Pemerintah Godok Visa Khusus agar Digital Nomad Bisa Kerja sambil Liburan di Bali

Sandiaga Uno Wacanakan Visa Khusus Agar Turis Bisa Bekerja Sambil Liburan di Indonesia

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno sedang menimbang jalan keluar terbaik dari keterpurukan pariwisata Indonesia setahun terakhir. Beberapa waktu belakangan, doi mengaku sedang merumuskan jenis visa baru yang ditarget untuk para WNA digital nomad alias mereka yang kantornya di sana kerjanya di sini. Dinamai long-term visa, idenya pengguna dapat tinggal dan bekerja di Indonesia meski tanpa visa kerja, dengan durasi pakai lima tahun boleh diperperpanjang. 

Sandiaga berharap, kemudahan yang diberikan long-term visa bisa bikin WNA nomaden mantap memilih Indonesia, khususnya Bali, sebagai “rumah kedua” sehingga berujung pada peningkatan ekonomi dalam negeri. Hm, terdengar seperti belajar dari sesuatu yang familier, bukan?

Videos by VICE

Sandiaga dikabarkan sudah ngobrol sama Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM tentang rencana ini. “Long-term visa menjadi prasyarat utama agar lebih banyak masyarakat dunia digital nomad mempertimbangkan Bali sebagai rumah kedua,” kata Sandi dilansir Tempo, 16 Maret silam. “Kalau bekerja di Bali dan tidak jauh dari pantai, ini akan menjadi daya tarik buat wisatawan, ditunjang dengan budaya dan masyarakat yang sangat ramah. Ini adalah afirmasi bahwa Bali [bisa] segera bergerak dan bangkit.”

Syarat detail mendapatkan long-term visa belum dibuka sepenuhnya oleh Sandiaga kepada publik. Namun, Februari silam ia sempat menyebut wisatawan pribadi yang mau dapat visa ini harus deposit uang sebesar Rp2 miliar, dan Rp2,5 miliar jika membawa keluarga.

Bali jadi wilayah pertama yang dipromosikan sebagai lokasi tinggal para digital nomad ini. Alasannya, Pulau Dewata sudah populer dan punya fasilitas paling memadai bagi masyarakat asing. Wacana long-term visa sendiri adalah satu dari tiga rencana Kemenparekraf membuka kembali Bali sebagai tujuan pariwisata. Dua rencana lainnya ialah wacana travel bubble atau kerja sama antarnegara menerapkan protokol kesehatan ketat agar warga satu sama lain bisa leluasa keluar masuk, dan nomad staycation alias bekerja jarak jauh di suatu tempat sambil liburan, yang mending kita workcation.

Rencana ini jelas berita baik bagi pelaku pariwisata. Khususnya Bali, pandemi membuat provinsi ini merugi hingga Rp9,7 triliun per bulan. Dikutip dari South China Morning Postdigital nomad yang kerap bekerja dari Bali menyambut senang wacana long-term visa. Kualitas hidup yang baik dengan biaya hidup terjangkau jadi salah satu alasan utama Pulau Dewata digemari WNA sebagai tempat bekerja jarak jauh. Program ini juga mengurangi potensi digital nomad dideportasi seperti warga Amrik Kristen Gray, yang bersalah telah bekerja jarak jauh padahal hanya berbekal visa kunjungan.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengapresiasi rencana long-term visa. Mengutip survei, Bhima menyatakan digital nomad memiliki rata-rata penghasilan Rp700 juta per tahun sehingga keputusan menyediakan tempat agar mereka menghabiskan uangnya di Indonesia merupakan kebijakan yang menarik. Ia mengingatkan, kesiapan destinasi harus diperhatikan sebelum rencana ini diberlakukan.

“Pertama, apakah wilayah yang dijadikan tujuan digital nomad sudah divaksinasi, protokol kesehatannya bagus? Di sini tantangannya. Kedua, kebutuhan digital nomad [patut disiapkan] seperti fasilitas internet cepat, co-working space, dan sumber daya manusia pariwisata yang dilatih untuk melayani kebutuhan mereka,” kata Bhima kepada VICE.

Ketiga, dan yang paling penting, adalah soal pajak. “Ini harus dipastikan gimana perlakuan pajak kepada mereka sehingga membawa keuntungan bagi negara dan pemerintah daerah,” tambah Bhima. Selama ini, digital nomad biasanya datang dengan visa wisata. Ia berharap, long-term visa meliputi ketentuan pajak yang strategis,

“Ranahnya [pajak bagi digital nomad] masih abu-abu, mereka pasti merasa sudah bayar pajak di negara asalnya, tapi kok bayar pajak lagi di Indonesia. Harus ada standar untuk hindari double taxation. Kalau rezim pajak terlalu ketat, mereka akan cari negara lain,” tutup Bhima.