Orang terdekat bisa menyakiti kita lebih dalam. Ungkapan itu terkadang ada benarnya.
Mereka yang kita anggap keluarga, yang seharusnya melindungi dan mencintai kita dengan tulus, dapat menjadi alasan utama seseorang merasa tidak aman di rumahnya sendiri. Perbuatan mereka bisa meninggalkan luka batin yang mendalam dan sulit disembuhkan. Tapi jika dibiarkan tak teratasi, trauma akan mengikat orang dalam lingkaran setan, yang mengakibatkan perilaku abusif atau kasar berputar di lingkungan keluarga dari generasi ke generasi.
Videos by VICE
Permasalahannya, bagi sebagian orang, sulit sekali melepaskan diri dari keluarga yang selalu menjatuhkan mereka. Mau tak mau mereka bertahan di rumah, meski sesungguhnya sudah tidak betah dan menimbulkan rasa waspada sepanjang waktu. “Merasa tidak aman menjadi diri sendiri di rumah sangatlah melelahkan. Apabila hal ini terjadi saat masih kanak-kanak, sebelum otak berkembang sepenuhnya, rasa tidak aman dapat menyebabkan perubahan mental, emosional dan fisik yang kekal,” terang psikoterapis Shae Chisman di Georgia, Amerika Serikat.
Terapis Vanessa Pezo menjelaskan, pengalaman traumatis yang disebabkan oleh anggota keluarga dapat memengaruhi kemampuan seseorang mengelola emosi, memandang diri sendiri dan melihat masa depan. Menurutnya, tak jarang individu yang menerima perlakuan kasar dari orang rumah berpikir bahwa mereka pantas untuk dijahati atau diabaikan—bahwa itu semua salah mereka. Dalam kasus lain, orang mungkin menyepelekan atau mengabaikan trauma mereka, yang akhirnya menjebak mereka dalam hubungan yang sama-sama tidak sehat.
Trauma bisa muncul karena berbagai sebab, dan setiap orang punya respons mereka masing-masing ketika menghadapi trauma, sehingga mereka membutuhkan cara yang berbeda-beda pula untuk sembuh darinya. Akan tetapi, menjaga keselamatan pribadi tetap yang utama.
“Jadikan keselamatan fisik dan emosional sebagai prioritas jika kamu tinggal bersama anggota keluarga yang menyakiti atau memperlakukanmu dengan buruk,” tutur Chisman.
Pezo merekomendasikan untuk meninggalkan lingkungan atau situasi yang membuatmu tidak nyaman. “Pikirkanlah dukungan apa yang kamu butuhkan,” tuturnya. Kamu mungkin bisa menumpang sementara di rumah teman, mencari rumah aman, atau bahkan melaporkan anggota keluarga ke polisi kalau tindakan mereka sudah sampai tahap mengancam keselamatanmu. Itulah sebabnya kamu perlu memastikan telah mendapat perlindungan kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Contohnya seperti orang atau nomor yang dapat dihubungi dalam keadaan darurat.
Selanjutnya, kamu mesti mempersiapkan segala yang dibutuhkan agar kamu tidak kesusahan di kemudian hari. Pastikan tabunganmu cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi, berkas-berkas sudah lengkap, dan membawa persediaan obat.
“Jadikan keselamatan fisik dan emosional sebagai prioritas jika kamu tinggal bersama anggota keluarga yang menyakiti atau memperlakukanmu dengan buruk.”
“Butuh pengorbanan besar untuk bisa terlepas dari situasi abusif, sehingga kamu perlu merencanakan segala sesuatu matang-matang supaya prosesnya lebih lancar,” kata Pezo.
Namun, ada kalanya minggat dari rumah mustahil terlaksana. Beberapa orang tidak sadar mereka hidup dalam lingkungan yang tidak sehat, atau mereka sulit mengambil keputusan besar tersebut. Barangkali dana mereka terbatas, atau tidak ada yang bisa dijadikan tempat perlindungan. Faktor kesehatan juga menjadi alasan seseorang ragu-ragu untuk meninggalkan rumah. Beberapa cara bisa kamu lakukan untuk menemukan ketenangan batin pada saat keluarga tidak dapat dijadikan sandaran.
“Kamu bisa belajar mengenali emosi dan mengatasinya dengan cara yang sehat. Rawat dan lindungi dirimu dengan penuh kasih sayang, yang tidak kamu dapatkan dari keluarga,” Pezo berujar.
Memang tidak gampang membicarakan masalah yang kamu hadapi bersama keluarga, terutama jika mereka merasa tidak bersalah dan berkilah melakukannya demi kebaikan dirimu. Kamu mungkin khawatir akan memperkeruh situasi kalau mengonfrontasi mereka. Namun, mengubur trauma justru berpotensi memperburuk keadaan dalam jangka panjang. Kalau kamu merasa sulit mengutarakannya langsung kepada mereka, kamu bisa bercerita dengan saudara terdekat atau konsultasi dengan terapis sebagai tahap awal memulihkan trauma. Apabila keluarga bersikukuh mereka yang benar, ingatlah apa yang kamu rasakan itu valid. Jangan biarkan sifat keras kepala mereka mengecilkan hatimu.
“Rawat dan lindungi dirimu dengan penuh kasih sayang, yang tidak kamu dapatkan dari keluarga.”
“Anggota keluarga terkadang tidak mau mengakui perbuatan mereka… atau menuduh kamu gampang baper atau menyuruhmu berhenti mengungkit-ungkit masa lalu,” Pezo menerangkan. “Penting bagimu memberi ruang untuk mencerna apa yang telah mereka lakukan kepadamu dan dampaknya terhadap hidupmu. Pengalaman dan emosi yang kamu lalui semuanya valid. Berlatihlah sampai kamu terbiasa memvalidasi diri.”
Sayangnya, tinggal satu atap tak selamanya berarti mereka siap mengakui kesalahan dan membenahi diri demi kepentingan bersama, sehingga terkadang kamu terpaksa mengatasinya sendiri.
“Anggota keluarga terkadang tidak mau mengakui perbuatan mereka atau menuduhmu gampang baper… tapi ingatlah, perasaanmu valid.”
Kamu juga bisa mempraktikkan teknik grounding dengan memfokuskan semua indra pada kondisi sekitar. Hal ini bertujuan mengalihkan perhatian dari emosi negatif supaya tubuh dan pikiran tetap tenang di rumah. Menarik napas dalam-dalam, menyentuh benda di dekatmu, atau menghirup bebauan tertentu hanyalah beberapa contoh aktivitas sederhana yang bisa kamu lakukan.
Carilah hobi yang dapat kamu tekuni di luar ruangan. Terapis hubungan Joe Kort menyarankan aktivitas seperti berolahraga, mengikuti kegiatan teater, menikmati pertunjukan musik, atau kegiatan luar ruangan lainnya. Selain mengurangi waktu di rumah, kamu dapat menemukan komunitas dan orang-orang yang menerima dan menghargaimu apa adanya.
“Sangat bagus jika kamu bisa menambah dukungan sosial,” ujar Chisman, yang menekankan pentingnya memiliki support system kuat di luar rumah.
Yang terakhir, kamu perlu tahu menerima keadaan tidak sama dengan memaafkan. Tak ada paksaan untukmu memaafkan mereka kalau kamu belum siap melakukannya. Chisman menegaskan pemberian maaf bukanlah persyaratan utama menyembuhkan trauma.
Kort mengatakan, kamu bisa mempelajari seperti apa emosi yang kamu rasakan ketika berinteraksi dengan anggota keluarga yang menyakitimu, atau saat kamu menceritakan masalah yang terjadi. Kamu sudah di jalan yang benar bila perasaanmu tidak meledak-ledak seperti dulu, atau kamu tak lagi merasa sebenci dulu.
Kort sekali lagi menegaskan, “Yang utama bukanlah memaafkan, melainkan menerima keadaan.”
Follow Romano Santos di Instagram.