Seandainya Proklamasi 17 Agustus 1945 Tak Pernah Terjadi

Analisis kontrafaktual seandainya sejarah proklamasi 17 Agustus 1945 tidak pernah terjadi

Pernahkah kalian membayangkan skenario serial televisi The Man from the High Castle , tapi diubah setting-nya jadi Indonesia? Apa yang terjadi seandainya Indonesia tidak merdeka pada 1945? Pertanyaan ini pasti pernah terbersit di benak kita semua. Coba luangkan waktu googling sebentar saja. Pasti mudah kalian temukan artikel yang menerka-nerka nasib wilayah yang kini disebut Indonesia, seandainya Sukarno dan Muhammad Hatta tidak pernah membacakan teks proklamasi kemerdekaan di Jl Pegangsaan Timur tepat pada 17 Agustus, 72 tahun lalu.

Ada yang menebak kita masih menjadi koloni Kerajaan Belanda, dalam bentuk konfederasi (atau lebih populer dalam sebutan Uni Indonesia Belanda) sampai akhirnya bisa berdaulat sepenuhnya, seperti Suriname. Ada juga yang menduga, tanpa kemerdekaan 1945, Bahasa Belanda akan menjadi salah satu bahasa utama di negara ini, bersanding dengan bahasa Indonesia dan bahasa lokal lainnya. Spekulasi macam itu bukannya kurang kerjaan lho. Jangan salah, sejarawan pun kadang tertarik mendalami skenario-skenario yang tak terjadi dalam lintasan peristiwa di masa lalu.

Videos by VICE

Dalam studi sejarah, ada yang disebut telaah ‘counterfactual history’. Buku Studying History menjabarkan salah satu definisi kajian macam ini, sebagai “upaya memproyeksikan sekian kemungkinan yang tidak pernah terjadi, atau seharusnya terjadi, untuk memahami lebih utuh sebuah peristiwa (sejarah).” Berkaca dari definisi tersebut, spekulasi membayangkan Indonesia “tidak merdeka” terlalu banyak variabelnya. Ingat, sejak 1942, wilayah yang dulunya Hindia Belanda itu sudah ganti diduduki Jepang.

Artinya ada dua kemungkinan utama sejarah “alternatif” yang harus dipertimbangkan. Salah satu skenarionya, wilayah ini tetap menjadi dudukan Belanda, sementara kemungkinan lain adalah Indonesia menjadi basis sumber daya alam untuk ekspansi kekaisaran Jepang, seandainya bisa menahan Amerika Serikat di front pertempuran Pasifik. Supaya lebih mudah, ada baiknya kita mempersempit aspek dari yang “seharusnya terjadi”: apa sih dampaknya bila tak ada proklamasi 17 Agustus 1945? Nah, kalau spesifik seperti itu pertanyaannya, tersedia sekian variabel untuk ditelaah dengan metode kontrafaktual.

Perlu kita ingat beberapa fakta kunci yang terjadi di masa-masa penuh gejolak akibat Perang Dunia II. Jepang terdesak di front pasifik, sementara Belanda di sisi lain tak punya banyak kemampuan mengelola koloninya di Asia lantaran sedang diduduki Nazi Jerman. Mari kita mulai dari skenario melibatkan Jepang lebih dulu. Tokoh-tokoh pergerakan politik nasionalis di Indonesia saat itu, seperti Sukarno, Syahrir, atau Hatta, sesuai dengan perhitungan politiknya berargumen Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, hanya jika tetap bekerja sama dengan Jepang.

Kesempatan yang telah lama ditunggu-tunggu kaum kamitua untuk berhimpun guna merencanakan suatu negara merdeka di masa depan itu, direalisasikan dengan bantuan Jepang pada 28 Mei 1945. Keenampuluh dua anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diresmikan pada hari itu, diberikan kebebasan besar oleh Jepang untuk mewicarakan pelbagai persoalan konstitusional dan ideologi negara baru yang nantinya akan menjadi Indonesia.

Berdasarkan penelitian Benedict Anderson), Jepang memberikan hak istimewa yang tidak lazim kepada BPKI untuk memperdebatkan batas-batas negara Indonesia di masa depan. Suara mayoritas di BPKI (45 lawan 19) memilih konsep “Indonesia Raya”, yang meliputi Malaya, Borneo Inggris, dan Timor Portugis, di samping Hindia Belanda yang lama. Wilayahnya mencakup separuh Asia Tenggara.

Runtuhnya pertahanan dan komunikasi Jepang pada bulan-bulan pertengahan 1945, akibat gempuran militer AS, mengakibatkan perubahan yang drastis dalam persiapan kemerdekaan. Pertengahan Juli, Tokyo merencanakan kemerdekaan “pada saat yang secepat mungkin” dan memaksa para panglima setempat untuk mempercepat rencana-rencana mereka, sesuai dengan maksud itu. Sidang-sidang yang diadakan terburu-buru pada tiga minggu setelahnya menghasilkan suatu konsep jadwal kemerdekaan, yang direncanakan pada 7 September 1945.

Seandainya tak ada proklamasi yang terjadi 17 Agustus 1945, seluruh wilayah yang dahulunya jajahan Belanda akan dinyatakan merdeka pada September, termasuk wilayah yang diperintah Angkatan Laut dan yang belum disiapkan. Gampangnya, Indonesia sudah pasti ‘merdeka’ (sebagai bagian dari federasi Kekaisaran Jepang) sebelum tahun berganti jadi 1946, tanpa perlu ada proklamasi 17 Agustus sekalipun. Tanggalnya saja yang berubah. Pelaksanaan secara rinci dari skenario pemberian kemerdekaan Indonesia itu telah diserahkan Tokyo kepada panglima-panglima militer mereka di Jawa, Sumatra, dan Wilayah Angkatan Laut, yang diharapkan akan tetap mempunyai kedudukan “penasehat”, yang berpengaruh di wilayah mereka masing-masing setelah kemerdekaan.

Berkaca pada situasi riil saat itu, ambruknya sistem komunikasi karena kekalahan demi kekalahan di front pasifik, memberi kesan seandainya rencana Jepang terwujud, akan muncul suatu struktur federal dengan otonomi khusus di wilayah yang kini bernama Indonesia. Negara ini tak akan menjadi sebuah kesatuan unitaris yang kini dikenal dengan sebutan NKRI. Indikatornya, saat itu komando Sumatra dan Angkatan Laut Jepang di beberapa tempat malahan mulai menyusun panitia-panitia persiapan kemerdekaan yang berlainan dalam wilayah masing-masing. Jadi walaupun luasnya separuh Asia Tenggara, negara ‘Indonesia Raya’ belum tentu menjadi superpower kawasan karena kekuasaan terpecah-pecah.

Harus kita ingat, pergerakan nasional yang menuntut kemerdekaan Indonesia sebetulnya mengalami kelesuan parah pada 1930-an, karena tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Aktivis kunci ditangkapi dan dibuang, termasuk Sukarno dan Hatta. Pemicu munculnya peluang Indonesia merdeka, suka tidak suka, adalah Perang Dunia dan keterlibatan Jepang menjadi agresor di Asia Pasifik. Dalam skenario ini, satu-satunya hal yang bisa mengubah sejarah Indonesia adalah penemuan bom atom. Itupun hanya untuk memperpanjang ‘napas’ pemerintahan militer Jepang saja. Daya tahan Jepang melanjutkan peperangan melawan AS, dari berbagai faktor dan data sejarah, terlihat sudah sangat melemah.

Sekiranya AS tidak menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki tiga hari kemudian, kekalahan Jepang sudah di ambang pintu. Pada 7 Agustus, Jepang mengumumkan kemerdekaan akan dengan cepat dipersiapkan oleh suatu panitia, karena kabar Rusia akan ikut terjun ke front Pasifik. Dua hari kemudian, Sukarno, Hatta, dan ketua BPKI Radjiman, terbang ke Dalat (Vietnam bagian selatan), di mana mereka diberitahu oleh Marsekal Terauchi, Panglima Tentara Selatan Jepang, bahwa kemerdekaan ada di tangan mereka.

Baru sewaktu di Vietnam, para pemimpin Indonesia mendengar tentang bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima, walaupun mereka tidak tahu bahwa Jepang sudah hampir mampus. Pada 14 Agustus, mereka kembali ke Jakarta yang bergolak dengan pelbagai desas-desus dan kegalauan. Pada tahap akhir perjalanan pulang, Bung Karno dan Bung Hatta ditemani oleh utusan-utusan PPKI dari Sumatra, yang sidang-sidangnya telah dijadwalkan kembali untuk dimulai pada 16 Agustus di Jakarta.

Sikap kamitua nasionalis ini tidak disetujui oleh kelompok pemuda, yang menganggap PPKI badan bikinan Jepang yang tunduk pada kemauan Jepang. Mereka juga tidak menyetujui dilaksanakannya proklamasi secara yang telah digariskan oleh Jenderal Besar Terauchi dalam pertemuan di Dalat. Sebaliknya, mereka menghendaki terlaksananya proklamasi dengan kekuatan sendiri, lepas sama sekali dari Jepang. Terjadilah penculikan Rengasdengklok. Mereka menculik Sukarno dari rumahnya di Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, dan dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, Kamis subuh. Ibu kota gempar lantaran Sukarno-Hatta menghilang.

Pukul 10 pagi, seharusnya ada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia membicarakan susunan kata-kata dari naskah proklamasi. “Sekarang, Bung. Malam ini. Mari kita kobarkan revolusi hebat, malam ini juga,” ujar Chairul Saleh, salah satu anggota Gerakan Angkatan Baru. Pada 15 Agustus 1945, pukul 10 malam, pasca Jepang menyerah kepada Sekutu, sekelompok pemuda mendesak Sukarno memproklamirkan kebebasan bangsa dari penjajahan. Mereka ingin Indonesia merdeka secepatnya atas kekuatan sendiri, bukan bantuan Jepang. Sukarno menolak. Terlalu riskan memproklamasikan kemerdekaan tanpa persiapan matang.

Dia memilih mengundur hari, menghindari pertumpahan darah. Bung Karno menawarkan tanggal 17 Agustus. “Tujuh belas angka suci. Pertama, kita di bulan suci ramadhan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran. Mengapa Nabi Muhammad Saw memerintahkan 17 rakaat, bukan 10, atau 20? Karena kesucian angka 17 bukan buatan manusia,” ujar Bung Karno dalam otobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Begitulah. Negara ini akhirnya menggelar proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Arsip pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno dan Muhammad Hatta. Foto oleh Frans Mendur/Perpusnas/Wikimedia Commons.

Lalu, spekulasi berikutnya, bagaimana dengan Belanda? Belanda bisa dibilang kepala batu dan tamak tidak mau menyadari Perang Dunia II akan meluluhlantahkan dominasi Eropa atas tanah jajahannya, termasuk Indonesia. Gelombang sejarah negeri-negeri terjajah pada waktu itu memang sedang bergerak untuk memerdekakan diri.

Gerakan itu tidak bisa ditahan lagi oleh kekuatan apa pun. Semua tokoh nasionalis Indonesia saat itu sepakat, membiarkan Jepang angkat kaki tanpa melakukan revolusi dan mendirikan negara baru, sama saja membiarkan Belanda kembali berkuasa. Seperti dijabarkan sejarawan Robert Cribb, “jika mereka tidak memanfaatkan kesempatan tersebut, kolonialisme Belanda akan terus bertahan sampai beberapa dekade ke depan.”

Indikasi ke arah sana langsung terlihat. Dibantu Inggris, Oktober 1945 Belanda mengirim pasukan bersenjata kembali ke wilayah Indonesia, dalam payung Administrasi Sipil belanda (NICA). Kedatangan pasukan itu memakai dalih memulangkan warga Belanda yang ditawan Jepang. Dengan korban yang tidak sedikit dan dengan persiapan militer ala kadarnya, Indonesia harus berperang selama empat tahun untuk mempertahankan Proklamasi.

Ditinjau dari data sejarah yang tersedia, militer Indonesia sebenarnya pasti kalah dalam peristiwa yang kini disebut agresi militer itu. Satu-satunya faktor pembeda adalah keterlibatan Amerika Serikat dan Australia, dalam ranah diplomasi, yang memaksa Belanda duduk dalam meja perundingan bersama pemerintahan baru Sukarno. Baru di akhir Desember 1949, Belanda mau mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai hasil Konferensi Meja Bundar, 23 Agustus-29 Oktober 1949, di Den Haag, Belanda.

KMB menghasilkan Republik Indonesia Serikat bagi Indonesia yang hanya berumur beberapa bulan, sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950. Anggaplah tidak ada dukungan politik dari AS dan Australia, apa yang akan terjadi? Ini pertanyaan sulit dan menjebak. Beberapa diskusi sejarah yang saya ikuti selama kuliah dulu, ada kemungkinan Indonesia terpecah jadi sekian wilayah otonom.

Artinya, serupa skenario bila kita tetap mengikuti rencana Jepang, wilayah ini bukan menjadi NKRI tapi menjadi negara federal. Terciptanya negara federal dalam naungan Kerajaan Belanda itupun tidak akan berlangsung lama. Efek domino secara global dari Marshall Plan sangat berpengaruh terhadap kebangkrutan Eropa khususnya Belanda. Tidak ada indikator obyektif yang menunjukkan Belanda punya modal mempertahankan koloni, di tengah maraknya semangat nasionalisme Abad 20.

Dengan skenario munculnya negara federasi Indonesia (di bawah naungan Jepang ataupun Belanda), dan tanpa proklamasi, sulit membayangkan apakah negara ini akan punya pengaruh seperti saat ini. Termasuk juga seperti apa kehidupan warganya di masa sekarang. Sebab, seperti disampaikan sejarawan Harry Turtledove yang mendalami metode kontrafaktual, “sejarah alternatif lebih jago mengajukan pertanyaan dibanding memberi jawaban.”

Setidaknya, kita perlu selalu ingat kata-kata Bung Hatta yang diucapkan dalam pidato November 1949. “Ketika kami memproklamirkan kemerdekaan bangsa, kami belum punya kekuasaan atas seluruh Indonesia. Waktu itu pun kami tidak punya sarana untuk menegakkan kekuasaan.” Para pemimpin Republik Indonesia telah memproklamirkan satu negara baru, tapi tugas menciptakan bangsa yang diklaim negara itu masih harus dilaksanakan.

*Muhammad Iqbal adalah dosen sejarah sekaligus penyunting di Penerbit Marjin Kiri.