Sambil menggandeng anaknya, perempuan itu berjalan tergesa-gesa menuju sekolah dasar reyot di Dusun Dangdeur, kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Keringat bercucuran dari wajah sang ibu. Sesampainya di kelas, sang anak buru-buru masuk. Sang ibu terpaksa ngaso sejenak setelah mengantar anaknya sekolah, aktivitas harian yang menguras banyak tenaganya.
SD Negeri 3 Kertajati terletak di tengah hutan jati. Letaknya cukup jauh dari permukiman warga, dengan akses jalan tanah berbatu yang bakal licin jika hujan mengguyur.
Videos by VICE
Sudah tiga tahun terakhir SD Negeri 3 Kertajati memindahkan aktivitas belajar-mengajar di bangunan yang masuk kategori tak layak, lantaran bangunan lama terkena penggusuran dalam rangka proyek pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB).
SD Negeri tersebut awalnya terletak di dusun Cinta Karya, Desa Kertajati. Setelah kena gusur akibat proyek BIJB pada 2014, pemerintah setempat belum membangun fasilitas pendidikan baru.
Hanya ada tiga kelas tersedia. Bangunannya terbuat dari tripleks ala kadarnya. Fasilitas toilet dan listrik nihil. Siswa dan guru terpaksa menumpang di rumah warga atau di hutan sekitar jika ingin buang air.
Penjaga sekolah menuturkan SD tersebut merangkap sebagai Madrasah Diniyah. “Siswa SD dan Madrasah harus gantian, ada kelas pagi dan sore,” ujarnya. “Saya sendiri tidak tahu sampai kapan anak-anak akan belajar di tempat ini karena belum ada informasi dari dinas pendidikan.”
Nyaris tidak banyak yang tersisa dari Desa Kertajati ketika saya tiba di sana. Kawasan seluas 720 hektar itu bagaikan desa hantu yang dikelilingi puing-puing serta persawahan. Masjid memang masih berdiri, kantor pamong desa juga masih ada, namun semuanya terbengkalai.
Pemandangan yang paling mencolok di Kertajati adalah ratusan gubuk berbahan gipsum dan kayu seadanya. Warga setempat menyebutnya dengan istilah “rumah hantu”, karena tak ada manusia yang menghuninya lagi. Saat ini ratusan rumah hantu tampak berdiri disekitar proyek bandara. Saat menengok ke dalam salah satu rumah, hanya nampak tanaman liar dan rumput. Gubuk-gubuk itu juga bukan milik warga. Para pemiliknya tak jelas tinggal di mana. Mereka adalah spekulan yang ingin menangguk untung besar dari proses pembebasan lahan bandara Kertajati.
Desa Kertajati adalah salah satu wilayah yang mengalami dampak dari derap kemajuan yang dipuja-puja pemerintah. Bandara merupakan salah satu simbol utama kemajuan versi negara. Pemerintah, yang mengutamakan tercapainya target pembangunan infrastruktur siap mengorbankan desa-desa seperti Kertajati, mengorbankan para penghuninya. Penduduk desa itu tak lagi punya pilihan, kecuali enyah ke wilayah lain atau malah sekalian pindah ke kota besar hanya untuk terjebak siklus kemiskinan yang tak pernah usai.
“Beberapa dari kami memang memilih bertahan karena pihak bandara belum menghancurkan rumah kami meski sudah ada ganti rugi. Tapi sewaktu-waktu disuruh pindah ya kami siap,” ujar Otong, petani setempat saat ditemui VICE Indonesia. Otong adalah salah satu dari 88 anggota keluarga yang menolak pindah dari wilayah penggusuran.
“Mau marah seperti apa juga tidak ada gunanya. Lebih baik saya melakukan yang saya bisa,” kata Otong.
Desa ini dulunya dihuni 900 keluarga. Kebanyakan adalah petani yang membudidayakan cabai, bawang merah, padi, tebu, dan jagung. Rencana pembangunan BIJB di Kertajati sudah berembus sejak 2004. Sosialisasi tak pernah dilakukan. Mendadak pada 2010, Pemkab Majalengka mengirim tim penaksir (appraisal) melakukan pengukuran tanah. Pada 2013, para utusan pemerintah betul-betul datang untuk membebaskan lahan, memicu konflik besar.
Ribuan warga yang menolak terlibat bentrok dengan aparat tiga tahun lalu, yang menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk menghalau warga. Beberapa warga terluka dan delapan orang lainnya ditangkap. Bentrokan tidak hanya terjadi sekali saja. Pada November 2014, warga dan aparat yang saat itu berjumlah ratusan kembali bentrok, menyebabkan belasan warga luka-luka. Alasan dalam dua kali kekerasan itu dipicu pengukuran tanah yang tidak melibatkan masyarakat.
Salah seorang tetua Desa Kertajati, Heri Susana Kalangi atau akrab disapa Abah Heri, jadi saksinya. Dia mengingat dengan jelas kronologi bentrokan ketiga pada 17 November 2016. Saat itu ribuan aparat gabungan mendatangi wilayahnya menjaga tim biro aset daerah yang hendak melakukan pengukuran tanah tanpa pemberitahuan sebelumnya. “Mayoritas warga sedang berada di sawah waktu itu. Tanpa ada aba-aba sekitar 2.000 aparat datang. Kami jelas marah karena tidak ada dialog sebelumnya,” ujar Abah Heri.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat ngotot membangun bandara di Kertajati atas alasan menambah kapasitas angkut transportasi udara di wilayahnya. Bandara Bandung, Husein Sastranegara, dianggap tidak memadai lagi. Bandara Kertajati, seandainya nanti beroperasi, diharap bisa melayani hingga 6,5 juta penumpang pesawat.
Situasi bertambah runyam ketika proyek ini juga tak kunjung tuntas dari target, yang sebenarnya tidak terkait penolakan dari warga. PT Bandar Udara Internasional Jawa Barat, Badan Usaha Milik Daerah yang ditunjuk menjadi pelaksana pembangunan, tidak memiliki pengalaman sebelumnya menangani proyek infrastruktur sebesar ini. Perkara modal cekak turut mempengaruhi keterlambatan proyek. Pemprov hanya menyediakan dana tunai senilai Rp500 miliar, padahal estimasi agar bandara itu selesai menelan ongkos mencapai Rp2,5 triliun. Pembebasan lahan sudah berjalan lebih dari enam tahun dan sampai sekarang tak kunjung selesai. Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil alih proyek bandara ini, menyerahkannya ke Kementerian Perhubungan melalui keputusan yang diteken awal 2016.
Persoalan Kertajati ini adalah warisan rezim pemerintahan sebelumnya yang harus dituntaskan oleh Presiden Jokowi. Nyaris semua rencana infrastruktur di Indonesia mengalami kemandegan akibat masalah pembiayaan serta pembebasan lahan yang berlarut-larut. Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, adalah penggagas pembangunan bermacam megaproyek infrastruktur, termasuk bandara dan pelabuhan. Gagasan itu dituangkan melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Niat awalnya, proyek-proyek infstruktur besar akan menggandeng swasta dalam sistem public-private partnerships (PPP). Dalam bayangan tim ekonomi Presiden SBY saat itu, skema tersebut bisa menggenjot pendapatan per kapita Indonesia hingga ke level US$14.250 per tahun. Jatuhnya harga komoditas pada 2011, rata-rata andalan ekspor Indonesia, mengubah semua rencana yang disusun pemerintah. Ditambah lagi, kebijakan subsidi bahan bakar yang membebani anggaran membuat target pertumbuhan ekonomi era SBY meleset, tak mencapai 6,4 persen per tahun.
Seandainya MP3EI hanya berpengaruh di neraca dan kertas-kertas bendahara negara, mungkin tak akan ada masalah berarti. Sayangnya, MP3EI yang digembar-gemborkan pemerintah terlanjur berjalan di bermacam sektor, terutama infrasruktur transportasi. Hasilnya adalah meningkatnya konflik lahan di Indonesia. Selama 10 tahun menjabat, Pemerintahan SBY mencatatkan 1.400 konflik agraria meningkat 104 persen dari dekade sebelumnya. Tak hanya itu, bentrokan akibat konflik tanah memicu tewasnya 70 orang, akibat kekerasan yang dilakukan tentara ataupun polisi. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ada 920 ribu keluarga yang terdampak akibat rencana pembangunan agresif pemerintah. Semua itu sebetulnya bisa dihindari seandainya pemerintah mempersiapkan dari jauh-jauh hari potensi sengketa lahan. Namun, karena hanya sekadar membangun, selain jutaan orang terancam tak punya tempat tinggal, ada lima juta lahan yang statusnya tidak jelas.
“Proyek MP3EI memperlihatkan bagaimana dominasi peran pemerintah sangat kental dalam mendorong terjadinya konflik agraria di sektor infrastruktur,” kata Iwan Nurdin, selaku Sekretaris Jenderal KPA dalam pernyataan tertulis.
Presiden Jokowi memutuskan tak lagi melanjutkan penggunaan istilah MP3EI, mengganti fokusnya pada konektivitas maritim dan ketahanan pangan. Persoalannya, warisan masalah di bidang infrastruktur transportasi terus menghantui Jokowi. Di tengah karut marut Kertajati, Jokowi justru menambah persoalan dengan meresmikan bandara baru di Yogyakarta, tepatnya di kawasan Kulon Progo, yang hampir pasti akan memicu sengketa lahan baru.
Saat ini landas pacu dan terminal utama di Kertajati diklaim 80 persen rampung. Otong yang baru saja selesai mengurus sawahnya, menilai proyek ini akan terus memicu masalah. Otong menunjukkan sebuah nota merah bukti transaksi ganti rugi. Tulisannya sudah mulai memudar. Otong masih ingat angka penjualan tanah yang diterimanya.
“Per bata (14 meter) cuma dihargai Rp 700 ribu, itu cuma Rp 50 ribu per meter. Sementara bangunan rumah dihargai Rp 67 juta. Selama periode dua tahun antara 2010-2013 itu katanya ada penyusutan fisik bangunan,” tutur Otong.
Hal tersebut juga diamini beberapa petani yang kebetulan sedang berkumpul bersama Otong. Sebagian dari mereka tak mampu lagi membeli tanah dari hasil ganti rugi. “Harga tanah sekarang sudah Rp1 juta – Rp4 juta per bata. Banyak warga yang memilih menyewa tanah dan membangun gubuk dari reruntuhan rumahnya. Mereka menyewa tanah dari warga lain yang belum atau sedang menanti pembebasan lahan. Biasanya warga menyewa tanah seharga Rp 1 juta per bata,” kata Otong.
Menurut Otong, warga tidak diberikan kesempatan bernegosiasi saat pencairan dana. Mereka hanya disodori harga yang sudah ditetapkan pemerintah dan diminta untuk menandatangani nota kesepakatan. “Pemerintah juga menjanjikan relokasi kepada warga, tapi itu pun tidak pernah terjadi sampai sekarang,” katanya.
Otong termasuk warga yang beruntung masih memiliki kesempatan untuk memutar modal. Namun tidak begitu halnya dengan Gurnita, salah seorang petani gurem yang juga bertetangga dengan Otong.
Gurnita, yang sudah memasuki usia senja, tak memiliki banyak harapan ketika tanah dan rumahnya dibeli pemerintah. Hasil penjualannya jauh dari kata cukup untuk membeli sebidang tanah. Ia memilih menyewa sebidang tanah milik saudaranya dan membangun gubuk yang jauh dari kata layak.
“Harapannya nanti kalau tanah ini dibebaskan, ada ganti rugi bangunan yang bisa saya dapat. Tapi sampai saat ini belum ada kepastian dari pihak bandara. Utang saya justru bertumpuk saat membangun gubuk ini,” tutur Gurnita yang didampingi putranya yang juga petani.
Praktik sewa menyewa tanah seperti yang dilakukan Gurnita menjadi hal biasa saat berita soal pembebasan lahan menyeruak. Namun, jika Gurnita melakukannya untuk bertahan hidup, beberapa spekulan melakukannya semata demi keuntungan.
Hadirnya spekulan di wilayah Kertajati diakui oleh juru bicara PT BIJB. “Spekulan tersebut mengharapkan ganti rugi saat pembebasan lahan. Ada perjanjian bagi hasil dengan pemilik tanah,” ujar Ali Sodikin selaku Humas lapangan proyek BIJB.
Tak cuma rumah hantu, beberapa warga pendatang juga terindikasi melakukan praktik persewaan sawah kepada petani setempat. Menurut Ali di sekitar proyek bandara memang masih banyak sawah produktif yang belum digusur, meski sudah menjadi hak milik bandara.
“Ada preman yang menyewakan tanah sawah kepada warga, padahal pihak bandara sendiri tidak pernah melarang warga untuk bertani, namun jika suatu saat kami membutuhkan tanah tersebut warga tidak boleh menolak,” kata Ali.
BIJB mengaku masih punya masalah kekurangan lahan. Bola kini ada pada pemprov, pemkab dan biro aset daerah Jawa Barat untuk menuntaskan perkara spekulan ini. “Memang ada beberapa warga yang menolak, tapi jika dilihat dari banyaknya rumah hantu, asumsinya banyak warga yang setuju [dengan proyek bandara]. Mereka ingin tanah dan bangunannya dibayar tinggi,” ujarnya.
Saya menyempatkan diri untuk berkunjung di Desa Sukamulya, yang berjarak beberapa meter dari Desa Kertasari dan Desa Kertajati. Desa Sukamulya adalah desa terakhir yang mayoritas tanahnya belum dibebaskan untuk bandara. Baru sekitar 12 hektar lahan di Sukamulya yang sudah dibeli pemerintah. Letak desa tersebut hanya beberapa kilometer dari terminal utama.
Dalam peta rencana pembangunan bandara, desa Sukamulya terletak tepat di ujung landas pacu bandara. Desa seluas 731 hektar—618 hektar di antaranya adalah sawah— sebelum digusur menghasilkan padi senilai Rp 15 miliar sekali panen.
Empat tahun terakhir, desa berpenduduk 5.134 jiwa tersebut menjadi lokasi pengorganisiran warga untuk menuntut proses pembebasan lahan yang transparan dan adil. Warga Sukamulya, yang belajar dari pengalaman warga Kertasari dan Kertajati, menduga ada beberapa pelanggaran termasuk indikasi korupsi dalam proses pembebasan lahan.
“Kami sudah melaporkan dugaan pelanggaran tersebut kepada Ombudsman RI dan Komnas HAM tapi sampai saat ini belum ada tindak lanjut,” ujar ketua Front Perjuangan Rakyat Sukamulya (FPRS) Bambang Nurdiansyah. “Kami menduga ada korupsi pengurangan besaran ganti-rugi objek tanah, itu belum termasuk manipulasi data.”
“Kami tidak anti terhadap proyek bandara, kami hanya menuntut pemerintah memerhatikan masa depan desa kami. Kami tidak ingin desa ini punah dan penduduknya tercecer,” imbuh Abah Heri.
Sekretaris Desa Sukamulya Ade Hari berdalih mayoritas warga setuju dengan skema ganti rugi pihak bandara. “Kami selalu terbuka jika ada warga yang membutuhkan informasi. Terkait bentrok, ada beberapa warga yang pro dan kontra. Pengukuran tanah itu hanya dilakukan kepada warga yang sudah setuju,” ujar Ade.
Mengenai spekulan yang beraksi membangun ‘rumah hantu’ di sekeliling desa, Ade mengaku pemerintah tidak bisa melarangnya. “Karena tidak ada payung hukumnya jadi kami tidak bisa menindak. Kami sudah memberikan imbauan tapi tidak diindahkan,” ujarnya.
Bupati Majalengka Sutrisno mengatakan bahwa pembangunan BIJB sudah sesuai prosedur yang ada. Pemkab Majalengka mengklaim telah menggunakan jasa konsultan swasta saat menetapkan harga tanah. “Kami sudah menetapkan harga Rp2,8 juta per bata. Itu sudah sesuai harga pasar,” kata Sutrisno.
Lembaga Swadaya Masyarakat mengecam respons pemerintah pusat da daerah yang dianggap berlaku tidak adil terhadap warga. Sosialisasi proyek bandara sebesar itu sangat minim dan tidak transparan.
“Proyek tersebut tidak memperlihatkan dukungan terhadap kontinuitas kehidupan masyarakat. Banyak kejanggalan, apakah prosedur pengalihan hak atas tanah sudah sesuai dengan undang-undang atau belum. Penetapan harga tanah juga tidak melibatkan masyarakat,” ujar Haris Azar, mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Peneliti di lembaga Human Rights Watch (HRW) Andreas Harsono mengatakan bahwa aturan kompensasi pembebasan lahan selalu memakai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai patokan, bukan harga pasaran. Masalahnya, NJOP dan harga pasaran seringkali tidak klop, seperti yang terjadi di beberapa wilayah di kabupaten Majalengka tiga tahun lalu. Saat itu harga tanah di pasaran melonjak hingga Rp500 ribu-Rp 2 juta per meter, sementara NJOP masih ada yang di bawah Rp25 ribu per meter.
“Secara hukum pemerintah berhak menggusur jika menyangkut kepentingan umum,” kata Andreas. “Tapi itu pun harus ada sederet prosedur yang harus dilakukan. Pemerintah harus berperan dalam menjamin kesejahteraan rakyat jika terjadi penggusuran. Tidak bisa menggusur begitu saja. Jika dari awal memang tidak ada sosialisasi, berarti itu sudah salah.”
Akibat rumitnya sengketa Bandara Kertajati, warga Desa Sukamulya kini hidup dalam ketidakpastian. Sebagian dari mereka berkukuh pada pendirian melawan proyek bandara. Abah Heri termasuk yang bertahan, sambil memberdayakan warga agar berani memperjuangkan keadilan atas risiko mata pencaharian yang hilang.
“Warga di sini hidup dalam keresahan dan ketidakpastian,” ujar Abah Heri. “Warga takut jika nantinya mereka tidak bisa memiliki kehidupan yang sama seperti sekarang.”