Banyak orang mulai sering mendengar klaim macam ini: siapa yang menguasai kecerdasan buatan atau artificial intelligence, maka dia akan menguasai dunia. Setidaknya itu yang diucapkan Presiden Jokowi saat membuka Rekarnas Penguatan Ekosistem Inovasi Teknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tahun 2021 di Istana Negara.
“Persaingan dalam menguasai AI sudah sama dengan space war di era perang dingin. Siapa yang menguasai AI dia yang akan berpotensi menguasai dunia. Ini kita kejar-kejaran,” kata Jokowi seperti dikutip Kompas.com.
Videos by VICE
Presiden memang cukup terobsesi dengan AI. Jokowi sempat melempar wacana pada tahun 2020, mengenai pemangkasan Eselon III dan IV. Peran para birokrat itu, menurutnya, ke depan bisa digantikan kecerdasan buatan dengan alasan untuk mempercepat proses pengambilan keputusan di birokrasi.
Pejabat lain yang cukup sering menyinggung soal big data adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Juli tahun lalu, Airlangga menilai pandemi Covid-19 akan mendorong revolusi 4.0 di Tanah Air. “Pandemi Covid-19 ini menjadi akselerator bagi Industri 4.0. Saat ini jaringan internet menjadi sesuatu yang diperlukan dan sangat relevan terhadap masyarakat. Baik itu di sektor kesehatan dengan telemedicine, kemudian juga tele-education,” ujarnya.
Pemerintah boleh berhasrat menggaungkan jargon macam Artificial intelligence, machine learning dan big data ini. Namun di masyarakat, debat masih berkutat pada perkara mendasar: fungsi kartu tanda penduduk yang tak sesuai klaim Kementerian Dalam Negeri. Konon e-KTP itu betulan sudah digital dan datanya terintegrasi dengan berbagai sektor.
Nyatanya tiap ada urusan dengan birokrasi—dari mengurus BPJS, mendaftar nikah di KUA, mutasi alamat, dan lain sebagainya—masyarakat oleh petugas masih sering diminta fotokopi KTP. Itu sebabnya awal Maret 2021, kata kunci big data dan sorotan negatif pada e-KTP sampai menjadi trending topic di Twitter Indonesia.
Melihat gencarnya pejabat pemerintahan dan politisi menggaungkan kata-kata seperti big data, kecerdasan buatan, dan 4.0, VICE memutuskan ngobrol dengan peneliti dan konsultan keamanan siber Teguh Aprianto. Dia di medsos sempat mengutarakan kekesalannya terhadap pejabat pemerintah ketika mengumbar jargon teknologi, tanpa konteks memadai.
VICE mencoba mendapatkan jawaban dari Teguh mengenai apa itu big data sampai implementasi pemanfaatannya yang ideal di Indonesia.
Halo Teguh. Big data belakangan ini rutin disebut-sebut oleh pejabat pemerintahan. Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan big data?
Teguh Aprianto: Secara pengertiannya, data yang besar, rumit dan tidak terstruktur. Makanya big data ini harus diolah supaya lebih mudah diakses. Tapi kebanyakan pejabat atau politikus ini suka kebingungan, antara ngebedain master data dan big data. Itu perbedaannya jauh lah.
Lalu apa urgensinya menggunakan analisis big data?
Tergantung kebutuhan. Di Indonesia sendiri sebenernya masalah e-KTP yang paling mendesak. Data kependudukan itu basic, semua negara seharusnya sudah bergerak ke revolusi industri 4.0. Tapi kita kemana-mana ngurusin apapun masih harus fotokopi KTP. Terus kenapa dilabeli KTP elektronik? Di Indonesia jadi agak susah penerapan analisis big data karena kita mengelola small data aja masih berantakan total.
Selain data kependudukan, proyek lain apa yang tepat dianalisis menggunakan big data?
Banyak sih. Kita bisa belajar pada Ismail Fahmi dari Drone Emprit. Itu contoh dia mengelola namanya big data, data yang dari sosial media, gak teratur, kemudian dirapikan sama beliau. Baru data itu bisa dibagikan ke publik. Ketika Ismail Fami menganalisis isu yang sedang ramai dibicarakan, itulah yang kemudian bisa kita katakan big data yang kemudian diolah hingga akhirnya bisa dimengerti oleh publik yang masih awam.
Kalau data yang masih mentah dengan jumlah sedemikian banyak dikasih begitu aja, orang awam pasti bingung.
Apa saja tantangan yang muncul ketika orang berupaya melakukan analisis big data?
Sekarang dunia tech sudah spesifik. Orang yang ngurusin backend ada namanya backend developer. Terus front-end disebutnya front-end developer, ada full stack, ada data scientist juga. Kalau ngomongin big data ya itu orang-orang data scientist ini yang paham. Cara mengelolanya diserahkan ke mereka.
Aku sempat agak kesel karena jargon ‘big data’ terus-terus digunakan, enggak tah tujuannya untuk apa. Terkesan seolah-olah itu sepele, atau mudah. Padahal enggak semudah itu. Belum nanti ujung-ujungnya enggak ditangani sama orang yang tepat. Makanya kemarin sempet dibilang, apa gak kapok sama kasus e-KTP? Penggunaan istilah ‘e’ itu seharusnya ya elektronik. Data kependudukan seharusnya sudah terintegrasi, tapi realitasnya kita masih enggak merasakan itu, jadi capek.
Saya sendiri sebagai konsultan keamanan siber, meski satu bidang, masih belum tentu paham semua jargon soal big data dan lain-lain. Sekarang orang IT semuanya terfokus, pecahannya banyak, satu orang belum tentu ahli di bidang lainnya. Sementara politikus yang rasanya tidak tahu menahu soal teknis ngomongin masalah itu mulu, lumayan mengganggu.
Apa sih masalahnya ketika pejabat pemerintahan atau politikus gencar menggunakan kata-kata tersebut?
Mereka pakai kata-kata itu sebagai jargon terus menerus, seakan-akan implikasinya mudah. Tapi enggak demikian. Sampai sekarang kita belum lihat apa yang sudah mereka buat, apakah sudah sesuai dengan yang mereka katakan?
Menurut Anda, saat politikus dan pejabat makin gencar mendorong pemanfaatan big data, sebenarnya apa yang mereka maksud?
Jargon itu sudah digunakan dari 2014. Tapi sampai sekarang, kita enggak pernah bisa melihat apa hasil yang udah mereka buat. Big data lah, machine learning, artificial intelligence. Malah inisiatif orang-orang yang independen lebih keren sejauh ini. Contohnya Kawal COVID-19 aja yang lebih keren. Pemerintah malah beberapa kali ngambil data dari Kawal COVID-19.
Terlepas dari big data, bagaimana pemanfaatan teknologi dan sistem pengolahan data di Indonesia?
Yang pasti sampai sejauh ini masih berantakan. Balik lagi ke KTP sih. Semua data bersumber dari situ, apa-apa KTP. Hal yang paling mengganggu, kita sudah hidup di 2021 tapi butuh KTP fisik, berbagai urusan masih menggunakan fotokopi KTP. Paling basic, data kependudukan aja masih berantakan, percuma kalau mau ngomongin jargon-jargon.
Presiden Jokowi pernah mengusulkan fungsi pejabat eselon III diganti kecerdasan buatan. Apakah pernyataan macam ini memang didukung fakta ilmiah?
[tertawa] Enggak, sesuai lah sama yang dulu Jokowi ngomong, mau bikin [sistem e-government] cuma dua minggu. Pernyataan macam itu bikin saya terganggu. Mereka sebetulnya enggak paham, enggak tahu teknisnya gimana, lalu membuat terkesan semuanya mudah. Eksekusinya kemudian diserahkan kepada orang lain. Pemerintah Amerika Serikat aja masih terus mencari tahu pemanfaatan kecerdasan buatan. Mereka udah kepikiran untuk bikin regulasi buat AI, karena mereka sadar ini sesuatu yang keren tapi bisa bahaya. Mereka takut sehingga butuh regulasi untuk memayungi itu.
Lantas, bila ‘revolusi industri 4.0’ atau ‘big data’ itu sekedar jargon, kira-kira apa yang lebih ideal yang pemerintah bisa wujudkan di bidang pemanfaatan infrastruktur teknologi?
Menurut saya pribadi, lebih ideal itu ya daripada kita teriak-teriak soal hal yang kita enggak paham, sebaiknya urus hal kecil. Misalnya KTP tadi, hal basic aja kita masih berantakan.
Pandemi ini juga sebenernya memang mendorong pemerintah lebih memanfaatkan teknologi. Tapi masih berantakan, antara data daerah sama nasional. Data mengenai vaksin, misalnya, enggak mudah diakses sama publik. Waktu itu sempet sih mereka menyediakan data di situs Kemenkes, tapi dalam bentuk gambar. Itu kan lucu, jadi kami para developer kesulitan mengolahnya. Kenapa enggak dibikin kayak API? Sehingga kita juga gampang membaca.
Lalu ngomongin vaksin, katanya urusan vaksin baru akan selesai dalam waktu 3 tahun. Tapi saya sendiri enggak yakin kalau melihat pendataannya begini. Siapa saja yang perlu divaksin? Pemberian bantuan sosial juga, meski ujung-ujungnya dikorupsi, kita bisa liat itu enggak merata sama sekali. Banyak yang enggak kebagian padahal butuh, sedangkan yang mampu malah kebagian. Problem Kartu Prakerja juga demikian. Kalau data yang jadi sumbernya itu rapi, pembuatan keputusan dan tindakannya juga akan lebih mudah. Akar masalahnya itu di lemahnya pengolahan data.