Saking Lemahnya Orang Sekarang, Kita Bisa Dilumat dengan Mudah Oleh Manusia Purba

Beberapa minggu lalu, saya dan Stockton, teman dari Jerman, lari pagi di sepanjang kaki bukit Mojave Desert dekat rumah. Saya sempat bilang, “Pelan-pelan saja ya. Pusing nih.” Stockton berhenti mendadak, dan memandangku dengan tatapan aneh. Saya terasa mau muntah waktu itu.

Beberapa kilo sebelumnya, kami mendengar gonggongan anjing. Di kejauhan, kami melihat anjing berbulu putih sedang menggonggong, yang suaranya teredam oleh besarnya lahan kosong. Banyak anjing yang tersesat dan hilang di sana. Mereka kabur dari rumah dan mencari perlindungan di bukit. Cuacanya sangat panas dan tak ada air. Banyak ular juga di sana. Mereka bisa saja mati dalam dua hari.

Videos by VICE

Saya dan Stockton pun mengatur strategi untuk menyelamatkan anjing itu. Kami akan mengejar dan menangkapnya. Setelah itu, kami akan mencari pemiliknya. Kedengarannya mudah, kan? Kami berlari ke arahnya. Anjing itu melihat kami mengejarnya dan dia melarikan diri. Penelitian menunjukkan bahwa manusia akan berlari jauh saat ingin mengejar mangsa—atau anjing, dalam hal ini. Faktanya, manusia harus bisa berlari cepat apabila ingin memburu rusa, kudu, atau antelop beberapa ribu tahun lalu, menurut penelitian lain.

Peneliti menemukan bahwa tulang-belulang manusia purba lebih padat dari manusia modern. Ini artinya mereka sering berlari untuk jarak jauh. Penelitian lain menunjukkan bahwa manusia purba memiliki kecepatan berlari yang menyamai atlet lari saat ini.

Meskipun atlet lari bisa dengan mudah mengalahkan kita, mereka juga mudah lelah. Mungkin itulah alasannya mengapa manusia mengembangkan ketahanan dalam berlari; contohnya, bulu tubuh tidak terlalu lebat dan punya kelenjar keringat yang lebih besar, sehingga tubuh kita bisa tetap dingin saat berolahraga.

Manusia purba tak akan berhenti mengejar mangsanya sampai hewan buruannya lelah karena kepanasan. Metode ini, yang dinamakan “kegigihan berburu,” dilakukan oleh pemburu zaman purba selama hampir dua juta tahun lalu. Metode ini juga digunakan oleh Rarámuri untuk berburu rusa di pegunungan Meksiko utara, dan suku Aborigin untuk berburu kanguru di barat laut Australia.

Bushmen Kalahari menggunakan teknik ini sekitar satu dekade yang lalu, sampai Afrika Selatan melarang aktivitas berburu, kata Louis Liebenberg, dosen biologi evolusi manusia di Harvard University yang mempelajari kegigihan berburu dan melacak. Liebenberg menemukan bahwa bushmen harus bisa berlari dengan kecepatan rata-rata 9:40 menit/mil untuk melintasi lebih dari 20 mil (32 km) di medan berbukit dan berpasir dalam suhu 107 derajat.

Baru-baru ini, sembilan atlet lari profesional—salah satunya pelari maraton 2:10— mencoba berburu antelop pronghorn New Mexico, yang dapat berlari 60 mil (96 km) per jam. Para pelari mampu menempuh perjalanan sejauh 20 mil (32 km) selama perburuan dan mencatat waktu 4:36 mil. (Mereka hanya berjarak sembilan meter dari hewan buruan, tapi mereka tidak mampu membunuhnya.)

Ketika kami mengejar anjing, saya baru sadar betapa kuat manusia purba dulu. Setiap kali kami berhasil mendekatinya, anjing itu akan menjauhkan jaraknya. Hal ini sangat aneh karena anjing peliharaan biasanya tidak mau jauh-jauh dariku. Saya pun mencari-cari alasan untuk membuat perasaan lebih baik. Saya menyimpulkan kalau tubuh manusia purba pasti lebih langsing dariku karena sering berlari. Itu artinya mereka belum tentu kuat.

Ternyata saya salah. Menurut studi yang diterbitkan oleh peneliti dari University of Cambridge pada 2017, manusia purba bertubuh kekar. Perempuan pada zaman purba, misalnya, memiliki bagian atas tubuh yang sama kuatnya dengan para pendayung saat ini. Peneliti berspekulasi bahwa mereka membentuk ototnya saat melakukan pekerjaan sehari-hari seperti mengolah kotoran, menggali lubang, dan membawa air.

Lalu, apa yang membuat manusia purba bisa memiliki bentuk fisik mengesankan? Kenapa hanya ada 20 persen manusia modern yang bertubuh bagus? Alasannya karena kita terlalu bergantung pada teknologi canggih. “Teknologi yang dikembangkan saat ini seringkali membuat kita malas bergerak,” ujar David A. Raichlen, dosen antropologi di University of Arizona. “Alat transportasi dan bahkan kursi mengurangi aktivitas gerak kita.

Pemburu di masa sekarang harus bisa hidup tanpa teknologi kalau ingin memiliki kemampuan yang setara dengan manusia purba, kata Raichlen, yang mempelajari tingkat aktivitas suku Hadza di Tanzania, 1.300 orang yang memilih hidup layaknya pemburu zaman dulu. “Kami menemukan bahwa Hadza menghabiskan 75 menit per hari untuk melakukan aktivitas fisik dari tingkat sedang hingga berat,” ujar Raichlen. “Dalam dua hari, suku Hadza berhasil mencapai pedoman mingguan nasional AS.”

Tingkat aktivitas yang tinggi dan pola makan yang sebagian besar dari hasil buruan mungkin menjadi alasan mengapa Hadza jauh lebih sehat daripada orang Barat. Menurut peneliti dari University of Nevada, Las Vegas, mereka juga jarang terjangkit penyakit autoimun, penyakit metabolik dan kanker usus—mungkin karena mereka memiliki bakteri usus yang lebih beragam dari manusia kebanyakan.

Mereka tetap aktif di masa tua. “Suku Hadza mampu mempertahankan tingkat aktivitas yang tinggi di usia 60 dan 70-an, yang biasanya menjadi umur tingkat aktivitas fisik di negara barat mulai menurun,” tutur Raichlen. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat kebugaran adalah prediktor risiko kematian yang lebih baik daripada faktor risiko seperti merokok, hipertensi, kolesterol tinggi, dan diabetes.

Dari pengalaman kami, anjing itu akan memerhatikan kami dengan curiga dan kabur setiap kali kami berhasil mendekatinya. Selain karena lari saya lambat, saya juga tidak tahu apa-apa. “Orang mengira kegigihan berburu hanyalah aktivitas fisik semata. Kita meremehkan sisi intelektualnya,” kata Liebenberg. Menurutnya, manusia harus memahami perilaku dan biologi hewan, pola medan, pelacakan, kecepatan, dll. saat berburu. Saya, sebagai manusia modern, tidak tahu-menahu soal itu.

Saya tidak bisa melacak jejak anjing, dan saya salah memprediksi gerakan selanjutnya. Ketidaktahuan ini membuat saya menghabiskan banyak tenaga berlari ke atas bukit dan kehilangan anjing itu.

Akibatnya, saya merasa mual. Untung saja saya tidak sampai muntah dan menyerah. Kami berdua akhirnya berlari pelan-pelan meninggalkan padang pasir, pulang ke rumah dan minum air dingin. Di situ, saya baru sadar kalau manusia purba akan tidur kelaparan kalau tidak berhasil menangkap buruan.

Oh ya, bagaimana nasib anjingnya? Kami berhasil membuatnya lari ke permukiman. Beberapa hari kemudian, saya melihat selebaran “ditemukan anjing” di tiang listrik dekat rumah. Anjingnya yang saya kejar waktu itu.