Sayembara Memaki di Internet Demi Melestarikan Budaya Adalah Ide Keren, Cuk!

Sayembara Misuh di Yogyakarta.

Orang tua masa kini kayaknya bakal tambah parno sama “dampak buruk” media sosial terhadap referensi dialog anak-anak mereka. Apalagi jika ortu-ortu helikopter itu menemukan video persis seperti yang saya saksikan di instagram awal November lalu.

Hari itu linimasa instagram saya awalnya normal, didominasi teman-teman urban yang menggunggah foto-foto sukses dan bahagia, dilengkapi caption motivasi serta lirik-lirik puitis indah. Segalanya indah dan membosankan. Sampai jempol saya menemukan sebuah video di kolom explore. Sebuah video yang agung:

Videos by VICE

https://www.instagram.com/p/BpeMJnGlPMA/

Dalam video itu, dua remaja berseragam SMA tengah menirukan adegan ikonik di film Dilan 1990 yang dikombinasikan dengan film Jepang Crows Zero. Bedanya, mereka berbicara dalam bahasa ngapak khas Brebes, penuh umpatan vulgar seperti “Raimu Asu!”, “Raimu kakean cocot!”, “Bajingan bangsat!”, dan lain-lain. Di akhir video dari akun @kyeh_mamase itu, mereka tawuran menggunakan suit gunting-batu-kertas, lengkap dengan efek slow motion dramatis. Luar biasa.

Algoritma instagram membawa saya ke video selanjutnya dari akun @mosgstudio. Sekelompok laki-laki bermain kartu, lalu seorang pengendara motor lewat hampir menabrak mereka. Umpatan keluar, dibalas makian. Pengendara motor jatuh, mengumpat. Sekelompok laki-laki membantu mengangkat motornya, sambil mengumpat lagi dan menasihati pengendara motor soal tata krama. Dalam durasi satu menit itu, total ada puluhan umpatan seperti “Jancok!”, “Matamu!”, “Lonte tenan”, “Congore”, “Ndase”, dan “Jamput” bertubi-tubi diucapkan. Melihat ungkapan yang biasa disembunyikan karena tabu itu terpampang di sosial media, lagi-lagi saya ngikik.

Ternyata video-video tersebut dipersatukan dalam satu tagar: #SayembaraMisuh2018.

Akun Jawasastra adalah biangkerok di balik parade kata-kata “kotor” yang menghibur linimasa saya. Berbasis di Yogyakarta, mereka komunitas daring mengampanyekan gerakan literasi budaya Jawa ke anak muda. Salah satunya melalui Sayembara Misuh 2018—yang dalam bahasa Indonesia artinya mengumpat. Lewat sayembara ini, mereka mengangkat tema “Mendhing Saru, Tinimbang Soro” yang arti harfiahnya: “Lebih baik tabu, daripada sedih.”

Sejak kecil kita diajari bahwa mengumpat adalah kebiasaan buruk. Nyaris semua anak muda di negara ini pasti ingat, betapa larangan mengumpat adalah pidato orang tua termasuk yang paling sering dikumandangkan. Di sisi lain, tentu kita semua mengakui, mengumpat juga larangan yang paling sering kita langgar. Bukan begitu, cuk?

Kaki kepentok meja dikit: “Anjing!”

Mantan lewat: “Bangsat, kok makin cakep sekarang?”

Ketemu temen lama: “Asu, sik urip koe?” (Lho, masih hidup toh kamu?”)

Sehingga, ayo kita akui bersama. Ungkapan jancuk, asu, anjing, bajingan, damn, fuck, shit, dan segala macam jenisnya itu sudah seperti menggantikan tanda baca titik dan koma di percakapan sehari-hari. Tidak peduli kau tinggal di belahan dunia manapun, atau berbicara dalam bahasa apapun, akan selalu ada istilah yang digunakan jadi bahan umpatan. Bahkan sejak dulu, umpatan juga bisa diekspresikan sekadar lewat gestur.

“Ide [menggelar sayembara memaki di Internet] itu dapatnya pas aku mudik ke Mojokerto, di lingkunganku banyak banget yang misuh. Di sana kan misuh itu biasa banget. Jadi daripada tidak ada gunanya, mending dilombakan,” demikian pengakuan Fajar Laksana, pendiri kelompok kajian budaya Jawasastra yang sejak 2014 jadi mahasiswa rantau di Yogyakarta.

Sayembara ini adalah respons Fajar dan kawan-kawannya di Jawasastra terhadap kebiasaan verbal yang kerap ditabukan masyarakat kita. Padahal, menurut mereka, misuh punya banyak fungsi positif. Salah satunya sarana ekspresi emosional yang jujur, tanda keakraban, menambah nilai atraktif dialog, mengurangi rasa sakit, dan segala bentuk ekspresi lain. Ia mengklaim sayembara misuh ini yang pertama di Indonesia.

Pada masa Open Call sampai 4 November 2018, Jawasatra berhasil menjaring 166 peserta dari berbagai daerah Pulau Jawa. Peserta lomba kebanyakan anak muda dari kota-kota kecil Jawa Timur dan Jawa Tengah, mulai dari Kediri, Tulungagung, Nganjuk, Rembang, Brebes, hingga Pati. “Tapi ada juga satu-dua peserta dari Institut Kesenian Jakarta, atau Insitut Seni Indonesia di Yogya,” ujar Sri Suryani, pegiat Jawasastra lainnya.

Melihat dari seluruh karya yang masuk, mereka menyimpulkan kata pisuhan yang paling populer digunakan adalah “jancok.” Menurut Fajar, yang menempuh kuliah sastra Jawa di Universitas Gadjah Mada, ada banyak versi sejarah kata ini. Konon, “jancok adalah kependekan dari “jaran-ngencuk” alias kuda bercinta. Seperti yang ditulis Tirto , kata-kata umpatan Bahasa Indonesia umumnya diambil dari kehidupan sehari-hari, nama binatang, perkakas tubuh manusia, benda tak elok dilihat termasuk tahi, termasuk aktivitas seksual yang sering jadi bahan umpatan di hampir semua bahasa daerah di Indonesia. Mulai dari “jancok”, “ngentot”, dan tentu saja yang diserap dari asing macam “fuck” misalnya—semua melibatkan aktivitas seksual.


Tonton variety show VICE yang menampilkan Ramengvrl dan Bin Idris saling bertukar makian:


Namun yang lebih konsisten dari kegiatan bercinta adalah makian binatang. “Kenapa hewan? Ya karena enggak ada akalnya, kalau kelakuan seseorang enggak masuk akal, berarti dia kayak hewan. Jaran, asu, kirik,” tambah Fajar.

Tabu makian termasuk yang selama ini membebani anak muda dari etnis Jawa. Suku Jawa kerap distereotipekan harus punya sikap halus dan tata krama tinggi. Makanya kebiasaan misuh dikesankan sebagai perilaku memalukan. Pada kenyataannya, misuh merupakan bagian percakapan sehari-hari etnis Jawa. Fajar Laksana dan Sri Suryani meyakini misuh adalah bagian dari budaya Jawa. “Kalau kita suka wayang, gamelan, tari, kenapa kita enggak suka misuh? Itu kan budaya juga,” kata Fajar.

Budaya makian pun ditemukan dalam tradisi keraton yang dicap adiluhung. Sebagai filolog terlatih, Sri Suryani menemukan banyak pisuhan di serat-serat kuno yang ia baca. “Padahal kan serat ditulis pujangga, dan dia orang keraton. Artinya misuh pun sebenernya diakui oleh keraton,” ujarnya. Sri Suryani menunjukkan beberapa baris kalimat umpatan yang ia temukan di serat Damarwulan dan Centhini yang ditulis pada awal berdirinya Praja Mangkunegara—wilayah otonom pecahan Mataram yang di masa kini menjadi Surakarta, Karanganyar, dan Wonogiri.

1543309071976-2018_1117_22333000
Fajar Laksana dan Sri Suryani (kanan), penggagas lomba misuh yang ramai di jagat instagram. Foto oleh Umar Wicaksono

Kajian linguistik soal kata-kata umpatan di Indonesia sendiri belum ada yang disusun lengkap dari semua budaya di Tanah Air. Lantaran muncul sebagai ujaran keseharian, ada kesan umpatan kelewat organik sehingga sulit untuk dikaji. Tantangan lain tentu saja kenyataan tiap daerah di Indonesia punya istilah pisuhan khas.

Di Jawa Timur misalnya ada “jancok”, “jangkrik”, “kucluk”, “kenthir”, “dapuranmu”, dan lain-lain. Sedangkan di Jawa Tengah yang populer adalah “asu”, “bajigur”, “bajingan”, ”ndasmu.” Bahkan, satu kotapun ada yang punya ciri khas khusus seperti kota Temanggung yang terkenal dengan “sikak”, “celes”, “jidor”. Kota-kota di sekitar pantai utara Jawa juga punya ciri khas dengan akhiran –em, seperti “ndasem”, “mataem.” Sedangkan makin ke barat, yang punya kemiripan kosa kata makian ada di seputaran Cirebon. Lepas itu, kota-kota di Jawa Barat lebih banyak dipengaruhi oleh umpatan khas Bahasa Sunda.

“Satu daerah masih beda lho. Jancok itu di Jawa Timur bagian utara, sedangkan “Dancok” itu di bagian selatan,” imbuh Fajar. Ini belum termasuk makian dari luar Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Banyak sekali.

Makanya, Jawasastra fokus pada budaya Jawa saja. Mereka merasa punya urgensi menggelar sayembara usai melihat anak muda di Jawa makin kesulitan mengekspresikan emosi lewat bahasa ibunya. “Sebenarnya enggak harus Jawa sih, tapi kami inginnya anak muda lebih melihat daerah asal mereka, ke akarnya sendiri-sendiri,” kata Fajar. Misuh hanyalah salah satu cara, yang diharapkan tim Jawasastra bisa membawa anak-anak muda kembali menengok identitas mereka lewat pendekatan awam dan menyenangkan.

“Misuh itu proses pendewasaan. Soalnya kalau kamu dengar orang misuh lalu sakit hati, berarti dolanmu kurang adoh–mulehmu kurang isuk [mainmu kurang jauh–pulangmu kurang pagi, alias kurang pengalaman-red],” ujar Fajar. “Masih mending kalau misuhnya pakai Bahasa Jawa, daripada bilang fuck, shit, atau apalah. Misuh aja kok impor?!”