Rumor Konflik Dayak Hingga Opini Tolol Tentang Pemerkosaan Mei 98

Selamat datang di Can’t Handle the Truth, kolom mingguan VICE Indonesia untuk merangkum hoax dan berita palsu paling ramai dibicarakan pengguna Internet.

Mohon maaf kawan-kawan, sepanjang pekan ini tak ada hoax yang bisa membuat kita tertawa. Kebanyakan hoax yang beredar benar-benar brengsek dan membuat urat nadi menegang.

Videos by VICE

Hoax-hoax yang populer seminggu belakangan dilatari niat jahat karena memprovokasi sentimen antar etnis serta menebar ketakutan warga atas isu kesehatan sumir. Saya sampai terpikir menenggak obat penurun tensi saja, supaya tak sampai stres selama menulis kolom ini, kalau-kalau di masa mendatang hoax yang beredar selalu menyebalkan seperti satu pekan belakangan. Huft.

Sudah cukup banyak berita buruk yang beredar. Persekusi semena-mena ormas intoleran terhadap orang yang dituduh menghina Rizieq Shihab, serangan ISIS ke Kota Marawi di Filipina, serta keputusan Donald Trump menarik AS dari kesepakatan Paris yang bisa mengancam masa depan Planet Bumi. Bisa engga sih seminggu saja, tak ada orang brengsek menyebar hoax kacrut di medsos dan gawai penduduk Indonesia?

Ya sudahlah. Berikut tiga hoax terpopuler pekan ini yang paling banyak dibicarakan orang dan seperti biasa dosis ketololannya sulit diterima akal sehat.

Bentrok pawai Dayak di Pontianak

Lewat medsos dan grup-grup whatsapp beredar informasi jika warga Dayak menyerang kelompok aksi bela ulama di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Sempat muncul imbauan (tentu saja palsu) agar warga muslim menghindari ruas jalan Gajahmada-Veteran karena massa Dayak membawa mandau. Hoax ini diimbuhi pula foto massa Dayak membawa senjata tajam dalam jumlah besar dengan kesan siap menyerang.

Hoax ini beredar karena di hari yang sama kebetulan digelar long march Kelompok Bela Ulama ke Polda Kalbar. Massa dari ormas Islam menuntut polisi melindungi ulama yang datang ke wilayah mereka serta memprotes pidato Gubernur Kalbar yang dituding menyudutkan umat Islam.

Juru bicara Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi Rikwanto memastikan informasi provokatif tersebut bohong belaka. Kerumunan massa memakai atribut tradisional di Pontianak digelar dalam rangka Pawai Budaya Dayak pada 20 Mei lalu untuk merayakan panen padi. Sama sekali tidak ada insiden dalam kegiatan tersebut. Jika ada rekaman gambar video menampilkan orang-orang berlarian, karena antara massa aksi bela ulama dan polisi sempat terjadi perbedaan pendapat atas rute arak-arakan.

“Tidak terjadi penganiayaan maupun perusakan dalam kegiatan itu,” kata Rikwanto saat dikonfirmasi media massa.

Walaupun terjadi di hari yang sama, polisi memastikan massa aksi dari kedua kelompok sama sekali tak bertemu. “Karena jalur rutenya kami amankan,” kata Kapolres Pontianak, Iwan Imam Susilo.

Kapolda Kalbar, Brigjen Polisi Erwin Triwanto turut angkat bicara. Dia bilang ada pihak ingin mengompor-ngompori situasi politik Pontianak. Karenanya, Erwin berharap masyarakat, termasuk yang tinggal di luar Pontianak, tak mempercayai video bentrokan antara warga Dayak vs massa ormas Islam.

“Kebanyakan merupakan foto-foto lama dan tidak ada kaitannnya dengan [Pawai Dayak],” ujarnya.

Opini sampah yang menyebut pemerkosaan massal 98 cuma hoax

Selanjutnya kita beralih ke hoax paling brengsek sepekan terakhir. Gara-gara artikel opini tak berdasar yang dimuat oleh sebuah media nasional, muncul broadcast dan postingan medsos menuding tragedi pemerkosaan massal perempuan Tionghoa pada Mei 98 hanyalah kebohongan sistematis etnis Cina. Gila ya. Orang-orang ini seperti berteriak menolak adanya gravitasi atau oksigen di dunia.

Padahal, mantan presiden Habibie saja mengakui adanya pemerkosaan massal. Saksi hidup di Grogol, Tambora, dan Slipi juga masih hidup lho. Tak tahu malu.

Dalam opini yang ditulis wartawan ((senior)) bernama Selamat Ginting itu, disebutkan pemerkosaan massal merupakan dalih segelintir WNI etnis Tionghoa untuk mendapatkan green card ke Amerika Serikat setelah kerusuhan 98. Di tulisannya, dia menyitir keterangan Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib yang menyebut hasil penyelidikan FBI membongkar sindikat warga Tionghoa memalsukan keterangan soal perkosaan agar meraih simpati otoritas imigrasi AS. Lalu tiba-tiba saja, opini tersebut menuding semua pemerkosaan selama rusuh Mei 98 hanyalah isapan jempol, hasil upaya warga Tionghoa ‘mempermalukan’ Bangsa Indonesia.

Opini tersebut, yang disambut sukacita oleh para bigot dan rasis, jelas-jelas masuk kategori ujaran kebencian terhadap satu etnis tertentu. Akhirnya tiba ketika kualitas media mainstream Indonesia menjadi semenjijikkan Breitbart di AS sana (Damn) dengan meloloskan artikel tanpa bukti dan penuh prasangka ini dengan embel-embel ‘jurnalisme warga’.

Bukti terbesar yang selalu diagung-agungkan oleh si penulis opini serta kelompok bigot rasis yang mendukungnya adalah dokumen penyelidikan FBI soal kesaksian palsu tentang pemerkosaan massal. Untuk memperkuat argumen, Selamat Ginting juga menyitir kalau kasus ini turut dimuat oleh media massa AS seperti Washington Times.

Dokumen FBI yang dimaksud itu bisa diakses langsung di situs UNODC (lho, tak perlu kaget lah). Tahu kasusnya terjadi kapan? 2004.

Pemalsu dokumen yang hendak memasukkan WNI ke AS itu bernama Hans Gouw. Benar dia dulunya WNI dan sudah memperoleh izin tinggal di AS, tapi kasus keterangan palsu dan pemalsuan dokumen imigrasi yang dia lakukan bukan untuk membantu warga Tionghoa kabur setelah Tragedi 98. Korban-korban Gouw adalah 40 perempuan di bawah 18 tahun yang hendak dipekerjakan sebagai pelacur dan penari striptis dalam skema perbudakan manusia. Seandainya para korban terlanjur datang ke Amerika, Gouw dan komplotannya akan menyita dokumen, bahkan melarang mereka keluar asrama selama setahun.

Berkat pengungkapan kasus ini, 40 perempuan itu terhindar dari human trafficking. Gouw dihukum lima setengah tahun penjara pada sidang 9 September 2005.

Kasusnya ada, arsipnya tersedia, dan liputan media-media AS baik dari Washington Times ataupun CNN International mengenai kasus Guow masih bisa diakses. Sama sekali tak ada keterangan bahwa keterangan palsu bahwa calon korban perdagangan manusia itu kabur dan mengaku diperkosa setelah insiden Mei 98. Upaya Selamat Ginting, serta para pembenci etnis Tionghoa, mengaitkan dua insiden terpisah semacam itu karenanya bisa disebut kebohongan yang mengerikan.

Kalaupun ada yang mempermalukan bangsa Indonesia dalam skandal hoax brengsek ini, yang patut ditunjuk pertama kali adalah Selamat Ginting serta para pendukung teori jahat mengklaim pemerkosaan massal 98 hanya kabar bohong. Sebab, mereka tidak bisa membaca laporan bahasa Inggris yang bisa diakses siapapun, lantas memilih percaya buta pada kebencian rasial tak berdasar.

Hepatitis bisa menular lewat makanan

Isu ini awalnya hanya beredar di Bandung, tapi kemudian segera menyebar ke pengguna smartphone di kota-kota lain. Tersebar informasi sesat bila jumlah pasien hepatitis A di RS Hasan Sadikin Bandung meningkat drastis, menjadi lebih dari 80 orang. Kasus serupa konon juga dialami RS Immanuel, yang menampung 40 korban hepatitis A.

Rata-rata korban, kata pesan bohong itu, berasal dari Buah Batu, Moch Toha, dan Kopo. Dalam broadcast whatsapp ini (seperti biasa, jangan percaya broadcast) ada pesan agar warga berhati-hati membeli makanan dari kawasan Bandung yang disebut.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung, Rita Verita Sri hasniarty, segera membantah whatsapp abal-abal itu.

“Dipastikan data tersebut tidak benar,” ujarnya saat dikonfirmasi stasiun radio lokal Bandung.

Dinkes mengongirmasi ke dua RS yang dicomot namanya, memastikan tak ada lonjakan pasien hepatitis A.
manajemen RS.Immanuel tidak pernah menyampaikan informasi ataupun me-realeas berita/info yang sifatnya belum bisa dipastikan kebenarannya,” imbuh Rita.

Hoax terkait kesehatan termasuk yang paling menyebalkan di Indonesia. Sebab kabar bohong semacam ini membuat panik orang awam, termasuk orang tua kalian yang akan sibuk mengirim pesan menanyakan kebenarannya (mama dapat dari grup sebelah, bener engga sih?)

Pemerintah sudah menggelar survei, menyatakan hoax yang paling banyak tersebar selama kurun 2016-2017 di Indonesia selalu terkait info kesehatan abal-abal. Hoax macam ini juga sulit diberantas, karena memanfaatkan celah keluguan orang yang kurang paham kesehatan.

“Penyebar biasanya merasa berita yang mereka terima itu benar menurut logika mereka, mereka tidak punya berniat buruk untuk menyebar berita tersebut,” kata Wina Armada Sukardi, Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia.

Sialan lu penyebar hoax kesehatan. Selama kalian masih hidup, saya (dan jutaan anak muda lain) akan selalu direpotkan oleh pertanyaan konfirmasi dari ayah-ibu, paman hingga tante di grup WA keluarga, yang seringkali dimulai oleh frasa ‘eh, aku dapat dari grup sebelah nih’.