Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.
Saya pernah menghabiskan seminggu di kota Roma sendirian. Saya mengunjungi saudara yang tinggal di Spanyol dan berpikir kenapa tidak sekalian main-main ke Italia? Jelas saya beruntung bisa bertualang ke Roma, tapi toh kenyataannya itu bukan keputusan terbaik yang pernah saya ambil. Saya bersenang-senang tur di Vatikan, wisata kuliner yang lezat, tapi tidak punya teman untuk bisa berbagi kesenangan. Namun kemudian terjadi sesuatu yang luar biasa: suatu malam ketika tengah makan di sebuah restoran tidak jauh dari penginapan AirBNB, saya langsung diperlakukan seperti layaknya walikota restoran hanya karena menyebut nama Francesco Totti.
Videos by VICE
Saya sedang minum segelas anggur di meja makan restoran, tidak jauh dari penginapan. Dalam restoran banyak mata melirik, mungkin karena saya yang terlihat jelas seperti warga Amerika Serikat yang kesasar lalu makan sendirian di restoran lokal setempat. Entah karena kasihan atau apa, seorang warga Italia yang makan di meja sebelah menghampiri, lalu mulai mengajak ngobrol. Dia mengenakan jersey AS Roma. Percakapan dimulai dengan basa-basi membosankan. Namun akhirnya saya berkesempatan menjelaskan kalau saya penggemar berat Michael Bradley, pemain yang sempat membela AS Roma selama dua tahun dan kerap disebut sebagai “Il Generale.” Ketika ditanya siapa pemain favorit lainnya dari Roma, saya bengong. Saya sesungguhnya tidak sempat terlalu mengikuti sepak terjang tim tersebut. Maka, saya lontarkanlah jawaban termudah: Francesco Totti.
Ternyata ucapan saya itu adalah keputusan yang tepat.
Jujur, saya tidak terlalu mengikuti perjalanan karir Totti. Saya sekadar tahu posisinya sebagai playmaker, lama menjabat sebagai kapten tim, tapi tidak pernah sadar sebesar apa kota Roma mencintai sosoknya. Ternyata, Totti dianggap semacam dewa di Roma—sesuai dengan sejarah kota yang penuh dengan cerita tentang surga dan dunia. Saya tidak berusaha lebay lho. Ketika teman dari meja sebelah sedang sibuk memuji-muji Totti, orang-orang di meja sekitar mulai menguping lalu berteriak, “Totti itu dewa!”
Ternyata semua orang di dalam restoran merupakan pendengar setia lantunan gospel Totti—mulai dari loyalitasnya ke AS Roma, energinya yang berapi-api di atas lapangan, dan kemampuannya terus bermain prima hingga umur 40 tahun. Rasa-rasanya tur Colosseum saya baru berakhir dan langsung diajak menyelami sejarah kaya sepakbola kota Roma yang jauh lebih agung dari peninggalan sejarah masa lalu.
Karir sepakbola Totti berakhir. Dia gantung sepatu setelah memainkan pertandingan perpisahan—laga ke-786—untuk AS Roma.
Sebelum bisa menikmati upacara perpisahan Totti, Roma harus bertanding mati-matian melawan Genoa terlebih dulu. Diintai oleh Napoli di klasemen, Roma wajib menang untuk mengamankan posisi kedua liga serta jaminan bertanding di Liga Champions musim depan. Setelah Daniele De Rossi mencetak gol pada menit 74, Roma unggul 2-1. Pertandingan masih jauh dari usai. Gol penyeimbang bagi Genoa datang lima menit kemudian. Untungnya pemain cadangan Roma, Diego Perroti, menyudahi perlawanan lawan setelah menjebol gawang Genoa di menit ke-90. Pertandingan berakhir dengan skor 3-2 untuk Roma. Stadium Olimpico bergumuruh.
Totti tidak mencetak gol, tidak memberikan assist, bahkan hanya mulai bermain di menit 54. Tapi jangan salah, berkat kepemimpinannya tim Roma berhasil meraih kemenangan.
Kemenangan ini membuat upacara perpisahan Totti semakin megah, penuh keramaian confetti seiring dia menyerahkan ban kapten ke generasi berikutnya. (Di masa kecilnya, Totti selalu mengimpikan bermain untuk Roma dan hanya Roma semata—akhirnya mimpi itu menjadi kenyataan.) Totti menangis, para penggemar menangis, semua orang menangis.
Adegan tersebut mengingatkan saya akan pengalaman pribadi makan di pinggir kota Roma, mendengar kisah-kisah menakjubkan warga Roma tentang Totti, pahlawan asli kelahiran kota tersebut. Orang-orang menraktir saya, sang pelayan memberikan makanan ekstra, dan kami semua asik minum-minum malam itu—hanya karena saya menyebutkan nama Totti sebagai pemain favorit. Untuk malam itu saha, saya bisa mengklaim sebagai wali kota restoran di sudut kota Roma yang sedang dijamu oleh warga.
Dan Totti adalah Rajanya.