Suasana bising di penjara membuat orang yang sedang menjalani hukuman pidana lebih mudah tertekan. Pintu jeruji dibanting kasar, para sipir berteriak marah, dan anjing penjaga menggonggong kencang. Saat malam tiba, para napi menjerit karena trauma dan meratapi nasib.
Tiga tahun pertama di penjara, situasi hiruk-pikuk ini hampir membuat saya gila. Saya hidup bagaikan zombie. Saya merasa kesepian karena tidak punya teman ngobrol. Penampilan saya sangat lusuh sampai-sampai ada orang yang memberitahuku pentingnya cuci muka dan sikat gigi.
Videos by VICE
Perlahan, saya mulai bisa beradaptasi. Saya merasa jauh lebih baik dan memutuskan untuk berkebun. Saya mulai memahami proses hidup sampai mati. Saat itu, saya menyadari bahwa saya hidup bagaikan orang mati selama di penjara.
Saya ditahan di Sing Sing, penjara yang menawarkan kesempatan pendidikan bagi para napi. Awalnya saya mengikuti program teologi untuk mendalami agama, tapi malah jalan di tempat. Hidup saya tidak berubah meski telah mengikuti konseling dan menghentikan kebiasaan buruk. Saya tidak punya tujuan hidup.
Sing Sing juga memiliki program musik bernama Musicambia. Ada guru musik yang datang setiap minggu untuk mengajarkan teori musik dan mengadakan kelas pertunjukan. Saya terkagum-kagum dengan konser musiknya. Para napi tampak jauh lebih hidup. Kami saling membaur, bersenang-senang dan mengobrol satu sama lain. Saya pun tertarik untuk bergabung.
Itu artinya saya harus belajar main alat musik terlebih dulu. Sebenarnya saya bisa main snare drum, tapi tidak mungkin dimainkan di sini karena terlalu besar. Alatnya sulit dibawa juga. Berhubung Sing Sing mengizinkan napi belajar musik di sel, maka saya meminta teman untuk membelikan saya biola. Selain biola, ia juga membelikan buku berjudul “Violin for Dummies.”
Suaranya bikin sakit kuping saat saya pertama kali belajar main biola. Ada petugas yang melaporkan saya karena merasa terganggu dengan suaranya.
Musicambia diadakan setiap Sabtu, dan saya menghabiskan enam hari sisanya untuk mempraktikkan apa yang sudah saya pelajari. Saya mulai menulis lagu-lagu pendek, tapi biasanya saya hanya membuat chord biola, viola, dan cello. Saya tergabung dalam grup Riverside Quartet yang dipimpin oleh violinis dan beranggotakan seorang violis dan pemain cello. Nama grup kami terinspirasi oleh Sungai Hudson yang tidak jauh dari Sing Sing.
Ayah saya meninggal di usia 95 pada Oktober 2015. Saya diizinkan datang ke acara pemakamannya. Saya merasa kacau dan sedih karena tangan harus tetap diborgol dan keluarga menggiring saya ke sana kemari. Saya gagal memberikan eulogi untuk ayah karena tidak tahu apa yang harus saya katakan. Saya emosi karena tidak ada di samping ayah saat hari-hari terakhirnya. Di penjara, saya sulit tidur dan tak bisa berhenti memikirkan ayah.
Saya tebersit untuk menciptakan lagu buat ayah.
Elliot Cole, guru saya di Musicambia, mengajarkan cara menulis melodi lagu dan membuat chord biolanya. Liriknya terinspirasi oleh “The Man With the Blue Guitar” karya Wallace Stevens. Lagunya saya beri judul “Ode To My Father John.”
Saya menangis saat pertama kali saya mendengar lagunya dimainkan (bukan saya yang memainkan). Lagunya dimainkan di depan semua napi, dan lagunya dinyanyikan oleh penyanyi opera terkenal Joyce DiDonato. Saya merasa jauh lebih baik saat ia menyanyikan bait terakhir “Goodbye, Dad.” Banyak napi yang memuji lagunya, mengatakan kalau mereka merasa tersentuh mendengarnya.
Musik membantu saya mengungkapkan perasaan yang tidak pernah bisa saya ucapkan sebelumnya. Saya merasa jauh lebih baik. Rasa sedih saya berkurang. Saya akhirnya menemukan jati diri sebenarnya.
Jason Naradzay dibebaskan pada Juni 2016 setelah menjalani hukuman penjara 12 tahun karena melakukan percobaan pembunuhan dan pencurian. Saat ini, ia bekerja sebagai konselor khusus kecanduan obat-obatan terlarang di Syracuse, New York.
Artikel ini hasil kolaborasi dengan Marshall Project . Klik di sini untuk berlangganan buletin mereka.