Life

Saya Suporter Fanatik Liverpool yang Ikhlas Klub Ini Gagal Juara Akibat Corona

Jurgen Klopp Liverpool terancam gagal juara Premier League 2020 akibat pandemi corona

Petinggi klub-klub Premier League Inggris bersiap kembali membicarakan kelanjutan musim ini setelah pemerintah Inggris memperbarui peraturan lockdown pada awal Mei 2020. Liverpool unggul 25 poin dari posisi dua klasemen, dan berpotensi menyabet gelar juara. Akan tetapi, pandemi corona membuat situasi jadi sangat membingungkan. Suporter Liverpool harap-harap cemas menanti keputusan pengelola liga.

Situasi ini membangkitkan ingatan traumatis bagi mayoritas penggemar. Liverpool sangat mungkin kembali gagal juara liga gara-gara corona. Narasi yang amat cocok bagi klub yang dianggap elit di Inggris ini, namun tidak pernah memenangkan gelar paling bergengsi domestik.

Videos by VICE

Gagal menjadi juara karena pandemi global merupakan tragedi bercampur komedi yang sangat pas untuk Liverpool, bagaikan pidato Rafa Benitez yang memalukan, atau momen ikonik Seteven Gerrard kepeleset dan membuat Chelsea unggul, sehingga klub gagal juara di akhir musim 2013-2014. Bedanya, belum ada hasil pasti sekarang. Premier League bisa saja diakhiri lebih cepat tanpa juara, atau diputuskan terus lanjut ketika situasi normal.

Saya sudah mendukung Liverpool sejak mereka terakhir kali memenangkan Liga Inggris, artinya sebelum era Premier League 1992. Musim ini, ketika Liverpool sangat dekat dengan gelar juara, saya merasakan perpaduan kegembiraan, kegelisahan, sekaligus perasaan anti-klimaks.

Saya justru mengutuk media-media ketika artikel mereka mulai merayakan kemenangan Liverpool yang tak terelakkan. Kami terbiasa kalah. Kami terbiasa dengan fakta semua hal bisa berbalik, bahkan di menit-menit terakhir. Kalau tim kalian unggul 2-0 di menit ke-90, berarti masih ada banyak waktu bagi lawan mencetak gol balasan. Kali ini, mendekati garis finish Premier League musim 2019-2020, bahaya menit akhir itu artinya semua stadion terpaksa ditutup akibat Covid-19 dan liga tak bisa dilanjutkan.

Saya sendiri yakin Liverpool akan dikalahkan pandemi corona, tapi anehnya saya malah lebih suka skenario seperti ini. Sama seperti suporter fanatik lainnya, saya tetap merasa sangat kecewa jika klub gagal mendapatkan gelar yang pantas kami dapatkan. Tapi ketika kami gagal karena keadaan luar biasa terjadi di Planet Bumi, saya merasa lebih lega.

Dua klub dari Manchester merupakan pemenang Premier League berturut-turut satu dekade terakhir, tapi kemenangan mereka— bersama Chelsea—lama-lama terasa membosankan.

Merasa frustrasi buat saya lebih menarik sebagai suporter. Kalian kecewa tidak mendapatkan apa yang kalian mau, atau marah karena kalah. Kalian takkan pernah tumbuh lebih dewasa dan menemukan apa yang sebenarnya diinginkan jika kebutuhan selalu dipenuhi. Lihat saja pendukung Manchester United, yang beberapa musim terakhir rutin mengeluh melihat performa timnya, merasa MU harus selalu superior, padahal faktanya skuad mereka sedang semenjana. Mereka tidak bisa rileks menerima kenyataan prestasi klub bisa naik turun.

Jika sepakbola memungkinkan kita tetap merasakan emosi campur aduk, maka kemenangan berturut-turut takkan ada artinya bagi kita. Bagi saya, menjadi penggemar sepakbola adalah gambaran terbaik dari hidup yang keras, seringkali mengecewakan, tapi penuh sukacita.

Ambivalensi ini semakin diperumit oleh kondisi industri sepakbola modern. Klub-klub besar kini dianggap aset berharga bagi para oligarki, plutokrat, dan diktator dunia untuk memperkaya diri. Pengelolaan Premier League beberapa tahun terakhir membuat kita bertanya-tanya, “apakah semua waktu dan uang yang kita habiskan untuk mendukung klub sebenarnya ikut menopang sistem yang busuk?”


Tonton dokumenter VICE saat datang ke salah satu derby sepakbola paling bahaya di dunia:


Saya yakin suporter bola—baik itu penggemar Manchester City maupun Newcastle United—sebenarnya merasakan hal seperti yang dirasakan pendukung Liverpool. Sebagaimana ditulis suporter sejati City David Conn dalam buku Richer Than God, terlalu derasnya kapital asing yang kini menggerakkan sepakbola Inggris menodai kemenangan klub yang kamu sayangi. Kebahagiaan sirna ketika uang mengambil alih hasil akhir pertandingan.

Mendukung Liverpool berarti kalian siap menjadi pecundang. Meski tetap ada masa-masa bahagianya—seperti keberhasilan juara Liga Champions 2005 dan 2019—suporter Liverpool cenderung rutin diliputi rasa frustrasi. Namun, perasaan inferior itu tampaknya sudah berakhir dengan kemenangan kompetisi Eropa musim lalu, dan bergulir ke pertandingan milik Inggris musim ini.

Ya, penggemar klub lain mungkin siap mengolok-olok suporter Liverpool karena kami bakal gagal lagi dengan cara tragis. Saya tidak akan sakit hati. Mereka yang menertawakan kami, kemungkinan bukan suporter klub yang seumur hidupnya bahkan tidak pernah bermimpi bisa juara Premier League. Mereka tidak merasakan bertahun-tahun datang ke stadion untuk mendukung klub yang berkubang di League Two tanpa pernah sanggup promosi.

Banyak yang menganggap liverpudlian arogan. Menurut saya sih tidak. Kami justru terbiasa kalah. Kami punya slogan “This means more”. Slogan itu seolah-olah menandakan Liverpool satu-satunya klub yang memiliki sejarah dan budaya otentik. Tapi kami memang bangga dengan sejarah kami, dan generasi sebelum kami, yang selalu datang ke Anfield untuk gembira ataupun menangis.

Bagaimanapun, saya sepenuhnya sadar Liverpool akan menjadi bahan tertawaan, jika klub benar-benar gagal juara gara-gara virus corona. Pengalaman pahit berkali-kali membuat kami lebih paham keadaan.

Dukungan kami sangat fleksibel, jadi kami sadar seringkali menginginkan apa yang tak bisa digapai. Kami pada akhirnya mempelajari hal-hal istimewa dari tim yang kami dukung. Setelah menunggu begitu lama, kami harus ikhlas menerima akan selalu ada semacam pengecualian; ada klub lain yang harus degradasi, sehingga dirugikan hingga musim selanjutnya, ketika kami benar-benar meraih gelar juara padahal musim ini belum sepenuhnya berakhir.

Saya tak ambil pusing lagi. Sebab kami masih punya Jurgen Klopp bersama anak asuhnya yang luar biasa dan solid. Klopp memahami Liverpool—kota sekaligus klub sepakbola yang bangga pada ideologi sosialisme—dan dia memperpanjang kontrak dengan klub ini ketika Partai Konservatif memenangkan pemilu, mematahkan hati para kelas pekerja Inggris.

Tak seperti Rafa Benitez yang keras kepala atau Brendan Rodgers yang besar kepala, Klopp memiliki karisma yang tidak berhenti memancar. Dia mampu membuat suasana selalu lebih menyenangkan. Jika Liverpool benar-benar sukses menjuarai Premier League, maka hanya kepada Klopp lah kami harus berterima kasih.


Follow penulis artikel ini di akun @oscarrickettnow

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK