyalah membuat proyek coba-coba tanpa agenda panjang akan ke mana proyek ini dibawa selanjutnya. Itu sebabnya kami tidak menamai secara spesifik duet ini. Itu juga sebabnya kami merilisnya secara cuma-cuma di Yes No Wave. Waktu itu masih dinamai ‘Rully Shabara dan Wukir Suryadi’ saja. Melalui perilisan mini album ini, Wok the Rock memiliki peran penting dalam membentuk kolaborasi kami sebagai duo yang utuh dan lebih serius. Selain berjasa mempertemukan saya dan Wukir, ia juga mendesain sampul albumnya serta menamai judul albumnya: Senyawa.

Lambat laun, yang muncul di poster acara bukanlah Rully Shabara dan Wukir Suryadi, melainkan cukup dengan nama baru, yaitu Senyawa. Jadi, bisa dibilang nama itu melahap nama individual kami berdua dan menggantikannya secara alamiah dengan satu nama sederhana yang sebelumnya hanya merupakan judul album.

Di album ini masih terasa proses “pencarian” sound Senyawa. Benar begitu?
Secara materi, lagu-lagu di mini album ini sangat mendasar. Ibaratnya kami berdua masih belajar mengenali bunyi satu sama lain dan mencoba memahami warna masing-masing. Saya pribadi saat itu masih belum paham betul potensi suara saya sendiri apakah bisa mengimbangi dinamisnya bunyi Bambuwukir.

Bahkan ada satu lagu saya masih harus bermain drum karena belum yakin apakah vokal saja sudah cukup untuk melengkapi komposisi. Nada dasar yang digunakan bambuwukir pun di album ini masih berbeda dengan yang nada dasar yang digunakan Senyawa sekarang. Meskipun begitu, beberapa lagu dari mini album ini kemudian berevolusi dengan sendirinya seiring perkembangan musikal kami dan masih kerap kami bawakan di panggung, dengan aransemen, sound, dan energi yang berbeda, tentu saja.

3. Acaraki (2013)

Kenapa album ini ada di posisi ketiga?
Berbeda dengan album Senyawa lainnya, semua lagu di album ini padat dengan lirik dan aransemen yang sudah dirancang sebelum direkam. Itu sebabnya inilah album Senyawa yang relatif paling mudah didengarkan. Komposisi lagu-lagunya tidak sepenuhnya berangkat dari improvisasi melainkan dari kesadaran untuk membentuk lagu yang cenderung normatif. Kami bahkan mengaransemen ulang lagu anak-anak yang populer seperti ‘Naik Kereta Api’ dan ‘Jaranan’ untuk dimasukkan ke dalam repertoir album ini. Untuk setlist di panggung, mencantumkan beberapa lagu dari album ini adalah salah satu trik kami karena bisa menjamin munculnya energi dengan mudah berkat dinamika dan komposisi yang sudah diperhitungkan takarannya.

Seniman dan pemilik netlabel Yesnowave dari Yogyakarta, Wok The Rock, masih sangat terlibat di album ini. Bisa dibilang Acaraki adalah momen go international pertama kalian.
Wok the Rock masih terlibat dalam desain sampul dan pemilihan judul album ini. Ilmu meracik jamu atau Acaraki merupakan judul yang tepat untuk mewakili Senyawa di fase ini. Album ini pertama kali diluncurkan dalam bentuk piringan hitam 12 inci oleh label Australia, DualPlover dengan sampul cantik dari bahan kain bermotif teknik ikat celup serta bordir rumit, dan dirilis dalam jumlah terbatas hanya untuk mereka yang menyumbang melalui kampanye Pozible. Label militan dari Perancis, Anggrr kemudian merilisnya ulang dalam format piringan hitam reguler sebanyak 1000 keping untuk didistribusikan umumnya di pasar Eropa. Setelah itu, manajer kami Kristi Monfries melalui Volcanic Winds berinisiatif mencetaknya ulang ke dalam bentuk CD, agar mudah kami bawa untuk dijual saat tur.

2. Menjadi (2015)

Bagaimana ceritanya sampai kalian bisa bekerjasama dengan label Morphine, yang sangat respectable?
Saat bermain di salah satu festival di Denmark tahun 2013, kami bertemu Rabih Beaini, seorang musisi sekaligus produser dan pemilik label Morphine di Berlin yang cukup disegani di ranah musik elektronik eksperimental. Setelah menyaksikan konser kami, ia menyampaikan visinya yang ingin memperkenalkan Senyawa ke skena yang belum pernah kami terjuni saat itu, yaitu techno dan elektronika. Saya dan Wukir dengan naifnya mengiyakan rencana terlibat di dalam labelnya karena Rabih menyanggupi satu-satunya syarat dari kami yakni ia harus menggelar konser Senyawa di Berlin.

Alasannya saat itu meskipun sudah tiga kali tur ke Eropa, kami belum juga pernah main di Berlin, yang notabene merupakan patokan terdepan skena eksperimental di Eropa. Setahun kemudian, di sela-sela tur Eropa 2014, konser itu pun diwujudkan Rabih dan hingga saat ini saya masih sering bertemu orang yang mengaku mengikuti perkembangan Senyawa karena hadir di acara itu. Intinya, kesuksesan konser itu berhasil menggiring animo penggemar, media dan penggiat musik eksperimental di Eropa untuk menyambut album Senyawa selanjutnya: Menjadi.

Kalian merekam album Menjadi di Berlin?
Album ini kami rekam selama kurang lebih satu minggu di Berlin. Sebagai produser, Rabih memberi koridor dan visi dalam pembuatan materi di album ini. Jika sebelumnya Senyawa gemar bermain dalam dinamika komposisi yang luas, kali ini kami dituntun untuk lebih sabar dan monoton. Elemen perkusif juga lebih ditonjolkan. Tujuannya memang adalah untuk membuat album yang bisa masuk ke skena elektronika, meskipun musik Senyawa sangatlah `primitif` dan jauh dari atribut musik elektronik, apalagi techno. Setelah rilis, barulah kami menyadari bahwa musik Senyawa di album ini bukan saja memiiki banyak kesamaan secara energi dengan musik techno, tapi juga merupakan angin segar bagi skena itu. Album inilah yang mengantar Senyawa untuk tiba dan menancap di skena baru yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh kami.

1. Bronshoj (Puncak) (2016)

OK, jadi ini album Senyawa favorit Rully. Tapi mungkin orang kaget bahwa ini adalah album yang—kalau tidak salah—lahir dari proses jamming yang agak tidak sengaja?
Saya dan Wukir benci diam dan tidak melakukan apa-apa di hari libur saat tur. Di sela-sela tur musim gugur 2015, ada sekitar tiga hari kosong saat kami sedang berada di Copenhagen. Kami tinggal di rumah teman yang juga pemilik label Cejero, Thomas Buhl-Wiggers. Di basement rumahnya, terdapat studio rekaman dengan perengkapan dan perangkat yang cukup menarik. Alih-alih bermalas-malasan atau pergi jalan-jalan keliling kota, kami berdua memutuskan untuk jamming menggunakan alat-alat yang ada di studio itu, dari siang hingga malam.

Wukir merakit ulang rangkaian efeknya dengan meminjam sejumlah pedal efek yang dia suka, dan saya asyik bermain vokal dari mikrofon cakep Shure S55 sembari mengontrol sendiri mixer dan delay bawaannya secara langsung. Kami tidak berbekal lirik ataupun desain komposisi. Kami hanya asyik bermain musik dengan sound baru tanpa diganggu operator. Si pemilik studio bahkan sengaja tidak mematikan semua perangkat yang ada selama kami di sana agar kami bisa bebas dan leluasa bermain kapan pun kami mau. Ia tentu saja, merekam semuanya, apa pun yang kami mainkan termasuk saat kami hanya bengong menyetem instrumen.

Lantas apa yang terjadi?
Di hari sebelum kami pamit, ia mendengarkan hasilnya. Ia sudah memilah-milah sejumlah bagian menjadi beberapa lagu. Tak dibutuhkan adanya proses mixing, karena mixer sudah dimainkan secara langsung saat merekamnya. Hasilnya mengejutkan. Kebanyakan adalah drone, dengan tempo yang semuanya lambat, pelan, dan berat. Soundnya sangat berbeda dengan yang pernah kami mainkan sejauh ini, vokal sangat minimal dan membaur dengan atmosfer. Tidak ada pretensi muatan, tidak ada luapan energi khas Senyawa yang berjingkrakan secara emosional, dan tidak ada lagi kementahan sound ciri kami akibat adanya balutan delay dan pedal asing. Dan ketika Thomas menawarkan apakah kami bersedia untuk merilis secara apa adanya materinya seperti ini di label dia, kami pun menjawab, “kenapa tidak?”

Sekarang apa rencana kalian dalam waktu dekat?
Senyawa kini sedang libur dari tur selama dua bulan demi mempersiapkan album baru.