Rupa-Rupa Alasan Penyuka Sepakbola Berhenti Dukung Timnas Negaranya

Ada terlampau banyak alasan masuk akal untuk tidak mendukung timnas negaramu.

Salah satunya, sekeren apapun prestasi timnas negara kita, pada akhirnya capaian mereka bakal dibajak penggemar sepakbola senofobik atau fan sepakbola yang kelewat nasionalis dan mengagung-agungkan patriotisme palsu. Di sisi lain, kala prestasi timnasmu kelewat buruk, memberikan dukungan saat mereka mewakili negara kita tak ubahnya sebuah tindakan yang masokis. Kita sudah kadung tahu kalau bakal terluka sejak kick-off. Dan karenanya, saya yakin betul setiap fan timnas Indonesia adalah orang-orang yang dikaruniai kesabaran tanpa batas. Mereka iklas saja—meski sedih juga sih—menjadi saksi mata laga-laga butut tim garuda, dari waktu ke waktu.

Sayangnya, stok rasa sabar semacam ini tak dimiliki oleh semua fan sepakbola di muka Bumi. Buktinya, kami menemukan sekumpulan orang yang dengan sadar menghentikan dukungan pada timnas negara, entah karena alasan personal, emosional atau hal-hal yang berkaitan dengan sikap politis yang mereka yakini. Kami pun lantas mengajak mereka ngobrol tentang alasan mereka meninggalkan timnas negara mereka—beberapa di antara ikut berkompetisi dalam hajatan Piala Dunia 2018—dan, dalam banyak kasus, terang-terangan mencintai timas negara lain.

Videos by VICE

James, Mantan Pendukung Timnas Inggris

VICE: Apa alasanmu berhenti mendukung timnas Inggris? James:
Alasannya enggak tunggal sebenarnya. Aku mendukung timnas Inggris sampai sekitar tahun 2000. Lalu, selepas itu, ada generasi pemain sepakbola yang sepak terjangnya di dalam atau di luar klub saja sudah bikin keki seperti John Terry, Ashley Cole dan lain-lain. Ternyata, saat pemain-pemain ini dipanggil masuk skuad timnas, aku enggak serta merta melupakan ketidaksukaanku pada mereka.

Aku juga secara mendasar tak setuju sentimen pro Brexit yang terang-terangan dipamerkan fan hardcore timnas Inggris. Aku dibesarkan agar percaya bahwa kualitas permainan sepakbola Inggris itu begitu tinggi dan bahwa pertandingan sepakbola itu melulu masalah kejayaan. Sayangnya, aku malah sering melihat permainan timnas Inggris yang menjemukan dan mulai mencintai timnas negara lain. Pada 2006, aku akhirnya mulai mengikuti sepak terjang timnas Argentina. Lagi-lagi, aku enggak bisa begitu saja mengesampingkan keyakinan saya pada sepakbola. Belakangan, sikapku mulai melunak terhadap timnas Inggris, buktinya aku membela pemain Inggris bila sedang kisruh dengan tabloid Inggris. Plus, aku ada seorang pendukung Spurs dan kontingen pemain Spurs sangat penting dalam formasi timnas Inggris.

Ada pemain atau kesebelasan lain yang diam-diam kamu sukai dalam gelaran Piala Dunia tahun ini?
Jujur, aku enggak terlalu suka tim Argentina tahun ini. Aku mendukung Belgia dengan sebuah alasan yang mudah ditebak (ada tiga pemain Tottenham di sana : Jan Vertonghen, Mousa Dembele and Toby Alderweireld), aku suka cara bermain kolektif yang ditunjukkan timnas Islandia. Aku juga suka pemain lapangan tengah Kroasia dan aku suka gaya sepakbola Kolombia. Jerman adalah timnas yang bermain dengan brilian. Perancis bisa keren kalau pemainnya mau saling bekerja sama. Pokoknya, semua tim yang menghibur. Dan, tentunya Nigeria yang punya jersey yang bagus.

David, Mantan pendukung timnas Norwegia

VICE: Kenapa kamu enggak mendukung timnas Norwegia? David:
Karena mereka butut banget.

Butut gimana nih, bisa kamu jelasin enggak?
Semua negara Skandinavia di luar Norwegia masuk Piala Dunia. Bahkan, timnas Islandia saja ikutan Piala Dunia. Timnas Norwegia memang belum pantas bertanding di Piala Dunia. Aku sih okay-okay saja tapi tetap saja, dongkol rasanya.

Joan, mantan pendukung timnas Spanyol

VICE: Sebagai orang Katalunya, Joan, bisa enggak kamu cerita bagaimana rasanya saat kamu masih mendukung timnas Spanyol?
Joan: Aku mendukung timnas Spanyol sampai tahun 2010, tapi aku berhenti karena sebuah pengalaman pribadi. Aku mendukung timnas Spanyol gara-gara ada pemain Barcelona di dalamnya dan beberapa temanku getol mengikuti sepak terjang timnas Spanyol, jadi menjadi pendukung timnas Spanyol sudah jadi semacam kewajiban. Kami merayakan kemenangan Spanyol di Piala Eropa 2008. Akan tetapi, semua berubah saat kami pergi ke San Fermin untuk nonton laga Spanyol di Piala Dunia 2010. Kami nonton pertandingan itu di zona suporter di lapangan Pamplona. Lalu ada beberapa orang yang mencurigai kalau kami adalah penduduk Katalunya. Mereka menanyai kami apakah kami “orang Katalunya normal atau bukan.” Yang mereka maksud normal adalah kalau kami menjadi fan La Roja. Pembeda-bedaan ini memaksa saya berpikir keras dan mendalam.

Sejak saat itu, aku menonton laga final Piala Dunia 2010 tanpa antusiasme berarti. Teman-temanku merayakan kemenagan Spanyol. Cuma, bagiku, itulah momen yang menegaskan sentimen apatisku pada timnas Spanyol. Aku cuma mikir: “Okay dah kalian yang juara bukan aku.”

Apa yang memperkeruh hubunganmu dengan timnas Spanyol?
Secara politis, Katalunya waktu itu tengah menghadapi kondisi pelik dalam perjuangan mendapatkan status daerah otonom. Jadi, waktu itu, aku merasa disingkirkan secara politis juga dalam pergaulan sosialku. Makanya, minatku mendukung timnas Spanyol hilang begitu saja. Biar aku kasih tahu ya, aku sudah menginginkan kemerdekaan Katalunya sejak berumur 14 tahun tapi aku masih dengan senang hati mendukung La Roja sampai berumur 20 tahun. Kini, bagiku, timnas Spanyol tak lebih dari sekadar alat politik belaka.

Perry, mantan pendukung Timnas Inggris

VICE: Jadi, bagaimana cerita sampai kamu berhenti mendukung timnas Inggris?
Perry: Aku sih enggak berani bilang aku sudah benar-benar berhenti mendukung timnas Inggris. Aku cuma apatis saja dengan mereka. Aku lahir pada 1996, jadi aku otomatis enggak punya kenangan tentang turnamen yang dimenangkan oleh Inggris. Aku juga enggak merasakan semangat pra-turnamen yang dimiliki oleh mereka yang besar pada dekade ‘80an dan ‘90an.

Selain, aku enggak pernah jadi saksi kesuksesan timnas Inggris, fan-fan timnas Inggris bikin keki banget. Melihat kelakuan buruk fan timnas Inggris di Belanda awal tahun ini bikin apatisme yang aku rasakan makin menjadi. Kebanyakan fan yang menonton laga-laga tandang timnas Inggris adalah fan brengsek yang gampang naik pitam dan mendukung mati-matian Brexit. Aku enggak bangga lagi melihat kumpulan suporter ini di turnamen internasional apapun karena aku tahu bakal ada berita tentang yel-yel rasis yang mereka kumandangkan. Yel-yel itu menyinggung Perang Dunia II, kegiatan mengobrak-abrik jalan dan perayaan Brexit. Suramlah pokoknya.

Permasalahan terakhirku dengan timnas Inggris adalah pers di negara kami sangat kejam tentang penampilan timnas Inggris di turnamen-turnamen yang mereka ikuti. Tak usah jauh-jauh mencari contohnya. Kalian cukup membaca tulisan Raheem Sterling yang dimuat di The Daily Mail dan The Sun.

Kamu pernah berharap kondisinya ini tak dihadapi timnas Inggris?
Aku merasa menonton pertandingan timnas Inggris sama rasanya seperti mengenakan bunga poppy atau merayakan St George’s day… segala yang bermain patriotisme saat ini sudah dibajak oleh kelompok sayap kanan. Pendukung timnas Inggris seperti kepongahan dan mentalitas penduduk pulau yang enggak pernah bisa aku pahami. Kalau ditilik dari tren terkini terkait Brexit dan politik sayap kanan, kondisi ini, menurutku, enggak akan membaik dalam waktu dekat.

Aku sadar kalau kami bukan satu-satunya negara yang bermasalah dengan pendukung timnasnya. Tapi, aku enggak bisa membayangkan kalau adab orang Inggris justru dipraktekkan oleh penduduk negara-negara Eropa. Aku tahu aku kedengaran seperti seorang pro-EU dan sok-sok kiri, tapi pandanganmu memang begitu adanya.

Jadi, kamu dukung siapa di Piala Dunia tahun ini?
Aku taruhan megang Perancis, jadi aku punya kepentingan finansial dengan timnasnya. Tapi, selain itu, bagian dari taruhan ini adalah kamu harus membiarkan jenggotmu tumbuh sampai tim pilihanmu kalah. Jadi, aku juga pengin Perancis keok di fase grup.

Aku juga suka timnas Afrika Selatan dan timnas-timnas Afrika—mereka selalu bisa menciptakan atmosfir keren dalam tiap pertandingan. Tahun ini sih, aku menjagokan Argentina karena aku ingin lihat Messi jadi juara dunia.

Simon, mantan penggemar sepakbola internasional

VICE: Jadi, kenapa kamu berhenti mendukung timnas negaramu? Simon:
Begini, waktu kecil, aku pernah mendukung timnas Inggris dan Cina. Cuma, begitu aku berumur 16 atau 17 tahun, aku berpikir kalau nasionalisme adalah biang banyak masalah di dunia ini. Nasionalisme enggak lebih dari cara pemerintah mengontrol rakyatnya. Sejak saat itu, aku enggak lagi mendukung timnas mana pun.

Boleh juga alasannya, menurutmu, manifestasi nasionalisme dalam sepakbola macam apa yang bikin kamu keki? Simon: Mungkin, enggak sepenuhnya tentang nasionalisme. Tapi, tentang bagaimana kita bangga atas prestasi orang lain. Misalnya, andaikan Inggris menang Piala Dunia tahun ini, orang akan menyebutnya sebagai prestasi Inggris, bukan segolongan pemain timnasnya. Aku enggak bisa menjustifikasi secara filosofis bagaimana aku bisa ikutan bangga padahal aku tak punya sumbangsih atas kemenangan timnas Inggris.

Tapi, itu juga terjadi pada klub-klub sepakbola juga kan?
Ya, aku setuju. Misalnya, aku mencoba menonton kompetisi sepakbola antar klub, apapun itu, kayaknya aku akan kesusahan memberikan dukungan pada tim tertentu. Menurut hematku, sepakbola adalah soal menonton atlet luar biasa mencatatkan prestasi yang luar biasa pula. Makanya, aku lebih memilih pendukung individu tertentu, bukannya sebuah tim. Dengan kata lain, aku menikmati menyaksikan Cristiano Ronaldo memecahkan rekor demi rekor, atau saat sekumpulan pemain di Leicester jadi kampiun Premier League.

Tapi bukannya nasionalisme dalam sepakbola kamu pandang sebagai sesuatu yang problematis? Sepertinya alasan aku tak menyukai timnas negara manapun adalah karena aku punya pandangan politik tertentu. Aku percaya bahwa kebanyakan dari kita sudah dicuci otaknya sejak lahir dengan pemikiran seperti “kamu harus mencintai negaramu,” atau sejenisnya.

Aku juga berpikir kalau timnas bisa mengacaukan hubungan internasional antar negara. Contohnya, tiap kali Jepang bertanding lawan Cina, yang terjadi tak cuma sebuah pertandingan sepakbola. Pertemuan itu juga membuka luka lama yang sudah ada sejak Perang Dunia II—terutama bagi generasi yang lebih tua.

Agak keterlaluan juga bila tiap kali kita nonton timnas bertanding, kita berharap mereka menang dan timnas lawan terpuruk. Lalu, kalaupun Katalunya akhirnya bebas dari Spanyol, aku bisa menduga kalau pertemuan melawan timnas Spanyol akan selalu jadi laga politis. Aku yakin ada banyak contoh lainnya. Tapi suka atau tidak, politik selalu terlibat dalam pertandingan olahraga internasional.

Roshan, mantan pendukung timnas India

VICE: Kenapa kamu berhenti dukung India, Roshan? Roshan:
Ada beberapa alasan. Yang pertama, di sini permainan kriket jauh lebih populer daripada sepak bola, dan tim kriket kami telah meraih banyak kesuksesan, jadi hal ini menarik minat fans untuk menonton permainan kriket dan kita jadi abai pada olahraga lainnya yang timnya tidak tampil bagus. Ini juga berarti pemerintah tidak terlalu memerhatikan sepak bola dibandingkan kriket.

Progresnya pun kecil—tim nasional tidak pernah mencapai apa-apa selama 60 tahun belakangan. Mereka juga memproduksi beberapa pemain berbakat, tapi secara umum tidak ada kemajuan ataupun arahan dari FA kami.

Kami juga kurang mahir mencari bakat—bakat terbaik kami pun tidak pernah menjadi pemain unggulan di sepak bola Eropa. Jadi, tidak ada pemain yang bisa kita dukung secara mendalam. Begitu pula, tidak ada rencana jelas untuk masa depan sepak bola India, dan tidak ada manajer yang mampu mengubah sistem yang ada.

Tidak ada jalan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan potensi di negara ini. Tidak ada visi atau jalan. Jadi rasanya seperti menggapai angin, amat lesu.

Apakah kamu bisa mendukung timnas kalau masalah-masalah mendasar sudah terselesaikan? Tentunya! Secara pribadi, saya merasa demikian, bahwa bagi fans, bukan kesuksesan yang membuat kami mendukung sebuah tim, melainkan jika tim tersebut menunjukkan progres atau janji—dan tentunya ada semangat patriotisme juga. Tanpa tanda-tanda progres, saya merasa kecewa dan tidak ada gunanya meluangkan waktu dan energi untuk mendukung tim ini.

Kira-kira, siapa yang kamu dukung di Piala Dunia, secara India tidak pernah mencapai final?
Saya mendukung Spanyol di Piala Dunia 2010, tapi berhenti mendukung tim manapun setelah itu. Saya tidak merasa terhubung. Sekarang saya nonton sepak bola internasional santai saja, dan berharap tim-tim kecil bisa menang. Saya juga pendukung Liverpool, jadi selama pemain kami performanya bagus, saya senang-senang saja.