News

Panik Ada Rumor Bakal Perang dengan Taiwan, Warga Tiongkok Borong Makanan

Tentara memberi hormat dalam pawai militer merayakan HUT ke-70 berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada 2019.

Imbauan Kementerian Perdagangan Tiongkok untuk menimbun bahan makanan telah menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Orang menduga pihak berwenang berupaya mengantisipasi kekurangan stok makanan selama musim dingin atau lockdown berkepanjangan guna mempertahankan angka penularan Covid-19 tetap nol.

Namun, segelintir orang percaya negara siap menaklukkan wilayah Taiwan, sehingga mereka membeli bahan makanan, biskuit hardtack dan senter secara berlebihan untuk bertahan hidup selama masa menegangkan.

Videos by VICE

“Mungkin butuh setengah sampai satu hari penuh untuk merebut Taiwan, maksimal 3-5 hari,” ujar warga Zhengzhou yang hanya memberi nama marga Wang. “Tapi kalau pasukan asing jahat memblokade negara kita, barang takkan bisa masuk ke Tiongkok dan harga akan naik.”

Kepanikan ini mencerminkan hubungan yang semakin memanas di kedua sisi Selat Taiwan. Propaganda Beijing untuk menjadikan Taiwan sebagai satu negara Tiongkok dan mencapai “peremajaan nasional” telah memicu spekulasi tentang kemungkinan perang, dan pihak berwenang terkadang kewalahan mengendalikan rumor semacam itu.

Ketegangan di Selat Taiwan makin intens diberitakan media selama beberapa bulan terakhir. Pasukan militer Tiongkok bulan lalu mengirim sejumlah jet tempur ke zona pertahanan udara Taiwan. Baru-baru ini, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengonfirmasi keberadaan pasukan AS di wilayahnya, sementara jenderal AS mengatakan pekan ini bahwa mereka akan “sepenuhnya” mendukung Taiwan, meskipun dia tak mengharapkan serangan dalam dua tahun ke depan.

Wang, lelaki 30 tahun yang berprofesi sebagai pedagang perabotan rumah tangga, mengungkapkan telah menghabiskan lebih dari 1.000 yuan (Rp2,2 juta) untuk mempersiapkan keadaan darurat selama beberapa bulan terakhir. Dia membeli sekop multifungsi, kompas, masker gas, fire starter, peluit dan alat pemadam kebakaran.

Dia juga membeli beras, terigu dan minyak goreng yang cukup untuk menghidupi delapan anggota keluarganya hingga musim semi. Menurutnya, semua pasokan ini akan sangat dibutuhkan kalau sampai terjadi krisis ekonomi akibat perang. Zhengzhou berjarak ribuan kilometer jauhnya dari Selat Taiwan, tapi Wang menyebut tempat tinggalnya merupakan pusat transportasi dan bisa menjadi sasaran empuk musuh.

Orang-orang seperti Wang beranggapan retorika pro-unifikasi yang digaungkan media pemerintah menunjukkan perang bisa saja segera terjadi. Pekan lalu, pejabat Tiongkok yang mengurus hubungan dengan Taiwan berujar, pendapatan pulau itu akan digunakan untuk meningkatkan mata pencaharian setelah Taiwan bersatu. Komentarnya menjadi trending topik di situs mikroblog Tiongkok. Akun-akun nasionalis juga menyebarkan berita bahwa menteri pertahanan Taiwan tengah menyusun buku pedoman bertahan hidup di tengah perang.

Pekan ini, beredar artikel yang merekomendasikan warga Tiongkok untuk berinvestasi properti di Taiwan setelah pulau itu menjadi “provinsi”. Satu kota di Tiongkok timur bahkan membagikan perlengkapan darurat kepada sejumlah warga. Pesan teks palsu yang meminta pasukan cadangan juga tersebar luar di grup chat.

Sementara kaum nasionalis dibikin girang oleh postingan-postingan ini, sejumlah pihak membicarakan konflik yang berpotensi menimbulkan bencana. Pada Selasa, “hardtack” menjadi produk yang paling banyak dicari di situs Taobao. Biskuit ini tahan lama dan mengenyangkan, cocok untuk dikonsumsi ketika kekurangan makanan. Banyak netizen menceritakan, orang tua mereka membeli biskuit ini sebanyak mungkin buat jaga-jaga.

“Apa benar negara kita akan mengambil alih Taiwan?” tanya seorang pengguna Weibo pada Selasa. “Bibi menelepon ibu untuk menimbun beras bersama-sama.”

Otoritas berusaha meredam rumor ini. Sebuah outlet media sosial yang berafiliasi dengan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok, Junzhengping, memperingatkan Rabu, rumor mobilisasi tentara dapat memberikan kesan yang salah kepada publik dan membawa “konsekuensi yang tidak dapat diprediksi”.

Media pemerintah telah meminta warga agar tidak berlebihan menyikapi imbauan tersebut, yang sebenarnya disampaikan untuk mempersiapkan warga menghadapi lockdown Covid-19. Kementerian juga menekankan pasokan makanan Tiongkok masih cukup.

Wen-Ti Sung, pakar Taiwan di Universitas Nasional Australia, mengutarakan, media pemerintah Tiongkok telah menggunakan seruan penyatuan seperti itu untuk meningkatkan dukungan bagi kepemimpinan komunis, tanpa menyebutkan secara eksplisit tentang invasi militer.

“Mereka melakukannya secara taktis dengan penyangkalan masuk akal,” Sung memberi tahu VICE World News. “Mereka membicarakan apa yang akan terjadi setelah penyatuan. Sebagian orang akan berpikir penyatuan segera terjadi, dan kita harus bersatu di belakang panglima tertinggi, dan inilah saat yang tepat untuk persatuan secara internal alih-alih perbedaan pendapat atau keragaman.”

Sementara itu, menurut Sung, masyarakat Taiwan menyikapinya dengan biasa-biasa saja. Mereka telah hidup di bawah risiko perang sejak Partai Komunis berkuasa pada 1949 untuk mendirikan Republik Rakyat Tiongkok, dan memaksa pemerintah Republik Tiongkok pindah ke Taipei. Jajak pendapat terbaru menunjukkan, 64 persen orang dewasa di Taiwan melihat perang tidak mungkin terjadi, sedangkan satu dari empat responden percaya Beijing akan menyerang “cepat atau lambat”.

Follow Viola Zhou di Twitter.