Sahabatku, Inilah ‘Pangbes PETA’: Pemimpin Kultus Internet Antikapitalisme

Jika kalian akrab sama kultur meme di Internet, bisa dipastikan kalian setidaknya pernah melihat sosok beratribut militer lengkap dengan tongkat dan lencana menghiasi jas hitam, melontarkan kata-kata inspiratif soal nasib bangsa, serta memanggil siapapun dengan sapaan “sahabatku” yang makin populer setahun belakangan.

Kita semua, rakyat Indonesia, adalah sahabatnya. Tapi apakah sosok tersebut, yang dijuluki pengguna Internet sebagai ‘Pangbes’, singkatan Panglima Besar, adalah sahabat banyak orang? Jangan-jangan orang ini sekadar menambah deretan pemimpin kultus yang sudah cukup banyak jumlahnya di Indonesia?

Videos by VICE

Tak ada cara lebih baik untuk mendapatkan jawaban, selain ngobrol langsung sama Pangbes. Nama aslinya Muhammad Saleh Karaeng Sila. Nyaris setiap hari, melalui laman Facebook resmi, dia mengajak warga Indonesia—tua-muda, kaya-miskin—bersama mengganyang kapitalisme. Sebagian orang menganggap sosoknya sekadar lelucon, TNI sempat dibuat sewot oleh pendirian ormasnya, tapi tak sedikit yang benar-benar percaya Pangbes adalah juru selamat bangsa dari keterpurukan dan penindasan “asing-aseng.”

Sosok karismatik itu mendirikan organisasi Pembela Tanah Air (PETA), yang tenar pelan-pelan di Facebook. Organisasinya meminjam nama kelompok paramiliter era penjajahan Jepang yang kesohor, karena sempat berusaha melakukan pemberontakan dipimpin sodancho (setara komandan peleton) Supriyadi pada 14 Februari 1945 di Blitar, walau akhirnya gagal total. Supriyadi hilang setelah insiden tersebut. Sebagian orang menganggapnya moksa, melahirkan berbagai ramalan dan mitos mengenai kembalinya sang sodancho di masa sekarang sebagai ratu adil. Kini, Pangbes Saleh hendak meneruskan warisan semangat perlawanan Supriyadi.

Beberapa bulan belakangan, meme pangbes makin banyak saja beredar di beranda banyak orang. Jumlah penyuka page resmi PETA sudah mencapai 68 ribu akun. Walau kini julukan dan penampilannya terkesan seperti parodi militer, Saleh rupanya benar-benar mantan anggota TNI AD berpangkat terakhir Mayor. Lelaki asal Jeneponto, Sulawesi Selatan ini keluar dari dinas militer pada 2012. Saleh membentuk PETA tiga tahun berikutnya dengan misi membangun perekonomian mandiri yang bebas campur tangan asing. Saleh mengklaim pendirian neo PETA sebagai panggilan jiwa.

“Perekonomian Indonesia semua dikuasai asing,” ujar Saleh kepada VICE Indonesia. “Aset-aset kita dijual ke asing padahal sudah saatnya kekayaan alam bangsa Indonesia dikelola oleh bangsa sendiri.”

Saleh mengklaim dirinya sebagai panglima besar PETA—makanya dia dijuluki pangbes. Saleh aktif mengunggah berbagai postingan mulai dari poster bergaya komik sampai mengomentari hoaks dan isu ekonomi nasional. Dalam sehari ia bisa mengunggah enam hingga tujuh postingan. Para pendukungnya beramai-ramai mengomentari postingan tersebut dengan berbagai nada dukungan yang bakal dibalas oleh Saleh dengan template ucapan: “terima kasih sahabatku.” Ia menyebut para anggota dan pendukungnya dengan istilah Sigurjel, alias Si gundul rakyat jelata.

Ternyata PETA tak cuma ramai di dunia meme, organisasi tersebut juga membetot perhatian lantaran diduga hendak mengadakan pelatihan militer di Langkat, Sumatera Utara pada awal 2016. Rencana tersebut buru-buru diantisipasi oleh aparat TNI karena tidak memiliki izin. Sampai-sampai Panglima Kodam Sriwijaya kala itu Mayjen TNI Purwadi Mukson mengatakan kepada media kalau pemimpin PETA itu “orang gila” yang kalau perlu “dibinasain.”

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso pada waktu itu ikut angkat bicara, menyebut organisasi PETA versi Saleh tidak memiliki izin dari Kemendagri. Sutiyoso menambahkan bila Saleh punya reputasi buruk di kemiliteran tanpa mengelaborasinya lebih lanjut.

Setelah pernyataan Sutiyoso tersebut, beredar rumor bahwa Saleh keluar dari TNI karena gagal naik pangkat, terlibat kasus kriminal, hingga tidak sabar untuk segera menjadi panglima. Dari beberapa laporan, PETA juga sempat diisukan berafiliasi dengan organisasi radikal dan pendukung ISIS. Semuanya dibantah keras oleh Saleh.

“Kami tidak berafiliasi dengan organisasi, LSM, atau partai manapun,” ujar Saleh yang lulus akademi militer pada 1999.

Saleh mengatakan dia hanya anak seorang PNS dan awalnya agak abai dengan penderitaan rakyat. Setelah berdinas sebagai tentara, dia mulai melihat kenyataan Indonesia yang mengalami banyak ketidakadilan, khususnya di bidang ekonomi. Selama menjadi perwira itulah, Saleh mempelajari berbagai buku tentang gotong royong. Dia menyimpulkan bahwa melalui sistem gotong royong, perekonomian bisa digerakkan lebih efektif melibatkan rakyat miskin.

PETA tidak besar begitu saja hanya dengan menyebar di Facebook. Ormas ini pelan-pelan membesar setelah Saleh mengajak rekan dan tetangganya, hingga kemudian warga kota lain, terlibat dalam tabungan bersama yang hasilnya digunakan membangun warung-warung sembako. Warung tersebut dikelola oleh simpatisan PETA tingkat desa. Laba jual beli sembako tersebut lantas dibagikan ke semua pengurus PETA dan peserta tabungan. Skema ini yang membuat pangbes, dengan atribut menggelikan, meraih simpati warga sekitaran Jabodetabek. Anggotanya pelan-pelan terus meningkat dua tahun terakhir. Orang yang ingin bergabung akan dimasukkan ke grup Whatsapp per wilayah untuk diberi “pelatihan” sederhana tentang konsep perekonomian ala PETA—serta tentu saja arahan ikut program tabungan mereka.

Saleh tidak berhenti hanya mengumpulkan tabungan. Warung sembako yang dia bangun di Bekasi, Tangerang, dan pinggiran Jakarta sejak tahun lalu mulai memasarkan produk-produk PETA yang dibikin sendiri oleh anggotanya. Mulai dari rokok, kopi, deterjen, sampai sabun cuci piring. Barang-barang tersebut tentu saja tak mengantongi izin MUI, BPOM atau SNI.

Soal ketiadaan izin, Saleh berdalih kalau semua ini insiatif koperasi ala rakyat kecil. Sehingga perkara izin bisa minggir lebih dulu.

“Ini sistem koperasi. Rakyat dilibatkan dalam mengelola modal. Pengumpulan tabungan tersebut digunakan untuk investasi. Sehingga nantinya akan mendorong home industry,” kata Saleh.

Memasarkan ormasnya lewat Facebook terbukti efektif—setidaknya untuk menggaet demografi tertentu yang cocok dengan misi PETA. Ratusan anggotanya sekarang tersebar tak hanya di Pulau Jawa, tapi hingga Kepulauan Riau sampai Sulawesi Selatan. Tiap anggota baru langsung mendirikan cabang tingkat desa di tempat mereka tinggal masing-masing.

Semua masih terasa abu-abu, sampai akhirnya saya ngobrol tentang adakah syarat tambahan untuk bisa bergabung dengan PETA. Saleh bilang intinya cukup menabung sejumlah uang ke komunitas PETA tingkat desa. Ketika tabungan sudah dibuka, penabung bakal diberikan buku tabungan dan diimbau untuk berbelanja di warung resmi PETA. Wah, sama saja ‘memaksa’ anggota baru setor duit dengan berbagai cara dong? Saleh mengklaim itu bukan pemaksaan. “Kalau tidak mau berbelanja di PETA, orang tersebut tidak 100 persen mendukung PETA,” ujarnya.

PETA sampai sekarang diakui Saleh bukanlah organisasi berbadan hukum. Padahal setiap organisasi yang melakukan pengumpulan dana dari masyarakat harus memiliki izin operasional dan berbadan hukum untuk menghindari sengketa dan risiko keuangan. Paling tidak ia juga harus terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Merespons risiko tersandung masalah, Saleh menjawab kalau dia belum berniat mendaftarkan organisasinya ke otoritas terkait.

“Masalah izin nanti saja kalau sudah berbentuk perseroan terbatas (PT),” ujar Saleh enteng.

Tentu saja manuver Saleh sangat berisiko. Kepala Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro OJK Harsbur Peridia mengatakan lembaga keuangan yang tidak berbadan hukum bisa dipidanakan. Peridia mengatakan per Januari 2016, semua lembaga keuangan wajib berbadan hukum. Tujuannya adalah agar risiko penggelapan bisa dipertanggungjawabkan.

“Kalau tetap menghimpun dana masyarakat, maka bisa kena sanksi pidana sesuai undang-undang yang berlaku,” ujar Peridia.

Saleh mengaku punya cara sendiri untuk menjamin pengumpulan dana ala ormasnya bebas dari penggelapan. Gimana caranya Pangbes? Selalu unggah foto buku tabungan, katanya, dan silakan bagi anggota yang merasa uangnya ditilap pengurus PETA lapor polisi. Tapi, ingat ada tapinya, kalau kelamaan di polisi silakan pakai cara lain.

“Jika susah diselesaikan secara hukum positif maka silakan gunakan hukum rimba dengan syarat harus rapi dan senyap. Salahgunakan uang penabung berarti termasuk pengkhianatan terhadap amanah pejuang (penabung),” tulis Saleh dalam Facebook-nya.

Waduhhh surem bener pangbes…

Layaknya Karl Marx membagi tahapan sosial-ekonomi masyarakat menuju utopia, Saleh menetapkan lima tahap sampai negara bisa sepenuhnya dikuasai oleh rakyat. Dari mulai mengumpulkan modal usaha, membangun warung PETA di desa-desa, memproduksi barang kebutuhan, membangun industri, sampai akhirnya mengelola aset dan kekayaan negara.

Gagasan Saleh bagi yang belajar ekonomi dan paham bahaya kultus barangkali mudah ditertawakan. Namun, menurut pengamat ekonomi, ada naluri purba manusia yang dirayu dengan pola bisnis sederhana ala PETA—khususnya bagi mereka yang selama ini tak punya akses ke perbankan untuk mencari modal usaha. Format PETA yang meminjam beberapa elemen koperasi, juga cepat menarik banyak pihak karena terkesan berkeadilan.

“Wajar jika orang bergabung untuk mencari keuntungan,” ujar Suroto, pengamat ekonomi dari Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) yang fokus mengembangkan koperasi. “Karena sistem koperasi itu mutualistik dan harus memberikan keuntungan agar sustainable.”

Jadi bisakah kita bilang PETA merupakan cara kreatif mendorong koperasi, walau sekilas lebih mirip cult? Suroto ternyata tak terlalu optimis. Dia menilai secara konsep PETA hanya mirip koperasi, namun Saleh dan pengikutnya tidak nampak menganut prinsip keadilan dan bebas eksploitasi.

Pangbes PETA bersama anak buahnya. Foto dari akun Facebook Saleh.

“Saat ini sudah banyak sistem crowdsourcing, namun banyak yang akhirnya dikuasai tiran minoritas,” ujar Suroto. “Jadi belum tentu dia menganut asas koperasi. Apakah dia sudah demokratis dalam penentuan arah usaha? Atau diatur oleh segelintir orang?”

Suroto mencatat bila sistem koperasi di Indonesia, meski sudah berusia 69 tahun, tak menunjukkan geliat signifikan. Sampai akhir 2015, kontribusi koperasi hanya mencapai 1,7 persen atau sekitar Rp187 triliun dari Produk Domestik Bruto (PDB) kita yang sebesar Rp10.377 triliun. Padahal data terakhir menunjukkan jumlah koperasi berbadan hukum di Indonesia mencapai 209.355 unit.

“Koperasi saat ini cuma dilihat sebagai badan usaha mikro, bukan sistem yang bisa diterapkan dalam tataran ekonomi makro,” ujar Suroto. “Paradigma ini yang seharusnya diubah.”

Saleh tetap bersikeras bila PETA, kalaupun tidak bisa disebut koperasi, setidaknya bukan ormas yang menganut sistem kapitalistik. Semua kegiatan diatur secara musyawarah. Ia mengatakan bahwa unit usaha PETA dikelola dari rakyat dan hasilnya dikembalikan untuk rakyat.

“Mereka yang menabung dan belanja di komunitas peta pasti uangnya bertambah setiap hari bahkan setiap terjadi transaksi dalam setiap jam bahkan menit,” ujar Saleh bersemangat.

Jalan Sang Panglima PETA mencapai cita-cita kemandirian ekonomi masih sangat terjal, jika tidak mau dibilang mustahil. Itupun kalau dia dan ormasnya tak tersandung masalah hukum. Saleh tak mau menyerah. Dia tak peduli dianggap gila atau sekadar tukang shitposting di FB sekalipun.

“Sabar dan berjiwa besar itu mutlak dimiliki oleh setiap pejuang, sahabatku,” ujarnya sambil tersenyum.