Tragedi mengerikan di Tiongkok ini terjadi dalam waktu satu jam saja. Pada 7 Juli pukul 11.02 siang waktu setempat, bus umum di Kota Anshun, Provinsi Guizhou, meninggalkan terminal sesuai jadwal. Pukul 11.39, sang pengemudi, lelaki 52 tahun yang hanya diidentifikasi bernama Zhang oleh aparat, tercatat mengirim pesan suara buat kekasihnya lewat ponsel sambil mengemudi. Pesan itu berisi kemuakan sang sopir pada dunia.
Pukul 12.12 siang, peristiwa dalam rekaman CCTV yang mengejutkan masyarakat Tiongkok itu terjadi. Sopir melambatkan laju bus di jalan bebas hambatan, lalu, tiba-tiba melaju kencang sambil berbelok tajam menghantam pembatas jalan, sampai akhirnya masuk danau dan tenggelam.
Videos by VICE
Zhang termasuk dalam 21 korban tewas dalam insiden tersebut. Dia bunuh diri sembari menewaskan penumpang bus yang tidak tahu apa-apa soal masalah pribadinya. Kasus ini sangat mengejutkan, karena video aksi bunuh diri sopir bus itu diunggah ke situs mikroblogging Weibo pada hari kejadian.
Dari penyelidikan aparat, sopir itu diduga marah pada pemerintah kota karena menggusur tempat tinggalnya. Berdasarkan laporan South China Morning Post, Zhang mabuk saat bertugas dan terdapat indikasi bila dia sejak awal sudah berniat menenggelamkan bus yang dia sopiri. Pagi sebelum bertugas, rusun yang dia tinggali dihancurkan oleh petugas Pemkot Anshun lantaran masuk dalam zona pengembangan pemukiman elit baru. Diskusi netizen soal penyebab kemarahan sang sopir lantas disensor oleh tim siber pemerintah Tiongkok.
Meski diskusi ini kena sensor, polisi juga yang akhirnya mengakui kalau Zhang bertindak nekat akibat menjadi korban penggusuran. “Karena merasa tidak puas dengan keputusan penghancuran kontrakan yang dia tempati, Zhang memutuskan untuk membuat protes terbuka dengan cara melakukan kejahatan serius dan menewaskan orang tidak bersalah,” demikian keterangan resmi dari Kepolisian Anshun.
Zhang, menurut penyelidikan polisi, bercerai pada 2016. Sejak perceraian itu, dia biasa menumpang tinggal di rumah saudara. Beberapa tahun terakhir, dia akhirnya bisa mengontrak sebuah rusun seukuran 40 meter persegi di pinggir kota. Sebagai korban gusuran, Zhang sebetulnya dapat ganti rugi 72 ribu Yuan (setara Rp151 juta) untuk ongkos mencari tempat tinggal baru, tapi kabarnya dia tak pernah mengambil uang tersebut. Zhang juga dilaporkan gagal mendaftar tinggal di rusun lain yang disubsidi pemerintah, yang memicu kemarahannya pada dunia.
Setelah motivasi sang sopir bunuh diri mengajak penumpang terungkap detail, banyak netizen justru mengkritik kebijakan pembangunan pemerintah Tiongkok. “Dia korban keadaan. Biaya hidup makin tinggi, sementara gajinya tidak cukup untuk mencari tempat tinggal baru yang tidak disubsidi. Kebijakan pemerintah yang membuat orang seperti [Zhang] bertindak nekat,” tulis seorang pengguna Weibo.
Dari total 37 orang yang ikut tenggelam dalam bus yang masuk danau itu, setelah dilakukan operasi evakuasi tim SAR, sebanyak 15 selamat. Sementara 20 penumpang lain tewas di tempat. Satu orang meninggal ketika hendak dilarikan ke rumah sakit. Lima penumpang yang tewas adalah peserta ujian masuk perguruan tinggi yang hendak berangkat ke lokasi tes.
Pemkot Anshun, merespons kritikan netizen, berjanji akan menyelidiki proses penggusuran di rusun yang ditempati Zhang. Jika penggusuran itu dilakukan dengan cara melanggar aturan, pemkot mengklaim bakal menghukum pejabat yang terkait.
Penggusuran adalah topik sensitif di Tiongkok, mengingat kawasan perkotaan sering mengalami konflik sosial akibat penghancuran bangunan lama. Seringkali, alasan penggusuran adalah untuk membangun infrastruktur seperti jalan tol atau kondominium mewah. Masyarakat bakal marah bila akhirnya bangunan yang didirikan di lahan bekas penggusuran ternyata hunian untuk kaum elit.
Masyarakat menganggap kebijakan pemerintah tidak adil, sebab di Tiongkok tanah tidak bisa dimiliki dengan sertifikat hak milik (mengingat pemiliknya adalah negara). Sehingga orang miskin sering dikalahkan untuk penambahan properti kaum elit. Ketimpangan ini biasa memicu kasus munculnya rumah paku, yakni fenomena satu rumah atau bangunan yang tersisa menolak keras digusur, menghalangi proses pembangunan yang nyaris selesai.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News